Rabu, 20 Desember 2017

KONSEP POLITIK ABUL A’LA AL-MAUDUDI



Berakhirnya Kekhalifahan Turki Utsmani sejalan dengan tuntutan-tuntutan kemerdekaan dari berbagai negara kolonial yang memiliki muslim mayoritas, seperti negara yang berada di wilayah Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika Utara, dan lain-lain. Mereka melihat bahwa Turki Utsmani yang begitu kharismatik mampu menguasai Timur Tengah dan negara-negara Eropa bagian Timur, karena sistem kekuatan kekhalifahan yang amat tinggi. Kekhilafahan memang sangat terkait dengan kekuasaan, kepemimpinan, dan al-Imam al-A’zham.
Ada tiga kelompok pemikir Muslim dalam memaknai negara khilafah. Kelompok pertama sepakat  untuk menolak, jika Islam memiliki konsep “negara dalam Islam”. Hal ini disampaikan oleh Ali Abdurraziq dan Thaha Husein. Teori politiknya disamakan dengan teori politik barat yang tidak mengakui bahwa agama berkiprah dalam politik. Mereka pada hakikatnya menyamakan Islam dengan Nasrani. Golongan kedua diwakili oleh Muhammad Husein Haikal yang berpendapat bahwa Islam harus memiliki nilai-nilai pemerintahan yang terkandung di dalamnya. Dan yang terakhir adalah pernyataan yang yang berisi keharusan untuk kembali ke masa Nabi dan para Khulafa Rasyidin. Pernyataan ini didikung oleh Hasan al-Banna, Sayyid Qutub, Syaikh Rasyid Ridha, dan Abu al-A'la al-Mududi.[1]
Pluralitas pemahaman seperti yang telah disebutkan lazim tidak terhindarkan dan memang tidak perlu untuk dihindari. Realitasnya telah tertuang secara implisit dalam Al-Qur’an bahwa Allah menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan, berbangsa dan bersuku-suku. Secara tidak langsung, hal tersebut merupakan isyarat bahwa dengan jenis yang berbeda, beragam suku, bangsa, ras tentu tidak menutup kemungkinan menyebabkan adanya perbedaan pemahaman.
Di antara pemikir-pemikir Islam, seperti Sayyid Ahmad Khan ,Syekh Waliyullah, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal, Fazhlur Rahman, Yusuf Ali, al-Nadawi dan lain sebagainya, hanya al-Maududi saja yang merubah dan mencoba dengan ulet untuk menyuguhkan Islam sebagai suatu sistem komprehensif bagi kehidupan manusia. Tidak sedikit kritik keras yang dilontarkan oleh pemikir Islam sendiri kepada Maududi, tetapi tidak menjadi lemah dan menggoyahahkan keinginannya. Justru menambah semangat dan kemantapan pola pikir al-Maududi yang begitu solid. Tidak mengherankan jika orientalis Wilfred C. Smith memaparkan dalam bukunya Islam in Modern History bahwa Abu A’la al-Maududi merupakan salah satu seorang pemikir Islam yang paling sistimatik di kawasanan Indo-Pakistan.[2]
Pemahaman seseorang mengenai suatu hal selain dipengaruhi oleh gurunya juga tidak bisa lepas dari konteks zaman dan sistem sosial dimana dia tinggal. Dengan latar belakang keluarganya sebagai muslim taat, ayahnya seorang sufi, berupaya untuk menciptakan keadaan religius dan asketik  bagi anak-anaknya dengan sistem pendidikan yang cenderung klasik, beliau terbentuk menjadi tokoh yang menghasilkan produk pada zamannya juga andil dalam  mewarnai kehidupan masa serta lingkungannya.

Minggu, 29 Oktober 2017

Hadis Ahkam


Khotamul Anbiya
PENDAHULUAN
Kenabian telah berakhir pada diri Nabi Muhammad SAW hanyalah istilah sesaat. Sebaliknya, ini adalah kesimpulan yang wajar tentang teori keuniversalan Wahyu Ilahi yang merupakan pokok asasi agama Islam. Menurut ajaran Qur’an, wahyu bukanlah pengalaman khusus bangsa ini atau bangsa itu saja, melainkan pengalaman rohani bagi seluruh umat manusia. Dalam Surat al-Fatihah ayat permulaan, Allah dikatakan sebagai Rabbul-’alamin, artinya, Yang mengasuh sekalian umat hingga sempurna, baik jasmani maupun rohani. Berpangkal pada dasar yang luas ini, Qur’an mengembangkan suatu teori, bahwa tiap- tiap bangsa pernah kedatangan Nabi: “Tak ada umat, kecuali juru ingat telah berlalu di kalangan mereka” (35:24). “Tiap-tiap umat mempunyai utusan” (10:47). Di samping itu, Qur’an menerangkan bahwa tiap-tiap Nabi hanya diutus kepada suatu umat. Oleh karena itu, walaupun dalam suatu segi, kenabian adalah kenyataan universal, namun di sisi lain bisa dikatakan merupakan suatu lembaga nasional, yang ruang lingkup ajaran tiap-tiap Nabi nya hanyalah terbatas bagi bangsa sendiri.
Oleh karena itu, Nabi dunia menggantikan tempat Nabi nasional, dan cita-cita luhur tentang persatuan umat manusia, dan persatuan mereka di bawah satu panji, terlaksana dengan sempurna. Batas-batas kedaerahan, dan segala macam rintangan yang disebabkan perbedaan warna kulit dan suku bangsa, disapu bersih, dan kesatuan umat didasarkan atas satu prinsip yang luhur, yaitu sekalian manusia adalah satu, dan sekalian manusia, di mana pun mereka berada, adalah satu umat (2:213). Persatuan semacam itu tak akan berdiri tegak, kecuali bila kenabian telah berakhir, karena jika setelah datangnya Nabi dunia tetap akan datang Nabi baru, ini pasti akan menuntut keta’atan umat Nabi ini atau umat Nabi itu, dan ini pasti akan menggoyahkan landasan persatuan yang dituju oleh agama Islam, dan ini hanya bisa dicapai dengan adanya seorang Nabi bagi seluruh dunia. Dari sinilah penulis merasa akan perlu pembahasan secara mendalam tentang Khotamul Anbiya’ juga pemberontakan yang terjadi pasca berakhirnya kerasulan Muhammad SAW.

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Khotamul Anbiya’
Kata خاتمة  (khotimatun) berasal dari kata ختم (khatama) yang berarti sudah ditutup, kemudian menjadi isim fa’il خاتم yang berarti orang yang menutup.Cara pengucapan. Khatam dalam ayat al-Qur’an dapat di ucapkan (dibaca) dengan beberapa ucapan, diantaranya : Khatim, Khatam, Khatam, Khatama. Namun perbedaan dalam pegucapan tersebut tidak mempengaruhi makna dari kata tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa bagaimanapun cara pengucapan kata tersebut seluruhnya memberikan makna Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir utusan Allah. Kenabian terakhir ditandai dengan kehadiran beliau, tidak ada nabi lagi, syari’at maupun kitab yang muncul setelahnya.[1]
Kata nabi berasal dari kata نبأ yang berarti memberitakan. Sedangkan lafadz Nabi merupakan  isim fa’il dari kata tersebut. Kata النبوة  ختم (Khotamun Nubuwwah) dapat didefinisikan bahwa kenabian telah mencapai puncaknya dan dengan perantara nabi  Muhammad saw, pintu kenabian telah tertutup dan tidak pernah terbuka kembali bagi siapapun sampai har kiamat.[2]
Tidak semua ulama mengartikan Khatamannabiyyin dengan penutup para nabi/ nabi terakhir dalam arti sesudah Rasulullah tidak ada lagi seorang Nabi dalam bentuk apapun. Sebaliknya, banyak sekali ulama yang tidak mengartikan demikian, tetapi mengartikannya dengaan : cincin para nabi, stempel para nabi (secara majazi), atau penutup para nabi/ nabi terakhir dalam arti (1) akhir derajatnya, tidak ada nabi yang lebih tinggi, lebih utama, lebih baik dari beliau, atau (2) akhir syariatnya, yakni tidak ada lagi nabi pembawa syariat baru setelah beliau. Para ulama itu seperti Imam Mulla ‘Ali Al-Qari, Al-Allamah Al-Zarqani, As-Syarif Ar-Radhi, Abu Riyash Ahmad Ibrahim Al-Qaisi, Umayyah bin Abi Salt, Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi, dan lain sebagainya.[3]
B.     Hadis-hadis yang mengenai Khotamul Anbiya[4]
HR. Muslim no. 812
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ
وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa'id serta Ali bin Hujr mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail, dan dia adalah Ibnu Ja'far dari al-'Ala' dari Bapaknya dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam telah bersabda, "Aku diberi keutamaan atas para nabi dengan enam perkara: pertama, aku diberi Jawami' al-Kalim. Kedua, aku ditolong dengan rasa takut (yang dihunjamkan di dada-dada musuhku). Ketiga, ghanimah dihalalkan untukku. Keempat, bumi dijadikan suci untukku dan juga sebagai masjid. Kelima, aku diutus kepada seluruh makhluk. Keenam, para nabi ditutup dengan kerasulanku.
H.R. Tirmidzi No. 1474
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
 وَسَلَّمَ قَالَ فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا
وَطَهُورًا وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr berkata; telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far dari Al 'Ala bin 'Abdurrahman dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku dilebihkan atas semua Nabi dengan enam hal; aku diberi ucapan yang singkat dan padat maknanya, aku dimenangkan dengan (menebarnya) rasa takut pada diri musuh, ghanimah dihalalkan untukku, bumi dijadikan untukku sebagai masjid dan tempat bersuci dan aku diutus untuk semua makhluk, serta aku menjadi penutup para nabi." Ini adalah hadis hasan shahih.
HR. Muslim no. 4342
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ وَاللَّفْظُ لِزُهَيْرٍ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ
بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا مُحَمَّدٌ وَأَنَا أَحْمَدُ
 وَأَنَا الْمَاحِي الَّذِي يُمْحَى بِيَ الْكُفْرُ وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِي يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى عَقِبِي وَأَنَا الْعَاقِبُ وَالْعَاقِبُ الَّذِي لَيْسَ بَعْدَهُ نَبِيٌّ
Artinya :
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim dan Ibnu Abu 'Umar dan lafazh ini milik Zuhair. Ishaq berkata; Telah mengabarkan kepada kami Sedangkan yang lainnya berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah dari Az Zuhri dia mendengar Muhammad bin Jubair bin Muth'im dari Bapaknya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya saya adalah Muhammad, saya adalah Ahmad, saya adalah al-Mahi yang maknanya Allah menghapus kekufuran denganku, saya adalah al-Hasyir yang maknanya orang-orang akan dikumpulkan mengikuti kakiku, dan saya adalah al-'Aqib yang maknanya tiada nabi sesudahku."
C.    Konsep Nubuwwah
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Artinya :
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Ahzab 40)
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa definisi mengenai khotamun nabi. Salah satunya yang sesuai dengan ayat ini adalah cincin para nabi/ stempel para nabi. Namun, yang dimaksud disini adalah bukan lagi cincin para nabi, stempel para nabi yang sebenarnya ataupun yang terakhir dari nabi-nabi. Akan tetapi yang termulia/terbaik diantara para nabi merupakan arti kiasan (majazi) dari kata khatam.
Penggunaan makna majazi dikarenakan menyesuaikan dengan asbabun nuzul ayat tersebut difirmankan dalam rangka menyanjung/menerangkan ketinggian derajar Rasulallah Saw diatas derajat semua orang termasuk para nabi. Sementara hal itu tidak dapat dicapai melalui makna hakiki. Karena tidak mengandung sanjungan apa-apa, bahkan makna itu tidak mungkin diberikan karena Rasulallah Saw sebagai manusia bukan emas atau perhiasan. Begitupun  jika diartikan dengan penutup para nabi/nabi terakhir, dalam arti terakhir kedatangannya (diutusnya) dan sesudah beliau tidak ada nabi lagi juga tidak mengandung pujian apa-apa,  karena orang yang datang belakangan belum tentu lebih mulia dari pada datang yang lebih dulu. Tetapi melalui makna majazi, sanjungan kepada Rasulullah SAW bisa tercapai. Cincin para nabi dalam arti Rasuallah SAW itu merupakan kebanggan para Nabi lantaran berbagai kebaikan dan keistimewaan yang beliau miliki, sebagaimana cincin yang bagus dan sangat mahal harganya menjadi kebanggaan bagi pemiliknya. Atau stempel para nabi dalam arti bahwa dengan perantara Rasulallah SAW status para nabi dan legalitas risalah mereka menjadi jelas dan resmi, yang sebelumnya seperti kabur dan meragukan. Begitupun sebagimana kegunaan stempel untuk melegalisir surat-surat penting. Atau penutup/yang terakhir dari para nabi dalam arti beliau nabi yang derajatnya paling akhir, tidak ada nabi yang derajatnya melebihi beliau, baik nabi lama atau nabi baru.[5]
D.    Dalil tentang Nabi terakhir dan Hukum Nabi Palsu
Penetapan bahwa Rasulullah adalah Rasul sekaligus Nabi terakhir oleh para ulama didasarkan surat al-Ahzab, ayat 40: ”Bukanlah Muhammad itu bapak salah seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasulullah dan khatam (penutup) nabi-nabi”. Imam al-Qurthubi dalam al-Jami’al-Ahkam-nya (7/496), mengatakan bahwa jama’ah salaf dan khalaf menyatakan, ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada nabi setelah Rasulullah. Para mufasirin dan fuqaha seperti Imam Syafi’i dalam al- Umm, Ibnu Katsir, Imam as-Syaukani dalam Fathu al-Qadir beserta ahli tafsir kontemporer seperti al-Maraghi, as-Shabuni serta Muhammad Abduh dalam al-Manar menyatakan hal yang sama.
Beberapa hadis pun memiliki makna bahwa Rasulullah saw. adalah rasul terakhir, salah satunya adalah hadis: “Sesungguhnya saya mempunyai nama-nama, saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al-Mahi, yang mana Allah menghapuskan kekafiran karena saya, saya Al-Hasyir yang mana manusia berkumpul di kaki saya, saya Al-Aqib yang tidak ada Nabi setelahnya” (HR. Muslim). Karena amat banyak jalan periwayatannya, maka Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya (6/452) menyatakan bahwa hadis ini mencapai derajat mutawatir. Pernyataan ini diamini oleh Mufti Pakistan, Muhammad Syafi’.
Sebagaimana disebutkan juga oleh Ibnu Katsir, bahwa hadis-hadis mutawatir itu disamping menunjukkan bahwa tidak ada rasul setelah Muhammad saw. ia juga menginformasikan bahwa, jika ada seseorang yang mengaku-ngaku nabi maka bisa dipastikan bahwa orang itu adalah pembohong besar, sesat dan menyesatkan, walau ia bisa menunjukkan hal-hal yang aneh atau memiliki ilmu sihir. Informasi ini adalah salah satu bentuk kecintaan Allah kepada hambanya (hingga mereka tidak tersesat).     Selain al-Quran dan Sunnah, ijma’ juga menyatakan bahwa Rasulullah adalah nabi terakhir. Ini disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam al-Maratib al-Ijma’ yang dinukil oleh Ibnu al-Qathan al-Fasi dalam al-Iqna’ fi Masa’il al-Ijma (1/33).
E.     Pandangan Fuqaha mengenai Nabi Palsu[6]
Masalah munculnya nabi-nabi palsu telah direspon serius oleh para ulama sejak dulu. Tak hanya hari ini. Karena hal ini menyangkut masalah yang amat serius pula, yaitu masalah keimanan. Ini disebabkan dalil qath’i baik dari al-Quran, Sunnah, serta ijma telah menyatakan bahwa Rasulullah Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir, dan tidak ada syari’at yang harus diikuti kecuali syari’at yang telah beliau bawa.
Atas dasar nash-nash itulah para fuqaha menyatakan bahwa mereka yang mengaku-ngaku sebagai nabi otomatis telah kufur, bagitu juga mereka yang mengikutinya. al-Muthi’i dalam Syarh al-Muhadzab (20/371), salah satu kitab pokok dalam madzhab Syafi’i menyebutkan, “Begitu juga (telah murtad) orang yang mengaku nabi setelah Nabi Muhammad saw. serta orang yang mengikutinya”.
Beliau juga menyebutkan bahwa para ulama telah bersepakat, jika ada seseorang mengatakan, “Seandainya fulan itu menjadi nabi, maka aku membenarkannya”, maka, menurut al-Muthi’i, ia telah murtad. al-Muthi’i juga merujuk perkataan Imam Syafi’i yang menyatakan,”Ada beberapa orang yang murtad setelah Islam, mereka adalah Thalhah, Musailamah, ‘Ansa beserta para pengikut mereka”.
Ulama dari kalangan madzhab Hambali pun memiliki pendapat yang serupa, Ibnu al-Qudamah dalam al-Mughni (2/2181), rujukan pokok madzhab Hanbali, menyatakan,”Barang siapa mengaku-ngaku sebagai nabi atau membenarkan seruannya, maka ia telah murtad!”
F.     Nabi-nabi palsu
NABI PALSU SEBELUM ZAMAN ISLAM[7] :
1.   Zoroaster (Persia, 660-583 SM), kitab suci: Avesta. Mati terbunuh dalam perang melawan Bactria (Balkh).
2.   Marcion (Roma, ± 144 M), pembentuk gereja Marcionite dan pemahaman Marcionisme .
3.   Mani (Persia, ± 242 M), pendiri agama Manichaeisme (al-Maniwiyah). Mati dibunuh, dikuliti, dan kulitnya diisi jerami dan digantung oleh Bahram.
4.   Daishan, pendiri aliran Daishaniyah yaitu suatu aliran ber-tuhan dua di Persia dari agama Majusi.
5.   Mazdak (Persia, 487-523 M), pendiri aliran Mazdakiyah (Serba Boleh dan Semua Halal), kitab suci: Zanda. Mati dibunuh.
NABI PALSU DI ZAMAN JAHILIYAH :
1.   Amru bin Luhayyi, (dari Kabilah Khuza’ah), orang yang pertama kali merubah agama Nabi Ibrahim dan Ismail menjadi kemusyrikan dan penyembahan berhala.
NABI PALSU DI MASA RASULULLAH SAW :
1.   Al-Aswad al-Ansi (11 H/632 M) atau Abhalah bin Ka’ab bin Auf al-Ansi al-Madzhiji  seorang dukun dari Yaman. Mati dibunuh oleh Fairuz, kerabat istri al-Aswad.
2.   Musailamah al-Kadzdzab (usia 150 tahun, mati tahun 12 H/633 M). Memiliki pasukan 40.000 orang. Mati dibunuh oleh Wahsyi dengan tombaknya pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
NABI PALSU SETELAH MASA RASULULLAH SAW :
1.   Sajah binti Al-Harits bin Suwaid bin Aqfan at-Tamimiyah dari Bani Yarbu (mati tahun 55 H/675 M). Seorang dukun wanita yang mengaku Nabi di zaman Abu Bakar ash-Shiddiq dan kemudian dinikahi oleh Musailamah al-Kadzdzab. Sete-lah Musailamah terbunuh, Sajah melarikan diri ke Irak kemudian masuk Islam dan mati dalam keadaan Islam.
2.   Thulaihah al-Asadi (mati tahun 21 H/642 M). Masuk Islam tahun 9 H, kemudian murtad dan mengaku Nabi di Nejd pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq. Setelah Abu Bakar ash-Shiddiq wafat, Thulaihah bertaubat (masuk Islam) kemu-dian mati syahid dalam penaklukkan Persia.
3.   Abdullah bin Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib. Sempalan Syiah yang meyakini reinkarnasi (kembali-nya ruh orang yang sudah mati) dari satu orang ke orang lain. Dia mengaku Tuhan dan Nabi sekaligus.
4.   Al-Mukhtar bin Abi Ubaid (Thaif, 622-687 M/67 H), pe-nganut Syiah yang mengaku Nabi dan mendapat wahyu. Dia adalah saudara iparnya Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu. Mati dibunuh oleh Mush’ab bin Az-Zubair di Harura.
5.   Mirza Ali Mohammad (abad 19). Pendiri agama Babisme dan penganut Syiah, dihukum mati oleh pemerin-tah Iran tahun 1843.
6.   Mirza Husein Ali. Pendiri agama Bahaisme (pengganti Babisme) dan penganut Syiah. Mengaku Nabi tahun 1862 dan mati tahun 1892, kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Abbas Efendy yang berpusat di Chicago.
7.   Mirza Ghulam Ahmad (India 1835-1908). Pendiri agama Ahmadiyah. Kitab suci: Tadzkirah. Mati terkena wabah penyakit kolera.
8.   Rashad Khalifa (Mesir, 1935-1990), penganut Tasawuf dan perintis Ingkarus Sunnah. Mati dibunuh oleh pengikutnya dengan disembelih dan ditusuk-tusuk dengan pisau dapur.
9.   Asy-Syaikhah Manal Wahid Manna, wanita tersebut mulai melontarkan kesesatan sejak tahun 1995. Dan dipenjara oleh pemerintahan Mesir.
10.  Tsurayya Manqus, seorang wanita peneliti, cendekiawan dalam bidang sejarah dari Yaman.
11.  Muhammad Bakri, asal Yaman dan dibunuh oleh pengikut-nya, kemudian disalib di atas papan kayu.
12.  Muhammad Abdur Razak Abul ‘Ala, asal Sudan. Bekerja sebagai tukang jahit di Kairo.
13.  Dan masih ada beberapa Dajjal yang mengaku Nabi dari berbagai negara lainnya seperti di Sudan, Saudi Arabia, Mesir, Libanon dan lainnya.
NABI-NABI PALSU DI INDONESIA[8] :
1. Ahmad Musaddeq atau H. Abdul Salam (Lahir Jakarta, 1942), mengaku menjadi Nabi tanggal 23 Juli 2006. Pemim-pin Al-Qiyadah Al-Islamiyah di rezim Presiden Susilo Bam-bang Yudhoyono. Kitab suci: Al-Qur’an dengan pemahaman sendiri. Mengaku bertaubat tanggal 9 November 2007.
2. Lia Aminuddin, pendiri agama Salamullah. Mengaku men-dapat wahyu dari malaikat Jibril dan mengklaim dirinya Nabi dan Rasul serta Imam Mahdi. Divonis hukuman 3 tahun penjara oleh Mahkamah Agung.
3. Ahmad Mukti, putra dari Lia Aminuddin yang dianggap sebagai Nabi Isa.
Begitu banyak orang-orang yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Yang kesemuanya itu sungguh sangat bertentangan dengan apa yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.




PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa tidak semua ulama mengartikan khatamannabiyyin dengan penutup para nabi/ nabi terakhir dalam arti sesudah Rasulullah tidak ada lagi seorang Nabi dalam bentuk apapun. Sebaliknya, banyak sekali ulama yang tidak mengartikan demikian, tetapi mengartikannya dengaan : cincin para nabi, stempel para nabi (secara majazi), atau penutup para nabi/ nabi terakhir dalam arti (1) akhir derajatnya, tidak ada nabi yang lebih tinggi, lebih utama, lebih baik dari beliau, atau (2) akhir syariatnya, yakni tidak ada lagi nabi pembawa syariat baru setelah beliau. Namun, disini penulis mengartikan khatamannabiyyin dengan penutup para nabi/ nabi terakhir dalam arti sesudah Rasulullah tidak ada lagi seorang Nabi dalam bentuk apapun.
Mengenai munculnya nabi-nabi palsu telah direspon serius oleh para ulama sejak dulu. Tak hanya hari ini. Karena hal ini menyangkut masalah yang amat serius pula, yaitu masalah keimanan. Ini disebabkan dalil qath’i baik dari al-Quran, Sunnah, serta Ijma yang menyatakan bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir, tidak ada syari’at yang harus diikuti kecuali syari’at yang telah beliau bawa. Atas dasar nash-nash itulah para fuqaha menyatakan bahwa mereka yang mengaku-ngaku sebagai nabi otomatis telah kufur, bagitu juga mereka yang mengikutinya. Hal serupa juga disampaikan oleh Imam Syafi’i dan Imam Hanbali.
Lampiran Syarah Hadis

في الكتاب : إكمال المعلم شرح صحيح مسلم - للقاضي عياض
المؤلف : العلامة القاضي أبو الفضل عياض اليحصبي 544 هـ
عدد الأجزاء / 8

كتاب المساجد ومواضع الصلاة
طَأرِقٍ ، حَدثنِى رِبْعِىُّ بْنُ حِرَاشٍ عَنْ حُذَيْفَةَ ؛ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ ( صلى الله عليه وسلم ) ، بِمِثْلِهِ .
5 - (523) وَحَد ؟شَا يَحْيىَ بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيد وَعَلى بْنُ حُجْرٍ ، قَالوا : حَد ، شَا إِسْمَاعِيلُ - وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ - عَن العَلاء ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنًْ ابِى هُرَيْرَةَ ؛ أَنَّ رَسُولَ اللّه ( صلى الله عليه وسلم ) قَالَ : (فُضِّلتُ عَلى الأنْبِيَاء بِسِتًّ : اعْطَيتُ جَوَامِعَ الكَلم ، وَنُصِرْتُ بالرُّعْبِ ، وَاحِلتْ لِىَ الغَنَائِمُ ، وَجُعِلتْ لِىَ الأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا ، وَارْسِلتُ إِلى الخَلقَ كَافَّةً ، وَخُتِمَ بِىَ النَّبِيَونَ " .
قال الإمام : وقوله : (فضلت على الاَنبياء بست) الحديث ، وفيه : (جعلت لى الاَرض مسجداً وطهوراً) (1) ، قد تقدم من قولنا : إن مالكا يحتج بجواز التيمم على سوى التراب من الاَرض بهذا الحديث ، وأن الشافعى احتج بالحديث الثانى الذى فيه : (وترابها طهوراً) ، وراى أنه مفسر للحديث الأول .
وقوله : (مسجداً) : قيل : إن[ من] (2) كان قبله من الاَنبياء إنما أبيح لهم الصلوات
فى مواضع مخصوصة كالبيع والكنائس .
وقوله : " وأحلت لى الغنائم) : وهو من خصالْصه - عليه السلام - وكان من قبله لا
تحل لهم الغنائم بل كانت تجمع ، ثم تأتى نار من السماء فتأكلها .
 قال القاضى : قوله فى هذا الحديث : (جعلت لى الأرض طيبة طهوراً ومسجداً) : فيه دليلان ظاهران لأصحابنا المالكية ومن وافتمهم : أحدهما : فى أن تأويل قوله تعالى : { صَعِيدًا طَيئا} (3) أى طاهراً خلاف قول الشافعى ومن وافقه أن معناه : مُنْبِتًا (4) وعلى هذا اختلفوا أ هم] (5) وغيرهم فى التيمم على السباخ والصفا وما لا يُنبت وما سوى التراب على ما تقدم فى كتاب الطهارة ، ووصف النبى - عليه السلام - ها هنا الأرض بهذا لا يصح فيه إلا الطهارة ، وكانت بمعنى الاَية ومفسرة لها .
والثانى : للمالكية والشافعية ومن وافقهم فى اختصاص الطهارة بالماء دون سائر
(1) الذى فى الصحيح المطبوع : (وجعلت لى الأرض طهوراً ومسجداً لما .
(2) من هامش ت .
 (3) المائدة 60 .
(4) الذى وجدناه للإمام الافعى فى الآية قوله فى الأم : وكل ما وقع عليه اسم عمعيد لم تخالطه نجاسة فهو صعيد طيب يتيمم به ، وكل ما حال عن اسم صعيد لم يتيمم به ، ولا يقع اسم عمعيد إلا على تراب فى غبار ...
 .
 ولا يتيمم ثىء من الصعيد علم المتيمم أنه اْصابه نجاسة بحال حتى يعلم أن قد طهر بالماء .
 الاَم 43 / 1 .
(5) ساقطة من ال الصل ، واستدركت بالهامسْ بسهم .

في الكتاب : شرح السنة ـ للإمام البغوى
المؤلف : الحسين بن مسعود البغوي
دار النشر : المكتب الإسلامي - دمشق ـ بيروت ـ 1403هـ - 1983م
عدد الأجزاء / 15

- أخبرنا أبو محمد عبد الله بن عبد الصمد الجوزجاني ، أخبرنا أبو القاسم علي بن أحمد الخزاعي ، أنا أبو سعيد الهيثم بن كليب الشاشي ، نا أبو عيسى الترمذي ، نا سعيد بن عبد الرحمن المخزومي وغير واحدٍ قالوا : نا سفيان ، عن الزهري ، عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال : قال رسول ا الله ( صلى الله عليه وسلم ) : " إن لي أسماء أنا محمد ، وأنا أحمد ، وأنا الماحي ، يمحو الله بي الكفر
وأنا الحاشر الذي يحشر الناس على قدمي ، وأنا العاقب "  والعاقب : الذي ليس بعده نبي.

هذا حديث متفق على صحته أخرجه محمد عن أبي اليمان ، عن شعيب ، وأخرجه مسلم عن عبد الله بن عبد الرحمن الدارمي ، عن أبي اليمان ، عن شعيب ، وعن زهير بن حرب ، عن سفيان ، كل عن
الزهري. صفحة رقم 212

في الكتاب : عمدة القاري شرح صحيح البخاري
المؤلف : بدر الدين العيني الحنفي

39- ( حدثني إبراهيم بن المنذر قال حدثني معن عن مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه رضي الله عنه قال قال رسول الله لي خمسة أسماء أنا محمد وأحمد وأنا الماحي الذي يمحو الله به الكفر وأنا الحاشر الذي يحشر الناس على قدمي وأنا العاقب )
مطابقته للترجمة ظاهرة ومعن بفتح الميم وسكون العين المهملة وفي آخره نون ابن عيسى القزاز مر في الوضوء والحديث أخرجه البخاري أيضا في التفسير عن أبي اليمان عن شعيب وأخرجه مسلم في فضائل النبي عن زهير بن حرب وإسحق بن إبراهيم وابن أبي عمرو عن حرملة بن يحيى وعن عبد الملك بن شعيب وعن عبد بن حميد وأخرجه الترمذي في الاستئذان عن سعيد بن عبد الرحمن وفي الشمائل عن غير واحد وأخرجه النسائي في التفسير عن علي بن شعيب البغدادي عن معن بن عيسى به قوله عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه كذا وقع موصولا عند معن بن عيسى عن مالك وقال الأكثرون عن مالك عن الزهري عن محمد بن جبير مرسلا ووافق معنا على وصله عن مالك جويرية بن أسماء عند الإسماعيلي ومحمد بن المبارك وعبد الله بن نافع عند أبي عوانة وأخرجه الدارقطني في الغرائب عن آخرين عن مالك وقال إن أكثر أصحاب مالك أرسلوه ورواه مسلم موصولا من رواية يونس بن يزيد وعقيل ومعمر ورواه البخاري أيضا موصولا في التفسير من رواية شعبة ورواه الترمذي أيضا موصولا من رواية ابن عيينة كلهم عن الزهري قوله لي خمسة أسماء فيه سؤالان الأول أنه قصر أسماءه على خمسة وأسماؤه أكثر من ذلك وقد قال أبو بكر بن العربي في شرح الترمذي عن بعضهم أن لله تعالى ألف اسم وكذا للرسول والثاني أن قوله الماحي ونحوه صفة لا اسم الجواب عن الأول أن مفهوم العدد لا اعتبار له فلا ينفي الزيادة وقيل إنما اقتصر عليها لأنها موجودة في الكتب القديمة ومعلومة للأمم السالفة وزعم بعضهم أن العدد ليس من قول النبي وإنما ذكره الراوي بالمعنى ورد عليه لتصريحه في الحديث بذلك وقيل معناه ولي خمسة أسماء لم يسم بها أحد قبلي وقيل معناه أن معظم أسمائي خمسة والجواب عن الثاني أن الصفة قد يطلق عليها الاسم كثيرا قوله أنا محمد هذا هو الأول من الخمسة وقال السهيلي في الروض لا يعرف في العرب من تسمى محمدا قبل النبي إلا ثلاثة محمد بن سفيان بن    مجاشع ومحمد بن أحيحة بن الجلاح ومحمد بن حمران بن ربيعة وقد رد عليه ومنهم من عد ستة ثم قال ولا سابع لهم ثم عدهم فذكر منهم هؤلاء الثلاثة وزاد عليهم محمد بن خزاعي السلمي ومحمد بن مسلمة الأنصاري ومحمد بن براء البكري ورد عليه أيضا بجماعة تسموا بمحمد وهم محمد بن عدي بن ربيعة السعدي روى حديثه البغوي وابن سعد وابن شاهين وغيرهم ومحمد بن اليحمد الأزدي ذكره المفجع البصري في كتاب المنقذ ومحمد بن خولي الهمداني ذكره ابن دريد ومحمد بن حرماز ذكره أبو موسى في الزيل ومحمد بن عمرو بن مغفل بضم الميم وسكون الغين المعجمة وكسر الفاء وباللام ومحمد الأسيدي ومحمد الفقيمي ومحمد بن يزيد بن ربيعة ومحمد بن أسامة ومحمد بن عثمان ومحمد بن عتوارة الليثي قوله وأنا أحمد هذا هو الثاني من الخمسة ويروى وأنا محمد وأحمد بغير لفظة وأنا قوله وأنا الماحي هذا هو الثالث من الخمسة قيل أراد بقوله الذي يمحو الله بي الكفر من جزيرة العرب وقال الكرماني محو الكفر إما من بلاد العرب ونحوها وفيه نظر لأنه وقع في رواية عقيل ومعمر يمحو الله بي الكفرة وفي رواية نافع بن جهير وأنا الماحي فإن الله يمحو به سيئات من اتبعه ( قلت ) قوله هذا عام يتناول كفر كل أحد في كل أرض قوله وأنا الحاشر هذا هو الرابع من الخمسة وقد فسره بقوله الذي يحشر الناس على قدمي أي على أثري أي أنه يحشر قبل الناس ويوافق هذا لقوله في الرواية الأخرى يحشر الناس على عقبي ويقال معناه على زماني ووقت قيامي على القدم بظهور علامات الحشر ويقال معناه لا نبي بعدي قوله قدمي ضبطوه بتخفيف الياء وتشديدها مفردا ومثنى قوله وأنا العاقب هذا هو الخامس وزاد يونس بن يزيد في روايته عن الزهري الذي ليس بعده أحد وقد سماه الله رؤفا رحيما وقال البيهقي في الدلائل قوله وقد سماه الله إلى آخره مدرج من قول الزهري وفي دلائل البيهقي العاقب يعني الخاتم وفي لفظ الماحي والخاتم وفي لفظ فأنا حاشر فبعثت مع الساعة نذيرا لكم بين يدي عذاب شديد وعند مسلم في حديث أبي موسى الأشعري ونبي التوبة ونبي الملحمة وعن أبي صالح قال إنما أنا رحمة مهداة وقال أبو زكريا العنبري لنبينا محمد خمسة أسماء في القرآن العظيم قال الله عز وجل محمد رسول الله وقال ومبشرا برسول يأتي من بعدي اسمه أحمد وقال وإنه لما قام عبد الله يعني النبي ليلة الجن وقال ( طه ) وقال ( يس ) يعني يا إنسان والإنسان هنا العاقل وهو محمد وقال البيهقي وزاد عبدة وسماه في القرآن رسولا نبيا أميا وسماه شاهدا ومبشرا ونذيرا وداعيا إلى الله بإذنه وسراجا منيرا وسماه مذكرا ورحمة وجعله نعمة وهاديا عن كعب قال الله عز وجل لمحمد عبدي المتوكل المختار وعن حذيفة بسند صحيح يرفعه أنا المقفى ونبي الرحمة وعن مجاهد قال أنا رسول الرحمة أنا رسول الله الملحمة بعثت بالحصاد ولم أبعث بالزراع وفي كتاب الشفاء وأنا رسول الراحة ورسول الملاحم وأنا قثم والقثم الجامع في الكامل وفي القرآن المزمل والمدثر والنور والمنذر والبشير والشاهد والشهيد والحق والمبين والأمين وقدم الصدق ونعمة الله والعروة الوثقى والصراط المستقيم والنجم الثاقب والكريم وداعي الله والمصطفى والمجتبى والحبيب ورسول رب العالمين والشفيع والمشفع والمتقي والمصلح والظاهر والصادق والمصدوق والهادي وسيد ولد آدم وسيد المرسلين وإمام المتقين وقائد الغر المحجلين وحبيب الله وخليل الرحمن وصاحب الحوض المورود والشفاعة والمقام المحمود وصاحب الوسيلة والفضيلة والدرجة الرفيعة وصاحب التاج والمعراج واللواء والقضيب وراكب البراق والناقة والنجيب وصاحب الحجة والسلطان والعلامة والبرهان وصاحب الهراوة والنعلين والمختار ومقيم السنة والمقدس وروح القدس وروح الحق وهو معنى البارقليط في الإنجيل وقال ثعلب البارقليط الذي يفرق بين الحق والباطل وماذماذ معناه طيب طيب والبرقليطس بالرومية وقال ثعلب الخاتم الذي ختم الأنبياء والخاتم أحسن الأنبياء خلقا وخلقا ويسمى بالسريانية مشفح والمنحمنا وفي التوراة أحيد ذكره ابن دحية بمد الألف وكسر الحاء ومعناه أحيد أمتي عن النار وقيل معناه الواحد وقال عياض ومعناه صاحب القضيب أي السيف وفي الدر المنظم للعرقي من أسمائه المصدق المسلم الإمام المهاجر العامل اذن خير الآمر الناهي المحلل المحرم الواضع الرافع المجير وقال ابن دحية أسماؤه وصفاته إذا بحث عنها تزيد على الثلاثمائة وقد ذكرنا
عن ابن العربي أن أسماءه بلغت ألفا كأسماء الله تعالى

في الكتاب : التمهيد لما في الموطأ من المعاني والأسانيد
المؤلف : أبو عمر يوسف بن عبد الله بن محمد بن عبد البر بن عاصم النمري القرطبي (المتوفى : 463هـ)


الحديث السابع عشر
حديث ثان لابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم مرسل
يتصل من وجوه
مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لي خمسة أسماء أنا محمد وأنا أحمد وأنا الماحي الذي يمحو الله بي الكفر وأنا الحاشر الذي يحشر الناس على قدمي وأنا العاقب.
هكذا روى هذا الحديث يحيى مرسلا لم يقل عن أبيه وتابعه على ذلك أكثر الرواة للموطأ وممن تابعه على ذلك القعنبي وابن بكير وابن وهب وابن القاسم وعبد الله بن يوسف وابن أبي أويس وأسنده عن مالك معن بن عيسى ومحمد بن المبارك الصوري ومحمد بن عبد الرحيم وابن شروس الصنعاني "وعبد الله بن مسلم" الدمشقي وإبراهيم بن طهمان وحبيب ومحمد بن حرب وأبو حذافة وعبد الله بن نافع وأبو المصعب كل هؤلاء رواه عن مالك مسندا عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه.
حدثنا محمد حدثنا علي بن عمر حدثنا أبو بكر النيسابوري حدثنا إسحاق بن الحسن الطحان بمصر حدثنا محمد بن المبارك الصوري قال: سمعت رجلا يقول لمالك بن أنس أحدثك ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه. أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لي خمسة أسماء أنا محمد وأنا أحمد وأنا الماحي وأنا الحاشر وأنا العاقب؟ قال: نعم.
وأخبرنا علي بن إبراهيم حدثنا الحسن بن رشيق حدثنا العباس بن محمد بن العباس البصري حدثنا أحمد بن صالح قال: قرأت على ابن نافع قال: حدثني مالك بن أنس عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "إن لي خمسة أسماء أنا محمد وأنا أحمد وأنا الماحي الذي يمحو الله بي الكفر وأنا الحاشر الذي يحشر الناس على قدمي وأنا العاقب والعاقب الذي ليس بعده أحد".
هكذا قال: في تفسير العاقب في نسق الحديث وذكره الدار قطني عن محمد بن عبد الله بن زكرياء والحسن بن خضر والحسن بن رشيق كلهم عن العباس بن محمد عن أحمد بن صالح مثله سواء.
وحدثنا عبد الله بن محمد قال حدثنا سعيد بن عثمان قال حدثنا محمد ابن يوسف قال حدثنا البخاري قال حدثنا إبراهيم بن المنذر قال حدثنا معن عن مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال: قال: رسول الله صلى الله عليه وسلم لي خمسة أسماء أنا محمد وأحمد وأنا الماحي الذي يمحو الله بي الكفر وأنا الحاشر الذي يحشر الناس على قدمي وأنا العاقب.
وكذلك رواه أصحاب ابن شهاب عن ابن شهاب عن محمد بن جبير عن أبيه مسندا حدثنا سعيد بن نصر قال حدثنا قاسم بن أصبغ قال: "حدثنا" محمد بن إسماعيل الترمذي قال حدثنا الحميدي وحدثنا عبد الله بن محمد قال حدثنا محمد بن يحيى بن عمر بن علي قال حدثنا علي بن حرب قالا جميعا حدثنا سفيان بن عيينة عن الزهري عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "إني أنا محمد وأنا أحمد وأنا الماحي الذي يمحو الله بي الكفر وأنا الحاشر الذي أحشر الناس وأنا العاقب الذي ليس بعدي نبي" .
وكذلك رواه شعيب بن أبي حمزة عن الزهري لم يقل خمسة أسماء والأسماء هنا والصفات سواء فمحمد مفعل من الحمد وكذلك أحمد أفعل من الحمد قال بعض الشعراء:
وشق له من اسمه ليجعله ... فذو العرش محمود وهذا محمد
حدثني عبد الوارث بن سفيان قال حدثنا قاسم بن أصبغ قال حدثنا أبو إسماعيل محمد بن إسماعيل الترمذي قال حدثنا قتيبة بن سعيد أبو رجاء المعلالي قال حدثنا سفيان بن عيينة عن علي بن زيد بن جدعان قال: أحسن بيت قيل فيما قالوا قول عبدالمطلب أو قول أبي طالب الشك من أبي إسماعيل:
وشق له من اسمه ليجله ... فذو العرش محمود وهذا محمد
والقول في الاسم والمسمى ليس هذا موضعه وقد اختلف في ذلك أهل العلم وسائر فرق الإسلام وأكثروا من القول في ذلك بما لم أر في ذكره ههنا وجها ومعنى قوله يحشر الناس على قدمي أي قدامي وأمامي أي أنهم يجتمعون إليه وينضمون حوله ويكونون أمامه يوم
القيامة وروى الخليل بن أحمد حشرتهم السنة إذا ضمتهم من النواحي وهذا الحديث أيضا مطابق لكتاب الله في قوله عز وجل: {مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ} وقال: صلى الله عليه وسلم "أنا العاقب الذي ليس بعدي نبي" حدثني خلف بن أحمد قال حدثنا أحمد بن مطرف قال حدثنا أحمد بن خالد قال حدثنا يحيى بن عمر قال حدثنا يوسف بن عمر قال أخبرنا ابن وهب عن مالك قال: ختم الله به الأنبياء وختم بمسجده هذه المساجد يعني مالك بذلك مساجد الأنبياء.
وقال أبو عبيد سألت سفيان يعني ابن عيينة عن العاقب فقال لي آخر الأنبياء قال أبو عبيد وكذلك كل شيء خلف بعد شيء فهو عاقب وقد عقب يعقب عقبا ولهذا قيل لولد الرجل بعده عقبة وكذلك آخر كل شيء عقبه.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Jaiz. Hartono., 2008, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, (Jakarta: Maktabah Salman)
Miftahuzzaman, 2000, Kedatangan Nabi Di Abad Ini, (Solo: CV Aneka)
Warson Munawwir. Ahmad., 1997, Kamus al- Munawwir Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif)
Software Gawamee



[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al- Munawwir Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)
[2] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al- Munawwir Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)
[3] Miftahuzzaman, Kedatangan Nabi Di Abad Ini, (Solo: CV Aneka, 2000)
[4] Software Gawamee
[5] Miftahuzzaman, Kedatangan Nabi Di Abad Ini, (Solo: CV Aneka, 2000)
[6] Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat,(Jakarta: Maktabah Salman, 2008), hlm. 8
[7] Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat,(Jakarta: Maktabah Salman, 2008), hlm. 9
[8] Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat,(Jakarta: Maktabah Salman, 2008), hlm. 10