Rabu, 20 Desember 2017

KONSEP POLITIK ABUL A’LA AL-MAUDUDI



Berakhirnya Kekhalifahan Turki Utsmani sejalan dengan tuntutan-tuntutan kemerdekaan dari berbagai negara kolonial yang memiliki muslim mayoritas, seperti negara yang berada di wilayah Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika Utara, dan lain-lain. Mereka melihat bahwa Turki Utsmani yang begitu kharismatik mampu menguasai Timur Tengah dan negara-negara Eropa bagian Timur, karena sistem kekuatan kekhalifahan yang amat tinggi. Kekhilafahan memang sangat terkait dengan kekuasaan, kepemimpinan, dan al-Imam al-A’zham.
Ada tiga kelompok pemikir Muslim dalam memaknai negara khilafah. Kelompok pertama sepakat  untuk menolak, jika Islam memiliki konsep “negara dalam Islam”. Hal ini disampaikan oleh Ali Abdurraziq dan Thaha Husein. Teori politiknya disamakan dengan teori politik barat yang tidak mengakui bahwa agama berkiprah dalam politik. Mereka pada hakikatnya menyamakan Islam dengan Nasrani. Golongan kedua diwakili oleh Muhammad Husein Haikal yang berpendapat bahwa Islam harus memiliki nilai-nilai pemerintahan yang terkandung di dalamnya. Dan yang terakhir adalah pernyataan yang yang berisi keharusan untuk kembali ke masa Nabi dan para Khulafa Rasyidin. Pernyataan ini didikung oleh Hasan al-Banna, Sayyid Qutub, Syaikh Rasyid Ridha, dan Abu al-A'la al-Mududi.[1]
Pluralitas pemahaman seperti yang telah disebutkan lazim tidak terhindarkan dan memang tidak perlu untuk dihindari. Realitasnya telah tertuang secara implisit dalam Al-Qur’an bahwa Allah menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan, berbangsa dan bersuku-suku. Secara tidak langsung, hal tersebut merupakan isyarat bahwa dengan jenis yang berbeda, beragam suku, bangsa, ras tentu tidak menutup kemungkinan menyebabkan adanya perbedaan pemahaman.
Di antara pemikir-pemikir Islam, seperti Sayyid Ahmad Khan ,Syekh Waliyullah, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal, Fazhlur Rahman, Yusuf Ali, al-Nadawi dan lain sebagainya, hanya al-Maududi saja yang merubah dan mencoba dengan ulet untuk menyuguhkan Islam sebagai suatu sistem komprehensif bagi kehidupan manusia. Tidak sedikit kritik keras yang dilontarkan oleh pemikir Islam sendiri kepada Maududi, tetapi tidak menjadi lemah dan menggoyahahkan keinginannya. Justru menambah semangat dan kemantapan pola pikir al-Maududi yang begitu solid. Tidak mengherankan jika orientalis Wilfred C. Smith memaparkan dalam bukunya Islam in Modern History bahwa Abu A’la al-Maududi merupakan salah satu seorang pemikir Islam yang paling sistimatik di kawasanan Indo-Pakistan.[2]
Pemahaman seseorang mengenai suatu hal selain dipengaruhi oleh gurunya juga tidak bisa lepas dari konteks zaman dan sistem sosial dimana dia tinggal. Dengan latar belakang keluarganya sebagai muslim taat, ayahnya seorang sufi, berupaya untuk menciptakan keadaan religius dan asketik  bagi anak-anaknya dengan sistem pendidikan yang cenderung klasik, beliau terbentuk menjadi tokoh yang menghasilkan produk pada zamannya juga andil dalam  mewarnai kehidupan masa serta lingkungannya.

A.    Pembahasan
Penulis mencoba membagi pemikiran dasar Syaikh al-Maududi menjadi 3, yaitu Teori Siyasah (Politik), Teori Kedaulatan Tuhan dan Teori Theokrasi.
1.      Teori Siyasah (Politik)
Tentang penjelasan Abu al-A'la al-Maududi mengenai al-Siyasah (Politik), ada pembahasan mengenai Kosmopolitanisme (Tashawwur al-Qur’an), Al-Hakimiyah al-Ilahiyah dan Al-Hakimiyah al-Qanuniyah.  
a.    Kosmopolitanisme (Tashawwur al-Kaun)
Allah pencipta alam semesta, manusia dan apa saja yang bisa bermanfaat untuk manusia.[3] juga disebut dengan konsep alam semesta yang dasar. Ayat-ayat yang mendasarinya adalah:
1)      Allah adalah pencipta alam semesta dan pencipta manusia di alam
-          QS. Al-An’am : 73
-          QS. Ar-Ra’d : 16
-          QS. An-Nisa : 1
-          QS. Thaha : 6
-          QS. Al-A’raf : 54
-          QS. As-Sajdah : 5
QS. Al-An’am :
2)      Allah adalah pemilik kekuasaan yurisdiksi dan kedaulatan hukum tertinggi di alam semesta
3)      Allah adalah pemilik makhluk, penguasanya dan yang mengurusi segala urusannya
-          QS. Ali Imron : 154
b.      Al-Hakimiyah al-Ilahiyah
Konsep Al-Hakimiyah al-Ilahiyah merupakan ungkapan lain dari kekuasan penuh/mutlak tuhan. Yang menjadi dasar pemikiran al-Madudi konsep yang kedua ini adalah :
1)      Tuhan pemelihara alam semesta ini pada hakikatnya adalah tuhan manusia dan tidak ada jalan lain bagi manusia kecuali patuh dan tunduk kepada sifatNya Yang Maha Esa
-          QS. Al-An’am : 162
2)      Hak untuk mneghakimi dan mengadili tidak dimiliki oleh siapapun keuali Allah. Karenanya manusia wajib taat kepadaNya dan inilah jalan yang benar dan prilaku yang lurus
-          QS. Asy-Syuraa : 10
3)      Hanya Allah sendiri yang memiliki hak mengeluarkan hukum, sebab Dialah satu-satunya pencipta
-          QS. Al-A’raf : 54
4)      Hukum Allah adalah sesuatu yang hak, sebab Dia sendiri yang mengetahui hakikat segala sesuatu, ditanganNyalah penentuan hidayah yang benar dan penentuan jalan yang sesat dan lurus.
-          QS. Al-Baqarah : 216
c.       Al-Hakimiyah al-Qanuniyah
Merupakan sebuah penegasan dari Al-Maududi mengenai undang-undang tertinggi, yaitu hukum yang telah dibuat oleh Allah SWT. Manusia wajib mengikuti undang-undang tersebut serta haram bagi seseorang ketika meninggalkannya dan justru  mengikuti undang-undang serta peraturan lain buatan manusia, perundang-undangan yang dibuatnya sendiri atau kecendrungan hawa nafsu. Konsep Al-Hakimiyah al-Qanuniyah atau dengan ungkapan lain kekuasan penuh tuhan dalam mengatur undang-undang makhluk, yang mendasari konsep yang ketiga ini adalah ayat-ayat berikut [4]
-          QS. Az-Zumar : 2-3
1.      Teori Kedaulatan Tuhan
Al-Maududi muncul dengan gagasan-gagasan yang andilnya diperhitungkan bagi perkembangan masyarakat Islam. \ Di saat orang-orang Islam bingung untuk mencari pemecahan persoalan “bagaimanakah bentuk negara Islam sebenarnya?”. Di saat itu al-Maududi tampil dengan meletakkan dasar negara dan bentuk negara yang ideal menurut Alqur’an dan Sunnah. Bagi beliau, negara haruslah berideologi tauhid, atas Kedaulatan Tuhan dan sistem yang universal. Kemudian di saat orang-orang berselisih paham dalam mentransformasi hasil perkembangan modern di dunia barat, bahkan sebagian mengagung-agungkan demokrasi barat dan menunjukkan bahwa demokrasi seperti itulah yang cocok sesuai Islam, atau sebagaian lain yang memandang bahwa sistem teokrasi di Eropa yang seharusnya menjadi cerminan Islam, al-Maududi muncul menawarkan sistem negara Islam dengan istilahnya yang baru yakni theo-demokrasi dan teokrasi Islam serta konsep-konsepnya yang cukup lengkap tentang negara.
Ide teori theo-demokrasi tidak semata-mata muncul begitu saja, namun terinspiras dari teori Kedaulatan Tuhan. Teori ini berkembang di Barat pada Abad Pertengahan (abad ke-5 s/d ke-15 M). Dijelaskan dalam  The Concise Oxford Dictionary yang kemudian dikutip oleh Jimly Asshidiqie istilah teokrasi dihubungkan dengan negara atau pemerintahan yang dipimpin oleh Tuhan, baik secara langsung maupun melalui kelas kependetaan[1] atau secara tidak langsung. Dalam teokrasi Barat, teori “kedaulatan Tuhan” memiliki arti bahwa yang berhak atas kekuasaan tertinggi atau kedaulatan hanyalah Tuhan. Selanjutnya, Tuhan mewakilkan kekuasaan-Nya tersebut kepada Paus atau Raja.[2] Karena Paus dianggap sebagai perwakilan Tuhan, maka segala perilaku Raja atau Paus selalu terjaga dari kesalahan atau suci (ma’shum, infellible). Jadi, dapat disimpulkan bahwa negara teokrasi (negara yang memberlakukan teori kedaulatan Tuhan) merupakan negara yang dipimpin oleh gerejawan atau raja yang menganggap segala perilaku mereka terjaga dari kesalahan. Bagi mereka, apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di langit. Apa yang mereka haramkan di dunia, tentu diharamkan pula di langit.[3]
Dari uraian sekilas, memang tampak bahwa teori “kedaulatan Tuhan” tak lepas dari konsep theokrasi yang sejatinya bertentangan dengan Islam. Setidaknya terdapat tiga poin penting yang menunjukkan kontradiksi Teori “kedaulatan Tuhan” (theokrasi) dengan Teori Islam.
1. Pertama, dalam  teori kedaulatan Tuhan, berlaku bahwa penguasa merupakan representasi Tuhan / wakil Tuhan di muka bumi. Sedang dalam Islam, seorang khalifah dalam negara Khilafah adalah wakil umat bukan wakil Tuhan dalam urusan kekuasaan dan penerapan hukum-hukum Syariah Islam.
2. Kedua, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa bersifat ma’shum (terhindar dari segala kesalahan). Sedang dalam Islam seorang khalifah bukan orang ma’shum. Bisa saja dia berbuat dosa dan kesalahan. Karena itulah, amar ma’ruf nahi munkar disyariatkan.
3. Ketiga, dalam teori kedaulatan tuhan, penguasa atau gerejawan berrhak membuat pasal, undang-undang atau hukum yang berasal dari dirinya sendirinya, tanpa perlu mengacu pada pedoman yang telah diberikan oleh Tuhan. Adapun dalam agama Islam,  penguasa hanya memiliki hak untuk mengambil hukum-hukum syara’ berdasarkan ijtihad yang sahih, acuan serta pedoman yang jelas dari Allah da Rasul-Nya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul.[4]
Konsep tersebut sebenarnya tidak beda jauh dengan apa yang digagas An-Nabhani, yang mana ia mengusulkan konsep “kedaulatan di tangan syara”, dan bukannya konsep “kedaulatan Tuhan”. Mengeni kontennya, memang tak ada perbedaan antara An-Nabhani dengan Al-Maududi tentang maknanya, yaitu hanya Allah semata yang berhak membuat hukum. Manusia tidak berhak membuatnya. Tindakan yangg diambil An-Nabhani ini bisa diterima karena dalam teori “kedaulatan Tuhan” juga terkandung konsep yang bertentangan dengan Islam. Adanya kontraversi yang tajam antara teori “kedaulatan Tuhan” dengan teori Islam inilah yang membuat An-Nabhani lebih berhati-hati dalam merumuskan teorinya sebagai “kedaulatan di tangan syara’ “ (as-siyadah li asy-syar’i), bukan kedaulatan di tangan Allah (as-siyadah li-llah).

2.      Teori Theokrasi
Teori theo-demokrasi adalah salah satu konsep politik yang diterapkan oleh Islam. Penggaasnya tak lain ialah Abul a’la Al-Maududi. Konsep tersebut ditulis dalam bukunya Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan), terbit di Kuwait tahun 1978.
Hakikatnya, teori theo-demokrasi merupakan akulturasi dari ide teokrasi dan demokrasi. Namun, bukan berarti pula al-Maududi menerima secara mutlak teori teokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi menolak dengan tegas teori kedauatan rakyat dengan menyebutkan beberapa alasan, diantaranya [5] :
1.      Menurut al-Maududi, teori kedaulatan tertinggi bukan berada di tangan rakyat, tapi merupakan kuasa Tuhan. Hanya Tuhan saja yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia hanya menjadi pengikut apa yang telah menjadi titah-Nya
2.      Kenyataan yang terjadi, teori ‘kedauatan rakyat’ tidak jarang hanyamenjadi omong kosong. Karena partisipasi rakyat dalam perpolitikan terjadi lima tahun sekali, yaitu pada saat pemilu. Dalam pelaksanaan kesehariannta hakikatnya hanya berada di tangan segelintir orang. Sekalipun mengatasnamakan rakyat, tidak jarang justru mempersulit dan memberatkan rakyat demi kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Meskipun begitu, ada satu aspek yang diterima oleh al-Maududi tentang makna kekuasaan ada di tangan setiap umat islam. Khilafah tidak dikhususkan atas golongan atau kelompok tertentu. Hal inilah yang menjadi kesimpulan al-Maududi bahwa sistem Khalifah berbeda dengan sistem Kerajaan. Hal ini pula yang mengarahkan dan menunjukkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi. Meski perlu digarisbawahi tedapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat.[6]
Pada awalnya, teori teokrasi sebenarnya juga ditolak oleh al-Maududi. Utamanya teokrasi bercorak Eropa, yang ada pada Abad Pertengahan, di mana penguasa mendominasi kekuasaan dan membuat hukum sendiri atas nama Tuhan.[7] Meskipun demikian, ada pemahaman mengenai theokrasi yang diambil Al-Maududi, yaitu dalam pengertian kedaulatan tertinggi, kekuasaan berada di tangan Allah. Rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada pada kuasa Allah, lalu dengan sukarela, atas keinginan rakyat sendiri, kekuasaan tersebut dijadikan sebagai batasan-batasan perundang-undangan Allah SWT.[8]
Dapat diambil kesimpulan bahwa makna konsep theo-demokrasi adalah Islam  memberik kekuasaan penuh pada rakyat, tetapi terbatas oleh adanya undang-undang dan aturan dari Tuhan.. Atau, seperti diistilahkan oleh Al-Maududi yang dikutip oleh Amien Rais[9], a limited popular sovereignty under suzerainty of God. Dalam bukunya yang lain sebagaimana yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie, yaitu Islamic Law and Constitution (1962:138-139), Al-Maududi menggunakan istilah divine democracy (demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan suci yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam.[10]
Abu a'la al-Maududi berpendapatkonsep negara dalam perspektif islam, yaitu :
1. Islam merupakan gama terakhir yang mengatur segala tata kehidupan manusia, salah satunya politilk. Oleh karenanya dalam kehidupan umat Islam dengan menunjuk kepada pola semasa al khulafa al-Raasyidun sebagai model sistem Negara menurut Islam.
2. Istilah kekuasaan tertinggi dalam politik adalah kedaulatan. Dalam hal ini adalah Allah. Manusia hanyalah menjadi pelaksana kedaulatan Nya sebagai khalifah-khalifah di bumi. Dengan demikian, segala sesuatu yang mengatasnamakan rakyat tidak dapat dibenarkan.
3. Sistem politik Islam adalah sistem universal. Dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.
     Dari ketiga dasar keyakinan atau anggapan tersebut, maka lahirlah suatu konsep kenegaraan Islam yang pokok-pokonya adalah sebagai berikut:
1.    Sistem kenegaraan islam tidak dapat disebut demokrasi, karena sistem demokrasi, kekuasaan negara sepenuhnya berada ditangan rakyat. Dalam artian bahwa undang-undang dapat diubah atau diganti semata-mata berdasarkan pendapat dan keyakinan rakyat. Sistem politik Islam lebih tepat disebut teokrasi. Akan tetapi, teokrasi yang dimaksud berbeda dengan teokrasi model Eropa. Dalam teokrasi Islam, kekuasaan umat itu berada ditangan umat Islam sendiri. Adapun pelaksanaannya sesuai al-Qur’an dan Sunnah.
Konsep kenegaraan yang menjadi pedoman al-Maudidi berawal dari keyakinannya bahwa ajaran tauhid yang menjadi dasar dari seluruh ajaran Islam, dengan sendirinya dapat berimplikasi terhadap kedaulatan Tuhan di dalam Negara Islam. Jadi, istilah demokrasi yang selama ini dipakai, diubah dengan istilah tauhid. Dalam tauhid, ada kebebasan manusia serta adanya pengakuan bahwa suatu kelompok manusia tidak boleh menindas kelompok yang lain. Hal tersebut terbukti dalam karya-karya pemikir islam kontemporer tidak lagi menggunakan term demokrasi, melainkan lebih meluas pada istilah tauhid.
2.      Lembaga eksekutif hanya dibentuk oleh umat Islam. Mereka juga memiliki hak untuk memecatnya apabila yang dilakukan tidak seseuai dengan apa yang telah diamanahkan kepada mereka. Demikian juga pada penyelesaian soal-soal (kenegaraan) Islam, harus diputuskan oleh kesepakatan umat Islam.
Politik islam merupakan sistem konstitusi yang terbentuk atas syarat-syarat yang telah digariskan oleh syariah (hukum) juga tentang sistem kehidupan yang meliputi semua tatanan sosial. Bagi al-Maududi, syariah tidak khusus membahas mengenai sifat-sifat stuktural dan fungsi-fungsi sistem politik. Umat Islam bisa memperluas dan mengembangkannya sendiri. Adapun arah metodenya diseseuaikan, asalkan tidak bertentangan dengan perintah-perintah syariah. Konsekuensiny bagi sarjana muslim,dalam melakukan hal tersebut harus mengunakan ijtihad, prinsip yang mendukung sebagai metode yang paling tepat untuk merealisasikan kehendak Allah SWT. Ajaran ini merupakan sumbangan Islam yang paling penting, terutama bagi teori politik. Peleburan kekuasaan menghendaki lembaga-lembaga eksekutif, legeslatif dan yudikatif untuk saling melengkapi dan menjalankan fungsi, memetahkan kebijakan-kebijakan, menjalankan kekuasaan-kekuasaan serta menyelesaikan dengan bijak perselisihan yang timbul dari kekuasaan yang dijalankan.
3. Kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga atau badan-badan legeslatif, eksekutif, dan yudikatif, adalah ketentuan sebagai berikut:
a. Kepala negara menjabat sebagai eksekutif sekaligus pimpinan tertinggi yang memiliki tanggung jawab kepada Allah juga kepada rakyatnya. Dalam menjalankan tugasnya, dia berkonsultasi dengan majelis syura yang mendapat mandat dari lembaga legislatif.
b. Keputusan majelis syura mafhumnya diambil dari hasil voting  terbanyak, dengan catatan bahwa menurut Islam banyaknya suara bukan sebagai acuan untuk men-judge itu sebagi kebenaran.
c. Kepala Negara boleh tidak mengikuti pendapat majelis yang didukung oleh suara terbanyak.
d. Untuk jabatan kepala Negara, untuk keanggotaan majelis syura atau untuk jabatan-jabatan penting yang lain, cara pemilihannya bukan dari mereka yang mencalonkan diri atau mereka yang berupaya untuk dipilih dan duduk di kursi jabatan. Abu a’la al-Maududi memegang teguh sabda nabi tentang  enggannya menyerahkan jabatan kepada seseorang yang meminta untuk berusaha mendapatkan jabatan itu.
e. Anggota majelis syura tidak diperbolehkan terpisah. Islam melarang angota majelis terbagi dalam partai-partai
f. Lembaga Yudikatif sepenuhnya berada di luar wewenang lembaga eksekutif. Oleh karenanya,  tugas seorang hakim hanyalah melaksanakan hukum-hukum Allah atas nama hamba-hambaNya, bukan mewakili atas nama Kepala Negara
4. Lima syarat yang harus dimiliki oleh seorang untuk dipilih menjadi kepalah Negara adalah, prspektif al-Maududi adalah :
a. Beragama Islam
b. Laki-Laki
c. Dewasa
d. Sehat Fisik dan Mental
e. Warga Negara terbaik (Shaleh dan komitmen terhadap Islam).
5. Dewan Syura mencakup Warga Negara(Islam), baligh, serta laki-laki yang dianggapfasih dalam menafsirkan dan menerapkan syariat Islam dan menyusun aturan yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an maupun Sunah Nabi. Adapun mengenai Selanjutnya tugas dewan syura adalah sebagai berikut :
a. Merumuskan dalam peraturan perundang-undangan, petunjuk-petunjuk yang ditemukan secara jelas dalam al Qur’an dan hadits, serta peraturan pelaksanaannya.
b. Jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap ayat al Qur’an atau hadits, maka harus dapat memutuskan mana yang lebih tepat untuk ditetapkan.
c. Jika ada petunjuk yang jelas, penentuan hukum yang dilakukan adalah dengan memperhatikan petunjuk ‘amm al Qur’an.
Dalam negara Islam, terdapat dua kategori kewarganegaraan, yaitu warga negara yang beragama islam dan non muslim (dzimmi). Yang disebutkan terakhir ini mendapatkan perlindungan dari negara, hak serta kewajiban tertentu, seperti hak untuk beribadah menurut ajaran agamanya. Dalam masalah keagamaan, mereka dibina oleh pemimpin-pemimpin agama mereka. Sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain, mereka tunduk kepada hukum Islam sebagai hukum mayoritas.[11]
Adapun mengenai bentuk dan karakteristik Daulah Islamiyah atau mafhum dengan sebutan Kingdom of God yang menjadi cita-cita Abu a’la Al-Maududi adalah mengenai Teori Teokrasi Islam, harus memiliki sisi perbedaan dengan teokrasi yang pernah diterapkan oleh negara-negara di Eropa. Pada hakikatnya, teokrasi dalam Islam tidak diambilalih oleh kelompok-kelopok tertentu, tetapi dimiliki oleh seluruh umat Islam. Mengenai undang-undang yang ada dalam  negara Islam secara pokok telah ditentukan oleh Allah.  Sementara hal-hal yang sifatnya spesifik dan tidak tecantum diselesaikan dengan musyawarah untuk mencapai dan mufakat.
Karakter negara Islam menurut al-Maududi adalah negara yang ideologis.[12] Yaitu negara Islam  berideologi Islam serta memiliki tujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip yang terdapat didalamya. Secara tidak langsung, orang-orang yang berhak menduduki jabatan kepemerintahan adalh mereka yang  yang menjunjung tinggi ideologi Islam maupun hukum-hukum ilahi. Berdasarkan ideologi ini, maka tidak ada umat Islam yang mengunggulkan letak geografisnya, suku, bahasa, ras, bahkan agama. Meski setiap penduduk diberi kebebasan hidup dan dilindungi tanpa membedakan satu dengan yang lain. Hal ini berbeda dengan  ideologis yang diterapkan di negara komunis. Mereka memaksakan kehendak kepada penganut keyakinan yang beda, bahkan memberantas minoritas yang bertentangan dengan mayoritas.
Hukum Allah dan Rasul-Nya merupakan kekuasaan legislatif dan kedaulatan tertinggi dalam negara Islam, selanjutnya mengenai penerapannya secara terperinci diserahkan kepada masyarakat muslim yang dianggap layak dan terpercaya. Ada empat sumber konstitusi negara Islam yang diangkat oleh al-Maududi[13]:
1. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan yang paling utama.
2. Sunnah Rasul adalah suatu cara yang menunjukkan bagaimana caranya Rasulullah menjabarkan ideologi Islam berdasarkan al-Qur’an ke dalam bentuk praktisnya baik secara fi’li, qaui maupun taqriri.
3. Konvensi para Khulafa’ur Rasyidin yang menggambarkan bagaiman para khalifah mengelola negara Islam setelah wafatnya Rasulullah,
4. Ketentuan para fuqaha ternama.
Tujuan dari penegakan Daulah Islamiyah terdiri dari dua hal:
a. pertama: menegakkan keadilan yang berdiri diatas landasan kebenaran dan menjauhkan diri dari kedzaliman,
b. kedua: menegakkan shalat dan menunaikan zakat dengan cara yang diatur oleh hukuman setempat[14]
Ciri khas negara Islam lainnya menurut al-Maududi adalah sebagai berikut: [15]
1.      Negara didirikan atas dasar kesadaran suatu bangsa yang merdekan dan tunduk kepada Tuhan penguasa alam. Pemimpin tertinggi bukan merupakan penguasa tertinggi dan bekerja menurt hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah.
2.      Kekuasaan dan kedaulatan hukum tertinggi sepenuhnya milik Allah.
3.      Sistem yang dianut oleh beberapa negara Islam pada dasarnya hampir sama dengan pokok-pokok demokrasi dimana terbentuknya pemerintah, pelaksanaannya, serta pergantian kekuasaan harus sesuai dengan pendapat rakyat. Tetapi dalam sistem ini kewenangan rakyat terbatas oleh peraturan Allah dan Rasul-Nya.
4.      Penyelenggara negara diserahkan kepada orang-orang yang terpercaya, sehingga masyarakat dapat menerima gagasan, prinsip maupun teori asasinya
5.      Negara tidak berdasarkan ikatan-ikatan geografis, keturunan, suku, agama, ras, bahasa, tetapi berlandaskan pada ideologi
6.      Negara Islam berasaskan pada ketaqwaan dan akhlaq
7.      Tujuan utama didirikannya negara islam adalah untuk amar ma’ruf nahi munkar
8.      Nilai-nilai asasi negara islam adalah adanya persamaan hak, ta’awun, dan kesesuaian antara kepentingan individu dan masyarakat.
9.      Adanya keseimbangan hak negara dan hak individu, sehingga tidak menjadikan negara sebagai penguasa mutlak , begitu pula sebaliknya.
Abu ‘Ala al-Maududi adalah mufassir kontemporer yang bergelut lebih dalam di bidang politik islam. Beliau tidak hanya menuliskan ieya, mengkampanyekannya di depan publik tapi juga terjun lagsung dalam kancah pemerintah dan negar islam, melalui partai yang didirikannya..
Keinginan Syaikh Al-Maududi adalah mengubah dan mendirikan bentuk negara islam yang ideal, yaitu kepemerintahan yang ada pada masa Nabi dan khulafaur rasyidin. Oleh karenanya, Al-Maududi memetakan konsep politik yang berdasar pada Qur’an, Sunnah, Ijtihad para sahabat serta fatwa fuqaha. Lalu, beliau menggabungkan ide negar zaman klasik dengan bentuk negara modern yang relevan sesuai perkembangan zaman.
Terkait dengan pembahasan tersebut, terdapat  beberapa hal yang dapat dipetakan sebagai pemikiran dasar Al-Maududi, yaitu :
Pertama, segala sesuatu yang merupakan hasil pemikiran Al-Maududi tidak lain berangkat dari prinsip tauhid. Beliau selalu menekankan pada hukum ilahiah sebagai landasan umat manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia yang fana ini. Konsep apapun yang ada di muka bumi ini wajib merujuk kepada konsep langit. Hak, kemampuan dan bakat manusia hanya bersifat fungsional dan pengembangan, bukan penciptaan. Dengan kata lain, manusia tidak memiliki hak sama sekali dalam membuat undaang-undang, peraturan dan tatanan kehidupan lainnya. Bumi dan seisinya adalah milik Allah, sehingga hanya Allah lah Yang Maha Mengetahui.[16]
Kedua, Al-Maududi mempunyai pemikiran yang integral dan sistematis. Integralitas pemikirannya dapat dilihat dari awal mula munculnya ide gagasan dan konsep-konsep yang dirumuskan, tidak pernah lepas dari pandangannya mengenai tauhid. Selain integral, pemikiran Al-Maududi juga sistematis. Yang terbukti dalam setiap karyanya tersusun dan terumuskan sedemikian rupa, runtut dan bahasanya mudah dipahami. Alur bahasannya diatur secara kronologis. Uraian dari satu bab ke bab berikutnya juga saling berkaitan. Dari tulisan-tulisan maupun ceramah-ceramahnya itulah menunjukkan bahwa beliau merupakan seorang yang berpikiran sistematis.
Ketiga, Al-Maududi juga merupakan seorang yang konsisten dan konsekuen. Dikatakan konsisten, karena beliau memegang teguh keyakinannya serta bisa di judge sebagai seorang yang memiliki konsekuensi, karena seluruh gagasannya selalu diiringi dengan tindakan nyata. Jama’at Al-Islami, terlepas dari berhasil atau gagalnya organisasi tersebut, Al-Maududi telah mencontohkannya disertai kongkrit nyata yang membuktikan semua itu.
Keempat, karya-karya Al-Maududi dibaca luas di dunia Islam. Pada saat ini, karya-karya Al-Maududi adalah satu di antara sedikit karya tokoh-tokoh muslim yang paling luas dibaca dan mempengaruhi dunia Islam kontemporer. Bukan tidak mungkin ketika dikatakan banyak organisasi keislaman di berbagai penjuru dunia yang mengadopsil inspirasi sekaligus motivasi dari karya-karyanya dan organisasi  ­Jama’at Al-Islami yang didirikannya.
Inti dari konsep politik islamnya adalah untuk menggapai kesejahteraan masyarakat secara umum, menciptakan negara yang memilki situasi dan kondisi yang stabil. Begitupun dalam konsepnya yang tidak membeda-bedakan agama, ras, daerah geografi, dan suku. Semua itu disatukan oleh sebuah ideologi “Islam”, sehingga hak kaum mayoritas maupun  hak kaum minoritas pasti terjamin. Beliau juga berusaha mencoba untuk pun menyeimbangkan antara hak negara dan hak individu, sehingga negara tidak berkuasa mutlak atas penduduknya begitu pula  individu yang memiliki rasa kewajiban untuk membantu negara.
Denga segudang pemikirannya yang menakjubkan, tidak menutup kemungkinan dengan kritik yang menimpa diri Al-Maududi, diantaranya :
1. Dalam uraian al-Maududi selama ini, tidak begitu jelas peenjelasan mengenai mekanisme pelaksanaan sistem politik yang beliau gagas. Cara apa dan bagaimana yang harus ditempuh untuk memilih kepala Negara dan anggota dewan syura Siapa yang akan menjadi anggota ekskutif dan legislativf? Al-Maududi hanya menyandarkan teorinya berdasarkan seleksi alamiah. Selain beberapa persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh kepala Negara (muslim, pria, dewasa dan berakal sehat, warga negara Islam dan mempunyai wawasan luas tentang keislaman). Al-Maududi dikritik bahwa konsep yng beliau cetuskan adalah konsep yang apologetic dan rapuh, karena sepanjang persyaratan menjadi kepala Negara dan anggota dewan syura, masyarakat muslim sudah mengetahuinya.[17]
2. Siapa yang akan mengangkat dan menunjuk kepala Negara dan anggota mejelis syura apabila mereka suda terpilih dan bagaiman pula kalau seandainya masyarakat muslim mencopot jabatannya dengan cara bagaimana dan lembaga apa yang akan melakukannya, atau lebih jauh bolehkan kepala Negara dalam konsep al-Maududi di copot atau digulingkan.
3. Al-maududi tidak menyatakan akan masa jabatan kepala Negara
A.     Penutup
Pemikiran politik Al-Maududi mengenai negara merupakan akulturasi dari teori demokrasi dan teori teokrasi yang kemudian menghasilkan konsep baru yaitu Theo-demokrasi. Meskipun hal tersebut merupakan teori akomodasi, namun al-Maududi juga memiliki sikap tegas untuk menolak konsep barat yang beliau nilai hampir serupa dengan teokrasi yang telah berjalan di Eropa. Dengan alasan, bahwa pada hakikatnya kedaulatan yag benar-benarada adlah kedaulatan di tangan Tuhan, bukan kedaulatan rakyat. Adapun penolakan terhadap theokrasi, adalah pemimpin/raja di eropa merupakan perwakilan Tuhan. Berbed a dengan teori islam, yang mana khalifah merupakan wakil dari umat, bukan wakil tuhan.  Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Theo-demokrasi merupakan konsep politik dimana kedaulatan Tuhan diwakili oleh rakyat, akan tetapi  terbatas oleh undang-undang yang berasal dari Tuhan.
Adapun kekuasaan menurut Maududi terdiri atas tiga lembaga yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Lembaga Legislatif bertugas untuk menjadi penengah atau pemberi fatwa, dalam istilah trias politika adalah lembaga pembuat undang-undang. Sedangkan lembaga eksekutif berwewenang atas penegakan pedoman-pedoman hukum Allah (syariat), dalam konsep trias politika merupakan pelaksana undang-undang. Dan yang terakhir ialah lembaga yudikatif yang bertugas untuk memberikan pengadilan berdasarkan hukum Ilahi, dalam istilah trias politika merupakan lembaga penegak hukum. Meskip pada dasarnya sama dengan konsep trias politika yang dicetuskan oleh John Locke, al-Maududi tidak pernah mau mengakui adanya konsep trias politika tersebut sebagai bagian dari teori politik islam. Alasan beliau tidak lain adalah bahwa trias politika merupakan salah satu bagian dari teori demokrasi barat.



[1] Jimly Asshidiqie, Islam Dan Kedaulatan Rakyat. (Jakarta : Gema Insani Press), 1995, H. 23.
[2] Amiruddin, M. Hasbi. 2000.”Teori Kedaulatan Tuhan”. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman. Cetakan I. Yogyakarta : Uii Press. H. 103-104.
[3] Lihat Dr. Yusuf Qardhawy, Fiqih Daulah,(Jakarta : Robbani Press, 2014), hlm. 81
[4] Abdul Qadir Djaelani, Kedaulatan Tertinggi Dalam Negara : Sekitar Pemikiran Politik Islam, (Jakarta : Media Dakwah, 1994), hlm. 86-87
[5] Abul A’la Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007). hlm. 19-21
[6] Abul A’la Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007). hlm. 67
[7] Lihat Pengantar Amin Rais, dalam Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung : Mizan, 2007)
[8] Abul A’la Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007). hlm. 22
[9] Lihat Pengantar Amin Rais, dalam Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung : Mizan, 2007), hlm. 23-24
[10] Jimly Asshidiqie, Islam Dan Kedaulatan Rakyat. (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 17
[11] Lihat Al Maududi, The Islamic Law And Constitution, Diterjemahkan Oleh Asek Hikmah, Dengan Judul Hukum Dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung : Mizan, 1993), hlm. 306
[12] Abul A’la Maududi, The Islamic Laws and Constitution, diterjemahkan oleh Asep Hikmat dengan judul Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1995), cet. ke-4, hlm. 159
[13] Abul A’la Maududi, The Islamic Laws and Constitution, diterjemahkan oleh Asep Hikmat dengan judul Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1995), cet. ke-4, hlm.166
[14] Abul A’la Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 26.
[15] Abul A’la Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 33
[16] Abul A’la Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 62
[17] M. Iqbal dan Amin Husin, Pemikiran Politik Islam, (Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2010), h. 188-189.

[1] www.muhammaddainuri.blogspotcom , dengan judul Pemikiran Politik Abul A’la Al-Maududi, di akses 13 Desember 2017
[2] Lihat Pengantar Amin Rais, dalam Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung : Mizan, 2007), hlm. 6
[3] Abul A’la Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007, hlm.. 9
[4] Abul A’la Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar