Berakhirnya Kekhalifahan Turki Utsmani sejalan dengan tuntutan-tuntutan
kemerdekaan dari berbagai negara kolonial yang memiliki muslim mayoritas,
seperti negara yang berada di wilayah Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika Utara,
dan lain-lain. Mereka melihat bahwa Turki Utsmani yang begitu kharismatik mampu
menguasai Timur Tengah dan negara-negara Eropa bagian Timur, karena sistem
kekuatan kekhalifahan yang amat tinggi. Kekhilafahan memang sangat terkait
dengan kekuasaan, kepemimpinan, dan al-Imam al-A’zham.
Ada tiga kelompok pemikir Muslim dalam memaknai negara khilafah. Kelompok
pertama sepakat untuk menolak, jika
Islam memiliki konsep “negara dalam Islam”. Hal ini disampaikan oleh Ali
Abdurraziq dan Thaha Husein. Teori politiknya disamakan dengan teori politik
barat yang tidak mengakui bahwa agama berkiprah dalam politik. Mereka pada
hakikatnya menyamakan Islam dengan Nasrani. Golongan kedua diwakili oleh
Muhammad Husein Haikal yang berpendapat bahwa Islam harus memiliki nilai-nilai
pemerintahan yang terkandung di dalamnya. Dan yang terakhir adalah pernyataan
yang yang berisi keharusan untuk kembali ke masa Nabi dan para Khulafa
Rasyidin. Pernyataan ini didikung oleh Hasan al-Banna, Sayyid Qutub, Syaikh
Rasyid Ridha, dan Abu al-A'la al-Mududi.[1]
Pluralitas pemahaman seperti yang telah disebutkan lazim tidak terhindarkan
dan memang tidak perlu untuk dihindari. Realitasnya telah tertuang secara
implisit dalam Al-Qur’an bahwa Allah menciptakan manusia dari jenis laki-laki
dan perempuan, berbangsa dan bersuku-suku. Secara tidak langsung, hal tersebut
merupakan isyarat bahwa dengan jenis yang berbeda, beragam suku, bangsa, ras
tentu tidak menutup kemungkinan menyebabkan adanya perbedaan pemahaman.
Di antara pemikir-pemikir Islam, seperti Sayyid Ahmad Khan ,Syekh
Waliyullah, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal, Fazhlur Rahman, Yusuf Ali, al-Nadawi
dan lain sebagainya, hanya al-Maududi saja yang merubah dan mencoba dengan ulet
untuk menyuguhkan Islam sebagai suatu sistem komprehensif bagi kehidupan
manusia. Tidak sedikit kritik keras yang dilontarkan oleh pemikir Islam sendiri
kepada Maududi, tetapi tidak menjadi lemah dan menggoyahahkan keinginannya.
Justru menambah semangat dan kemantapan pola pikir al-Maududi yang begitu
solid. Tidak mengherankan jika orientalis Wilfred C. Smith memaparkan dalam
bukunya Islam in Modern History bahwa Abu A’la al-Maududi merupakan salah
satu seorang pemikir Islam yang paling sistimatik di kawasanan Indo-Pakistan.[2]
Pemahaman seseorang mengenai suatu hal selain dipengaruhi oleh gurunya juga
tidak bisa lepas dari konteks zaman dan sistem sosial dimana dia tinggal.
Dengan latar belakang keluarganya sebagai muslim taat, ayahnya seorang sufi,
berupaya untuk menciptakan keadaan religius dan asketik bagi anak-anaknya dengan sistem pendidikan
yang cenderung klasik, beliau terbentuk menjadi tokoh yang menghasilkan produk
pada zamannya juga andil dalam mewarnai
kehidupan masa serta lingkungannya.
A. Pembahasan
Penulis mencoba membagi pemikiran dasar Syaikh al-Maududi menjadi 3, yaitu
Teori Siyasah (Politik), Teori Kedaulatan Tuhan dan Teori Theokrasi.
1. Teori Siyasah
(Politik)
Tentang penjelasan Abu al-A'la
al-Maududi mengenai al-Siyasah (Politik), ada pembahasan mengenai
Kosmopolitanisme (Tashawwur al-Qur’an), Al-Hakimiyah al-Ilahiyah
dan Al-Hakimiyah al-Qanuniyah.
a.
Kosmopolitanisme (Tashawwur al-Kaun)
Allah pencipta alam semesta,
manusia dan apa saja yang bisa bermanfaat untuk manusia.[3]
juga disebut dengan konsep alam semesta yang dasar. Ayat-ayat yang mendasarinya
adalah:
1) Allah adalah
pencipta alam semesta dan pencipta manusia di alam
-
QS. Al-An’am : 73
-
QS. Ar-Ra’d : 16
-
QS. An-Nisa : 1
-
QS. Thaha : 6
-
QS. Al-A’raf : 54
-
QS. As-Sajdah : 5
QS. Al-An’am :
2) Allah adalah
pemilik kekuasaan yurisdiksi dan kedaulatan hukum tertinggi di alam semesta
3) Allah adalah
pemilik makhluk, penguasanya dan yang mengurusi segala urusannya
-
QS. Ali Imron : 154
b. Al-Hakimiyah al-Ilahiyah
Konsep Al-Hakimiyah al-Ilahiyah
merupakan ungkapan lain dari kekuasan penuh/mutlak tuhan. Yang menjadi dasar
pemikiran al-Madudi konsep yang kedua ini adalah :
1) Tuhan
pemelihara alam semesta ini pada hakikatnya adalah tuhan manusia dan tidak ada jalan
lain bagi manusia kecuali patuh dan tunduk kepada sifatNya Yang Maha Esa
-
QS. Al-An’am : 162
2) Hak untuk
mneghakimi dan mengadili tidak dimiliki oleh siapapun keuali Allah. Karenanya
manusia wajib taat kepadaNya dan inilah jalan yang benar dan prilaku yang lurus
-
QS. Asy-Syuraa : 10
3) Hanya Allah
sendiri yang memiliki hak mengeluarkan hukum, sebab Dialah satu-satunya
pencipta
-
QS. Al-A’raf : 54
4) Hukum Allah
adalah sesuatu yang hak, sebab Dia sendiri yang mengetahui hakikat segala
sesuatu, ditanganNyalah penentuan hidayah yang benar dan penentuan jalan yang
sesat dan lurus.
-
QS. Al-Baqarah : 216
c. Al-Hakimiyah
al-Qanuniyah
Merupakan
sebuah penegasan dari Al-Maududi mengenai undang-undang tertinggi, yaitu hukum
yang telah dibuat oleh Allah SWT. Manusia wajib mengikuti undang-undang
tersebut serta haram bagi seseorang ketika meninggalkannya dan justru mengikuti undang-undang serta peraturan lain
buatan manusia, perundang-undangan yang dibuatnya sendiri atau kecendrungan
hawa nafsu. Konsep Al-Hakimiyah al-Qanuniyah atau dengan ungkapan lain
kekuasan penuh tuhan dalam mengatur undang-undang makhluk, yang mendasari
konsep yang ketiga ini adalah ayat-ayat berikut [4]
-
QS. Az-Zumar : 2-3
1. Teori Kedaulatan Tuhan
Al-Maududi
muncul dengan gagasan-gagasan yang andilnya diperhitungkan bagi perkembangan
masyarakat Islam. \ Di saat orang-orang Islam bingung untuk mencari pemecahan
persoalan “bagaimanakah bentuk negara Islam sebenarnya?”. Di saat itu
al-Maududi tampil dengan meletakkan dasar negara dan bentuk negara yang ideal
menurut Alqur’an dan Sunnah. Bagi beliau, negara haruslah berideologi tauhid,
atas Kedaulatan Tuhan dan sistem yang universal. Kemudian di saat orang-orang
berselisih paham dalam mentransformasi hasil perkembangan modern di dunia
barat, bahkan sebagian mengagung-agungkan demokrasi barat dan menunjukkan bahwa
demokrasi seperti itulah yang cocok sesuai Islam, atau sebagaian lain yang
memandang bahwa sistem teokrasi di Eropa yang seharusnya menjadi cerminan
Islam, al-Maududi muncul menawarkan sistem negara Islam dengan istilahnya yang
baru yakni theo-demokrasi dan teokrasi Islam serta konsep-konsepnya yang cukup
lengkap tentang negara.
Ide teori theo-demokrasi tidak
semata-mata muncul begitu saja, namun terinspiras dari teori Kedaulatan Tuhan.
Teori ini berkembang di Barat pada Abad Pertengahan (abad ke-5 s/d ke-15 M). Dijelaskan
dalam The Concise Oxford Dictionary yang
kemudian dikutip oleh Jimly Asshidiqie istilah teokrasi dihubungkan dengan negara
atau pemerintahan yang dipimpin oleh Tuhan, baik secara langsung maupun melalui
kelas kependetaan[1]
atau secara tidak langsung. Dalam teokrasi Barat, teori “kedaulatan Tuhan” memiliki
arti bahwa yang berhak atas kekuasaan tertinggi atau kedaulatan hanyalah Tuhan.
Selanjutnya, Tuhan mewakilkan kekuasaan-Nya tersebut kepada Paus atau Raja.[2]
Karena Paus dianggap sebagai perwakilan Tuhan, maka segala perilaku Raja atau
Paus selalu terjaga dari kesalahan atau suci (ma’shum, infellible).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa negara teokrasi (negara yang memberlakukan teori
kedaulatan Tuhan) merupakan negara yang dipimpin oleh gerejawan atau raja yang
menganggap segala perilaku mereka terjaga dari kesalahan. Bagi mereka, apa yang
mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di langit. Apa yang mereka haramkan
di dunia, tentu diharamkan pula di langit.[3]
Dari uraian sekilas, memang tampak
bahwa teori “kedaulatan Tuhan” tak lepas dari konsep theokrasi yang sejatinya
bertentangan dengan Islam. Setidaknya terdapat tiga poin penting yang
menunjukkan kontradiksi Teori “kedaulatan Tuhan” (theokrasi) dengan Teori
Islam.
1. Pertama, dalam teori kedaulatan Tuhan, berlaku bahwa penguasa
merupakan representasi Tuhan / wakil Tuhan di muka bumi. Sedang dalam Islam,
seorang khalifah dalam negara Khilafah adalah wakil umat bukan wakil Tuhan
dalam urusan kekuasaan dan penerapan hukum-hukum Syariah Islam.
2. Kedua, dalam teori
kedaulatan Tuhan, penguasa bersifat ma’shum (terhindar dari segala kesalahan).
Sedang dalam Islam seorang khalifah bukan orang ma’shum. Bisa saja dia berbuat
dosa dan kesalahan. Karena itulah, amar ma’ruf nahi munkar disyariatkan.
3. Ketiga, dalam teori
kedaulatan tuhan, penguasa atau gerejawan berrhak membuat pasal, undang-undang
atau hukum yang berasal dari dirinya sendirinya, tanpa perlu mengacu pada
pedoman yang telah diberikan oleh Tuhan. Adapun dalam agama Islam, penguasa hanya memiliki hak untuk mengambil hukum-hukum
syara’ berdasarkan ijtihad yang sahih, acuan serta pedoman yang jelas dari
Allah da Rasul-Nya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul.[4]
Konsep tersebut sebenarnya tidak
beda jauh dengan apa yang digagas An-Nabhani, yang mana ia mengusulkan konsep
“kedaulatan di tangan syara”, dan bukannya konsep “kedaulatan Tuhan”. Mengeni
kontennya, memang tak ada perbedaan antara An-Nabhani dengan Al-Maududi tentang
maknanya, yaitu hanya Allah semata yang berhak membuat hukum. Manusia tidak
berhak membuatnya. Tindakan yangg diambil An-Nabhani ini bisa diterima karena dalam
teori “kedaulatan Tuhan” juga terkandung konsep yang bertentangan dengan Islam.
Adanya kontraversi yang tajam antara teori “kedaulatan Tuhan” dengan teori
Islam inilah yang membuat An-Nabhani lebih berhati-hati dalam merumuskan teorinya
sebagai “kedaulatan di tangan syara’ “ (as-siyadah li asy-syar’i), bukan
kedaulatan di tangan Allah (as-siyadah li-llah).
2. Teori Theokrasi
Teori theo-demokrasi adalah salah
satu konsep politik yang diterapkan oleh Islam. Penggaasnya tak lain ialah Abul
a’la Al-Maududi. Konsep tersebut ditulis dalam bukunya Al-Khilafah wa
al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan), terbit di Kuwait tahun 1978.
Hakikatnya, teori theo-demokrasi
merupakan akulturasi dari ide teokrasi dan demokrasi. Namun, bukan berarti pula
al-Maududi menerima secara mutlak teori teokrasi dan demokrasi ala Barat.
Al-Maududi menolak dengan tegas teori kedauatan rakyat dengan menyebutkan beberapa
alasan, diantaranya [5] :
1. Menurut
al-Maududi, teori kedaulatan tertinggi bukan berada di tangan rakyat, tapi
merupakan kuasa Tuhan. Hanya Tuhan saja yang berhak menjadi pembuat hukum (law
giver). Manusia hanya menjadi pengikut apa yang telah menjadi titah-Nya
2. Kenyataan
yang terjadi, teori ‘kedauatan rakyat’ tidak jarang hanyamenjadi omong kosong.
Karena partisipasi rakyat dalam perpolitikan terjadi lima tahun sekali, yaitu
pada saat pemilu. Dalam pelaksanaan kesehariannta hakikatnya hanya berada di
tangan segelintir orang. Sekalipun mengatasnamakan rakyat, tidak jarang justru
mempersulit dan memberatkan rakyat demi kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Meskipun
begitu, ada satu aspek yang diterima oleh al-Maududi tentang makna kekuasaan
ada di tangan setiap umat islam. Khilafah tidak dikhususkan atas golongan atau
kelompok tertentu. Hal inilah yang menjadi kesimpulan al-Maududi bahwa sistem
Khalifah berbeda dengan sistem Kerajaan. Hal ini pula yang mengarahkan dan menunjukkan
khilafah Islamiyah ke arah demokrasi. Meski perlu digarisbawahi tedapat
perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat.[6]
Pada
awalnya, teori teokrasi sebenarnya juga ditolak oleh al-Maududi. Utamanya
teokrasi bercorak Eropa, yang ada pada Abad Pertengahan, di mana penguasa mendominasi
kekuasaan dan membuat hukum sendiri atas nama Tuhan.[7]
Meskipun demikian, ada pemahaman mengenai theokrasi yang diambil Al-Maududi,
yaitu dalam pengertian kedaulatan tertinggi, kekuasaan berada di tangan Allah. Rakyat
mengakui kedaulatan tertingggi ada pada kuasa Allah, lalu dengan sukarela, atas
keinginan rakyat sendiri, kekuasaan tersebut dijadikan sebagai batasan-batasan
perundang-undangan Allah SWT.[8]
Dapat
diambil kesimpulan bahwa makna konsep theo-demokrasi adalah Islam memberik kekuasaan penuh pada rakyat, tetapi terbatas
oleh adanya undang-undang dan aturan dari Tuhan.. Atau, seperti diistilahkan
oleh Al-Maududi yang dikutip oleh Amien Rais[9], a
limited popular sovereignty under suzerainty of God. Dalam bukunya yang
lain sebagaimana yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie, yaitu Islamic Law and
Constitution (1962:138-139), Al-Maududi menggunakan istilah divine
democracy (demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan suci
yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam.[10]
Abu
a'la al-Maududi berpendapatkonsep negara dalam perspektif islam, yaitu :
1. Islam merupakan gama terakhir yang mengatur
segala tata kehidupan manusia, salah satunya politilk. Oleh karenanya dalam
kehidupan umat Islam dengan menunjuk kepada pola semasa al khulafa al-Raasyidun
sebagai model sistem Negara menurut Islam.
2. Istilah kekuasaan tertinggi dalam politik
adalah kedaulatan. Dalam hal ini adalah Allah. Manusia hanyalah menjadi
pelaksana kedaulatan Nya sebagai khalifah-khalifah di bumi. Dengan demikian,
segala sesuatu yang mengatasnamakan rakyat tidak dapat dibenarkan.
3.
Sistem politik Islam adalah sistem universal. Dan tidak mengenal batas-batas
dan ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.
Dari ketiga dasar keyakinan atau anggapan
tersebut, maka lahirlah suatu konsep kenegaraan Islam yang pokok-pokonya adalah
sebagai berikut:
1. Sistem
kenegaraan islam tidak dapat disebut demokrasi, karena sistem demokrasi, kekuasaan
negara sepenuhnya berada ditangan rakyat. Dalam artian bahwa undang-undang dapat
diubah atau diganti semata-mata berdasarkan pendapat dan keyakinan rakyat.
Sistem politik Islam lebih tepat disebut teokrasi. Akan tetapi, teokrasi yang
dimaksud berbeda dengan teokrasi model Eropa. Dalam teokrasi Islam, kekuasaan
umat itu berada ditangan umat Islam sendiri. Adapun pelaksanaannya sesuai
al-Qur’an dan Sunnah.
Konsep
kenegaraan yang menjadi pedoman al-Maudidi berawal dari keyakinannya bahwa
ajaran tauhid yang menjadi dasar dari seluruh ajaran Islam, dengan sendirinya dapat
berimplikasi terhadap kedaulatan Tuhan di dalam Negara Islam. Jadi, istilah demokrasi
yang selama ini dipakai, diubah dengan istilah tauhid. Dalam tauhid, ada
kebebasan manusia serta adanya pengakuan bahwa suatu kelompok manusia tidak
boleh menindas kelompok yang lain. Hal tersebut terbukti dalam karya-karya
pemikir islam kontemporer tidak lagi menggunakan term demokrasi, melainkan
lebih meluas pada istilah tauhid.
2. Lembaga
eksekutif hanya dibentuk oleh umat Islam. Mereka juga memiliki hak untuk
memecatnya apabila yang dilakukan tidak seseuai dengan apa yang telah diamanahkan
kepada mereka. Demikian juga pada penyelesaian soal-soal (kenegaraan) Islam,
harus diputuskan oleh kesepakatan umat Islam.
Politik
islam merupakan sistem konstitusi yang terbentuk atas syarat-syarat yang telah digariskan
oleh syariah (hukum) juga tentang sistem kehidupan yang meliputi semua tatanan
sosial. Bagi al-Maududi, syariah tidak khusus membahas mengenai sifat-sifat
stuktural dan fungsi-fungsi sistem politik. Umat Islam bisa memperluas dan
mengembangkannya sendiri. Adapun arah metodenya diseseuaikan, asalkan tidak
bertentangan dengan perintah-perintah syariah. Konsekuensiny bagi sarjana
muslim,dalam melakukan hal tersebut harus mengunakan ijtihad, prinsip yang mendukung
sebagai metode yang paling tepat untuk merealisasikan kehendak Allah SWT.
Ajaran ini merupakan sumbangan Islam yang paling penting, terutama bagi teori
politik. Peleburan kekuasaan menghendaki lembaga-lembaga eksekutif, legeslatif
dan yudikatif untuk saling melengkapi dan menjalankan fungsi, memetahkan
kebijakan-kebijakan, menjalankan kekuasaan-kekuasaan serta menyelesaikan dengan
bijak perselisihan yang timbul dari kekuasaan yang dijalankan.
3.
Kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga atau badan-badan legeslatif,
eksekutif, dan yudikatif, adalah ketentuan sebagai berikut:
a. Kepala negara menjabat sebagai eksekutif sekaligus
pimpinan tertinggi yang memiliki tanggung jawab kepada Allah juga kepada
rakyatnya. Dalam menjalankan tugasnya, dia berkonsultasi dengan majelis syura
yang mendapat mandat dari lembaga legislatif.
b. Keputusan majelis syura mafhumnya diambil
dari hasil voting terbanyak, dengan
catatan bahwa menurut Islam banyaknya suara bukan sebagai acuan untuk men-judge
itu sebagi kebenaran.
c. Kepala Negara boleh tidak mengikuti
pendapat majelis yang didukung oleh suara terbanyak.
d. Untuk jabatan kepala Negara, untuk
keanggotaan majelis syura atau untuk jabatan-jabatan penting yang lain, cara
pemilihannya bukan dari mereka yang mencalonkan diri atau mereka yang berupaya
untuk dipilih dan duduk di kursi jabatan. Abu a’la al-Maududi memegang teguh
sabda nabi tentang enggannya menyerahkan
jabatan kepada seseorang yang meminta untuk berusaha mendapatkan jabatan itu.
e. Anggota majelis syura tidak diperbolehkan
terpisah. Islam melarang angota majelis terbagi dalam partai-partai
f. Lembaga Yudikatif sepenuhnya berada di luar
wewenang lembaga eksekutif. Oleh karenanya, tugas seorang hakim hanyalah melaksanakan
hukum-hukum Allah atas nama hamba-hambaNya, bukan mewakili atas nama Kepala
Negara
4. Lima
syarat yang harus dimiliki oleh seorang untuk dipilih menjadi kepalah Negara
adalah, prspektif al-Maududi adalah :
a. Beragama Islam
b. Laki-Laki
c. Dewasa
d. Sehat Fisik dan Mental
e. Warga Negara terbaik (Shaleh dan komitmen
terhadap Islam).
5. Dewan
Syura mencakup Warga Negara(Islam), baligh, serta laki-laki yang dianggapfasih dalam
menafsirkan dan menerapkan syariat Islam dan menyusun aturan yang tidak
bertentangan dengan al-Qur’an maupun Sunah Nabi. Adapun mengenai Selanjutnya
tugas dewan syura adalah sebagai berikut :
a. Merumuskan dalam peraturan
perundang-undangan, petunjuk-petunjuk yang ditemukan secara jelas dalam al
Qur’an dan hadits, serta peraturan pelaksanaannya.
b. Jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap
ayat al Qur’an atau hadits, maka harus dapat memutuskan mana yang lebih tepat
untuk ditetapkan.
c. Jika ada petunjuk yang jelas, penentuan
hukum yang dilakukan adalah dengan memperhatikan petunjuk ‘amm al Qur’an.
Dalam negara Islam, terdapat dua kategori
kewarganegaraan, yaitu warga negara yang beragama islam dan non muslim
(dzimmi). Yang disebutkan terakhir ini mendapatkan perlindungan dari negara,
hak serta kewajiban tertentu, seperti hak untuk beribadah menurut ajaran agamanya.
Dalam masalah keagamaan, mereka dibina oleh pemimpin-pemimpin agama mereka.
Sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain, mereka tunduk kepada hukum
Islam sebagai hukum mayoritas.[11]
Adapun mengenai bentuk dan karakteristik
Daulah Islamiyah atau mafhum dengan sebutan Kingdom of God yang menjadi
cita-cita Abu a’la Al-Maududi adalah mengenai Teori Teokrasi Islam, harus
memiliki sisi perbedaan dengan teokrasi yang pernah diterapkan oleh
negara-negara di Eropa. Pada hakikatnya, teokrasi dalam Islam tidak diambilalih
oleh kelompok-kelopok tertentu, tetapi dimiliki oleh seluruh umat Islam. Mengenai
undang-undang yang ada dalam negara
Islam secara pokok telah ditentukan oleh Allah. Sementara hal-hal yang sifatnya spesifik dan
tidak tecantum diselesaikan dengan musyawarah untuk mencapai dan mufakat.
Karakter negara Islam menurut al-Maududi
adalah negara yang ideologis.[12]
Yaitu negara Islam berideologi Islam serta
memiliki tujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip yang terdapat didalamya. Secara
tidak langsung, orang-orang yang berhak menduduki jabatan kepemerintahan adalh
mereka yang yang menjunjung tinggi
ideologi Islam maupun hukum-hukum ilahi. Berdasarkan ideologi ini, maka tidak
ada umat Islam yang mengunggulkan letak geografisnya, suku, bahasa, ras, bahkan
agama. Meski setiap penduduk diberi kebebasan hidup dan dilindungi tanpa
membedakan satu dengan yang lain. Hal ini berbeda dengan ideologis yang diterapkan di negara komunis.
Mereka memaksakan kehendak kepada penganut keyakinan yang beda, bahkan memberantas
minoritas yang bertentangan dengan mayoritas.
Hukum Allah dan Rasul-Nya merupakan kekuasaan
legislatif dan kedaulatan tertinggi dalam negara Islam, selanjutnya mengenai
penerapannya secara terperinci diserahkan kepada masyarakat muslim yang
dianggap layak dan terpercaya. Ada empat sumber konstitusi negara Islam yang
diangkat oleh al-Maududi[13]:
1. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan yang
paling utama.
2. Sunnah Rasul adalah suatu cara yang
menunjukkan bagaimana caranya Rasulullah menjabarkan ideologi Islam berdasarkan
al-Qur’an ke dalam bentuk praktisnya baik secara fi’li, qaui maupun taqriri.
3. Konvensi para Khulafa’ur Rasyidin
yang menggambarkan bagaiman para khalifah mengelola negara Islam setelah
wafatnya Rasulullah,
4. Ketentuan para fuqaha ternama.
Tujuan dari penegakan Daulah Islamiyah terdiri
dari dua hal:
a. pertama: menegakkan keadilan yang berdiri
diatas landasan kebenaran dan menjauhkan diri dari kedzaliman,
b. kedua: menegakkan shalat dan menunaikan
zakat dengan cara yang diatur oleh hukuman setempat[14]
Ciri khas negara Islam lainnya menurut
al-Maududi adalah sebagai berikut: [15]
1.
Negara didirikan atas dasar kesadaran suatu
bangsa yang merdekan dan tunduk kepada Tuhan penguasa alam. Pemimpin tertinggi
bukan merupakan penguasa tertinggi dan bekerja menurt hukum-hukum yang telah
ditetapkan oleh Allah.
2.
Kekuasaan dan kedaulatan hukum tertinggi
sepenuhnya milik Allah.
3.
Sistem yang dianut oleh beberapa negara Islam pada
dasarnya hampir sama dengan pokok-pokok demokrasi dimana terbentuknya
pemerintah, pelaksanaannya, serta pergantian kekuasaan harus sesuai dengan
pendapat rakyat. Tetapi dalam sistem ini kewenangan rakyat terbatas oleh
peraturan Allah dan Rasul-Nya.
4.
Penyelenggara negara diserahkan kepada
orang-orang yang terpercaya, sehingga masyarakat dapat menerima gagasan,
prinsip maupun teori asasinya
5.
Negara tidak berdasarkan ikatan-ikatan geografis,
keturunan, suku, agama, ras, bahasa, tetapi berlandaskan pada ideologi
6.
Negara Islam berasaskan pada ketaqwaan dan
akhlaq
7.
Tujuan utama didirikannya negara islam adalah
untuk amar ma’ruf nahi munkar
8.
Nilai-nilai asasi negara islam adalah adanya persamaan
hak, ta’awun, dan kesesuaian antara kepentingan individu dan masyarakat.
9.
Adanya keseimbangan hak negara dan hak
individu, sehingga tidak menjadikan negara sebagai penguasa mutlak , begitu
pula sebaliknya.
Abu ‘Ala al-Maududi adalah mufassir
kontemporer yang bergelut lebih dalam di bidang politik islam. Beliau tidak
hanya menuliskan ieya, mengkampanyekannya di depan publik tapi juga terjun
lagsung dalam kancah pemerintah dan negar islam, melalui partai yang
didirikannya..
Keinginan Syaikh Al-Maududi adalah mengubah
dan mendirikan bentuk negara islam yang ideal, yaitu kepemerintahan yang ada
pada masa Nabi dan khulafaur rasyidin. Oleh karenanya, Al-Maududi memetakan
konsep politik yang berdasar pada Qur’an, Sunnah, Ijtihad para sahabat serta
fatwa fuqaha. Lalu, beliau menggabungkan ide negar zaman klasik dengan bentuk
negara modern yang relevan sesuai perkembangan zaman.
Terkait dengan pembahasan tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat dipetakan sebagai
pemikiran dasar Al-Maududi, yaitu :
Pertama, segala sesuatu yang merupakan hasil pemikiran
Al-Maududi tidak lain berangkat dari prinsip tauhid. Beliau selalu menekankan pada
hukum ilahiah sebagai landasan umat manusia dalam menjalankan kehidupan di
dunia yang fana ini. Konsep apapun yang ada di muka bumi ini wajib merujuk
kepada konsep langit. Hak, kemampuan dan bakat manusia hanya bersifat
fungsional dan pengembangan, bukan penciptaan. Dengan kata lain, manusia tidak
memiliki hak sama sekali dalam membuat undaang-undang, peraturan dan tatanan
kehidupan lainnya. Bumi dan seisinya adalah milik Allah, sehingga hanya Allah lah
Yang Maha Mengetahui.[16]
Kedua, Al-Maududi mempunyai pemikiran yang integral
dan sistematis. Integralitas pemikirannya dapat dilihat dari awal mula
munculnya ide gagasan dan konsep-konsep yang dirumuskan, tidak pernah lepas dari
pandangannya mengenai tauhid. Selain integral, pemikiran Al-Maududi juga
sistematis. Yang terbukti dalam setiap karyanya tersusun dan terumuskan
sedemikian rupa, runtut dan bahasanya mudah dipahami. Alur bahasannya diatur
secara kronologis. Uraian dari satu bab ke bab berikutnya juga saling
berkaitan. Dari tulisan-tulisan maupun ceramah-ceramahnya itulah menunjukkan
bahwa beliau merupakan seorang yang berpikiran sistematis.
Ketiga, Al-Maududi juga merupakan seorang yang
konsisten dan konsekuen. Dikatakan konsisten, karena beliau memegang teguh
keyakinannya serta bisa di judge sebagai seorang yang memiliki konsekuensi,
karena seluruh gagasannya selalu diiringi dengan tindakan nyata. Jama’at
Al-Islami, terlepas dari berhasil atau gagalnya organisasi tersebut,
Al-Maududi telah mencontohkannya disertai kongkrit nyata yang membuktikan semua
itu.
Keempat, karya-karya Al-Maududi dibaca luas di dunia
Islam. Pada saat ini, karya-karya Al-Maududi adalah satu di antara sedikit
karya tokoh-tokoh muslim yang paling luas dibaca dan mempengaruhi dunia Islam
kontemporer. Bukan tidak mungkin ketika dikatakan banyak organisasi keislaman
di berbagai penjuru dunia yang mengadopsil inspirasi sekaligus motivasi dari
karya-karyanya dan organisasi Jama’at
Al-Islami yang didirikannya.
Inti dari konsep politik islamnya adalah untuk
menggapai kesejahteraan masyarakat secara umum, menciptakan negara yang memilki
situasi dan kondisi yang stabil. Begitupun dalam konsepnya yang tidak
membeda-bedakan agama, ras, daerah geografi, dan suku. Semua itu disatukan oleh
sebuah ideologi “Islam”, sehingga hak kaum mayoritas maupun hak kaum minoritas pasti terjamin. Beliau juga
berusaha mencoba untuk pun menyeimbangkan antara hak negara dan hak individu,
sehingga negara tidak berkuasa mutlak atas penduduknya begitu pula individu yang memiliki rasa kewajiban untuk
membantu negara.
Denga segudang pemikirannya yang menakjubkan,
tidak menutup kemungkinan dengan kritik yang menimpa diri Al-Maududi,
diantaranya :
1. Dalam uraian al-Maududi selama ini, tidak
begitu jelas peenjelasan mengenai mekanisme pelaksanaan sistem politik yang beliau
gagas. Cara apa dan bagaimana yang harus ditempuh untuk memilih kepala Negara
dan anggota dewan syura Siapa yang akan menjadi anggota ekskutif dan
legislativf? Al-Maududi hanya menyandarkan teorinya berdasarkan seleksi
alamiah. Selain beberapa persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh kepala
Negara (muslim, pria, dewasa dan berakal sehat, warga negara Islam dan
mempunyai wawasan luas tentang keislaman). Al-Maududi dikritik bahwa konsep yng
beliau cetuskan adalah konsep yang apologetic dan rapuh, karena
sepanjang persyaratan menjadi kepala Negara dan anggota dewan syura, masyarakat
muslim sudah mengetahuinya.[17]
2. Siapa yang akan mengangkat dan menunjuk
kepala Negara dan anggota mejelis syura apabila mereka suda terpilih dan
bagaiman pula kalau seandainya masyarakat muslim mencopot jabatannya dengan
cara bagaimana dan lembaga apa yang akan melakukannya, atau lebih jauh bolehkan
kepala Negara dalam konsep al-Maududi di copot atau digulingkan.
3. Al-maududi tidak menyatakan akan masa
jabatan kepala Negara
A. Penutup
Pemikiran politik Al-Maududi mengenai negara merupakan akulturasi dari teori
demokrasi dan teori teokrasi yang kemudian menghasilkan konsep
baru yaitu Theo-demokrasi. Meskipun hal tersebut merupakan teori
akomodasi, namun al-Maududi juga memiliki sikap tegas untuk menolak konsep
barat yang beliau nilai hampir serupa dengan teokrasi yang telah berjalan di
Eropa. Dengan alasan, bahwa pada hakikatnya kedaulatan yag benar-benarada adlah
kedaulatan di tangan Tuhan, bukan kedaulatan rakyat. Adapun penolakan terhadap theokrasi,
adalah pemimpin/raja di eropa merupakan perwakilan Tuhan. Berbed a dengan teori
islam, yang mana khalifah merupakan wakil dari umat, bukan wakil tuhan.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Theo-demokrasi merupakan konsep
politik dimana kedaulatan Tuhan diwakili oleh rakyat, akan tetapi terbatas oleh undang-undang yang berasal dari
Tuhan.
Adapun kekuasaan menurut Maududi terdiri atas tiga lembaga yaitu legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Lembaga Legislatif bertugas untuk menjadi penengah
atau pemberi fatwa, dalam istilah trias politika adalah lembaga pembuat
undang-undang. Sedangkan lembaga eksekutif berwewenang atas penegakan pedoman-pedoman
hukum Allah (syariat), dalam konsep trias politika merupakan pelaksana
undang-undang. Dan yang terakhir ialah lembaga yudikatif yang bertugas untuk
memberikan pengadilan berdasarkan hukum Ilahi, dalam istilah trias politika
merupakan lembaga penegak hukum. Meskip pada dasarnya sama dengan konsep trias
politika yang dicetuskan oleh John Locke, al-Maududi tidak pernah mau mengakui
adanya konsep trias politika tersebut sebagai bagian dari teori politik islam.
Alasan beliau tidak lain adalah bahwa trias politika merupakan salah satu bagian
dari teori demokrasi barat.
[1] Jimly
Asshidiqie, Islam Dan Kedaulatan Rakyat. (Jakarta : Gema Insani Press),
1995, H. 23.
[2] Amiruddin, M.
Hasbi. 2000.”Teori Kedaulatan Tuhan”. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur
Rahman. Cetakan I. Yogyakarta : Uii Press. H. 103-104.
[3] Lihat
Dr. Yusuf Qardhawy, Fiqih Daulah,(Jakarta : Robbani Press, 2014),
hlm. 81
[4] Abdul Qadir
Djaelani, Kedaulatan Tertinggi Dalam Negara : Sekitar Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta : Media Dakwah, 1994), hlm. 86-87
[5] Abul A’la
Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir
dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007). hlm. 19-21
[6] Abul A’la
Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir
dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007). hlm. 67
[7] Lihat
Pengantar Amin Rais, dalam Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan,
(Bandung : Mizan, 2007)
[8] Abul A’la
Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir
dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007). hlm. 22
[9] Lihat
Pengantar Amin Rais, dalam Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan,
(Bandung : Mizan, 2007), hlm. 23-24
[10] Jimly
Asshidiqie, Islam Dan Kedaulatan Rakyat. (Jakarta : Gema Insani Press,
1995), hlm. 17
[11] Lihat Al
Maududi, The Islamic Law And Constitution, Diterjemahkan Oleh Asek
Hikmah, Dengan Judul Hukum Dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung
: Mizan, 1993), hlm. 306
[12] Abul A’la
Maududi, The Islamic Laws and Constitution, diterjemahkan oleh Asep
Hikmat dengan judul Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung:
Mizan, 1995), cet. ke-4, hlm. 159
[13] Abul A’la
Maududi, The Islamic Laws and Constitution, diterjemahkan oleh Asep
Hikmat dengan judul Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung:
Mizan, 1995), cet. ke-4, hlm.166
[14] Abul A’la
Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir
dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 26.
[15] Abul A’la
Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir
dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 33
[16] Abul A’la
Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir
dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 62
[17] M. Iqbal dan
Amin Husin, Pemikiran Politik Islam, (Kencana Prenada Media Group:
Jakarta, 2010), h. 188-189.
[1] www.muhammaddainuri.blogspotcom
, dengan judul Pemikiran Politik Abul A’la Al-Maududi, di akses 13
Desember 2017
[2] Lihat
Pengantar Amin Rais, dalam Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan,
(Bandung : Mizan, 2007), hlm. 6
[3] Abul A’la
Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir
dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007, hlm.. 9
[4] Abul A’la
Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir
dengan judul Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar