Sabtu, 18 Maret 2017

Penafsiran QS. Al-Maidah ayat 51



Seiring berjalannya waktu, tak bisa dipungkiri bahwa cara pandang manusia pun semakin berbeda-beda. Mengapa? Beberapa faktor yang mempengaruhinya adalah kondisi lingkungan sosialnya. Dari lingkup terkecil (baca: keluarga) hingga lingkup dunia. Teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang begitu cepatnya. Zaman Rasul teknologi belum ada, informasi, komunikasi, dan transportasi sebatas kurir berkuda, onta dan mengandalkan alam. Berbeda jauh dengan era kini yang semuanya serba instan. Sepersekian detik informasi telah tersebar di seluruh penjuru dunia. Media sosial, dunia maya telah menghubungkan berbagai orang dari ras, suku, negara, agama yang berbeda.
Sekilas terlintas mengenai sabda Rasul yang menjelaskan tentang 73 cabang golongan yang ada di bumi pada akhir zaman pun mulai terbukti. Diantara sekian banyaknya golongan, hanya satu yang menuju surga, yaitu golongan yang berpaham ahlussunnah wal jamaah. Sayangnya, di era modern ini tidak sedikit yang mengaku bahwa hanya golongan mereka lah yang akan mengantar umat masuk surga, karena berdalil quran dan hadits.  Bahkan ada beberapa golongan yang menjudge bahwa orang yang tidak mengikuti golongannya adalah kafir. Juga tentang segala sesuatu yang belum ada pada zaman Rasul, dilakukan di zaman ini merupakan bid’ah. Naudzubillah.

Terkait dengan masalah tersebut, di Indonesia banyak terjadi kasus yang serupa. Salah satu yang fenomenal di kalangan masyarakat adalah penafsiran mengenai QS. Al-Maidah ayat 51. Karena yang mengungkapkan adalah orang yang berbeda agama, sebagian umat Islam menganggapnya sebagai penistaan agama. Jika ditilik secara mendalam, sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu penistaan agama, melainkan ayat Al-Qur’an yang dijadikan sebagai tameng terhadap lawan politik (terutama non muslim) mengingat hari-hari ini adalah musim pilkada. 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Salah satu pakar tafsir Al-Qur’an Indonesia sekaligus Wakil Rektor II UIN Sunan Kalijaga, Dr. Phil. Sahiron Syamsudin, MA mencoba memberi pemahaman mengenai hal tersebut. Pada hakikatnya melakukan penafsiran suatu ayat Al-Qur’an tidak semudah seperti menerjemahkan, yang hanya membutuhkan arti kata per kata, lalu merangkainya menjadi suatu kalimat. Sama sekali bukan begitu. Penafsiran perlu adanya ilmu. Baik itu nahwu, shorof, ulumul qur’an, sejarah, balaghoh, dan masih banyak lagi.
Nah, permasalahan QS. Al-Maidah ayat 51 adalah pada kata auliyaa yang sebagian besar mengartikannya sebagai pemimpin. Padahal, jika dilihat dari konteks historisnya ayat tersebut turun ketika perang badar, jumlah pasukan umat islam adalah 313, sedangkan pasukan kaum kafir quraisy yang awalnya 500 bertambah menjadi dua kali lipatnya. Setelah diselidiki, ternyata ada kaum yahudi yang membocorkannya kepada kaum kafir quraisy sehingga mereka menambah jumlah pasukannya. Secara tidak langsung, orang yahudi tersebut telah melanggar Perjanjian Madinah yang telah disepakati bersama umat islam dan nasrani. Meski dengan seizin Allah pada akhirnya kaum muslimin lah yang menang.
Saat terjadi perang selanjutnya, perang uhud, ada 2 orang sahabat yang memilki pendapat masing-masing. Yang satu mengatakan bahwa dia tidak mau lagi bekerja sama dengan orang-orang yahudi yang telah mengkhianatinya, sedangkan sahabat yang lain mengatakan bahwa umat Islam tetap harus bekerja sama dengan orang-orang Yahudi dalam rangka mempertahankan Madinah. Rasulullah masih menanggapinya dengan diam, hingga turun firman Allah QS. Al-Maidah ayat 51 ini.
Jadi, bisa dipahami bahwa zaman Rasul kata auliyaa dimaknai sebagai teman (teman dekat), bukan diartikan sebagai pemimpin.
Selanjutnya, ketika ayat tersebut dicermati secara benar-benar seolah-olah muncul kejanggalan dalam lafadz laa tattakhidzuul yahuuda wan nashaara. Kenapa umat islam tidak diperbolehkan bersekutu hanya dengan Yahudi dan Nasrani saja? Kurang lebih pertanyaan yang muncul seperti itu. Alasannya, karena sesuai asbabul nuzul ayat tadi yang mengkhianati umat Islam adalah kaum Yahudi. Kebetulan pada waktu yang dekat dengan mereka adalah kaum Nasrani, Sehingga al majus, as shaabiun tidak diikutsertakan.
Satu hal lagi yang perlu digaris bawahi dalam kasus ini bahwa jika suatu ayat digunakan dalam hal-hal tetentu, harus dikaitkan dengan konteks zamannya. Jadi pemaknaan QS. Al-Maidah ayat 51 tentang umat islam tidak diperbolehkan kerjasama dengan kaum yahudi maupun nasrani hanya pada waktu itu saja.
Begitulah kurang lebih penafsiran QS. Al-Maidah ayat 51. Sebagai umat islam yang berdedikasi, tidak seharusnya kita memproklamirkan bahwa hal ini salah, hal itu benar.  Atau golongan itu kafir, karena melakukan bid’ah, golongan ini lah yang benar karena telah sesuai dengan Qur’an dan Sunnah Rasul. Cobalah untuk menggunakan akal kita berpikir bahwa Islam diturunkan sebagai agama yang rahmatan lil alamin, Islam damai, yang mempersatukan umat, bukan malah sebaliknya.
Wallahu a’lam

Jogja. 16 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar