Seiring
berjalannya waktu, tak bisa dipungkiri bahwa cara pandang manusia pun semakin
berbeda-beda. Mengapa? Beberapa faktor yang mempengaruhinya adalah kondisi
lingkungan sosialnya. Dari lingkup terkecil (baca: keluarga) hingga lingkup
dunia. Teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang begitu cepatnya.
Zaman Rasul teknologi belum ada, informasi, komunikasi, dan transportasi
sebatas kurir berkuda, onta dan mengandalkan alam. Berbeda jauh dengan era kini
yang semuanya serba instan. Sepersekian detik informasi telah tersebar di
seluruh penjuru dunia. Media sosial, dunia maya telah menghubungkan berbagai
orang dari ras, suku, negara, agama yang berbeda.
Sekilas
terlintas mengenai sabda Rasul yang menjelaskan tentang 73 cabang golongan yang
ada di bumi pada akhir zaman pun mulai terbukti. Diantara sekian banyaknya
golongan, hanya satu yang menuju surga, yaitu golongan yang berpaham
ahlussunnah wal jamaah. Sayangnya, di era modern ini tidak sedikit yang mengaku
bahwa hanya golongan mereka lah yang akan mengantar umat masuk surga, karena
berdalil quran dan hadits. Bahkan ada
beberapa golongan yang menjudge bahwa orang yang tidak mengikuti golongannya
adalah kafir. Juga tentang segala sesuatu yang belum ada pada zaman Rasul,
dilakukan di zaman ini merupakan bid’ah. Naudzubillah.
Terkait dengan
masalah tersebut, di Indonesia banyak terjadi kasus yang serupa. Salah satu
yang fenomenal di kalangan masyarakat adalah penafsiran mengenai QS. Al-Maidah
ayat 51. Karena yang mengungkapkan adalah orang yang berbeda agama, sebagian
umat Islam menganggapnya sebagai penistaan agama. Jika ditilik secara mendalam,
sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu penistaan agama, melainkan ayat
Al-Qur’an yang dijadikan sebagai tameng terhadap lawan politik (terutama non
muslim) mengingat hari-hari ini adalah musim pilkada.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka
Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Salah satu
pakar tafsir Al-Qur’an Indonesia sekaligus Wakil Rektor II UIN Sunan Kalijaga,
Dr. Phil. Sahiron Syamsudin, MA mencoba memberi pemahaman mengenai hal
tersebut. Pada hakikatnya melakukan penafsiran suatu ayat Al-Qur’an tidak
semudah seperti menerjemahkan, yang hanya membutuhkan arti kata per kata, lalu
merangkainya menjadi suatu kalimat. Sama sekali bukan begitu. Penafsiran perlu
adanya ilmu. Baik itu nahwu, shorof, ulumul qur’an, sejarah, balaghoh, dan
masih banyak lagi.
Nah,
permasalahan QS. Al-Maidah ayat 51 adalah pada kata auliyaa yang
sebagian besar mengartikannya sebagai pemimpin. Padahal, jika dilihat dari
konteks historisnya ayat tersebut turun ketika perang badar, jumlah pasukan
umat islam adalah 313, sedangkan pasukan kaum kafir quraisy yang awalnya 500
bertambah menjadi dua kali lipatnya. Setelah diselidiki, ternyata ada kaum yahudi
yang membocorkannya kepada kaum kafir quraisy sehingga mereka menambah jumlah
pasukannya. Secara tidak langsung, orang yahudi tersebut telah melanggar
Perjanjian Madinah yang telah disepakati bersama umat islam dan nasrani. Meski
dengan seizin Allah pada akhirnya kaum muslimin lah yang menang.
Saat terjadi
perang selanjutnya, perang uhud, ada 2 orang sahabat yang memilki pendapat
masing-masing. Yang satu mengatakan bahwa dia tidak mau lagi bekerja sama
dengan orang-orang yahudi yang telah mengkhianatinya, sedangkan sahabat yang
lain mengatakan bahwa umat Islam tetap harus bekerja sama dengan orang-orang
Yahudi dalam rangka mempertahankan Madinah. Rasulullah masih menanggapinya
dengan diam, hingga turun firman Allah QS. Al-Maidah ayat 51 ini.
Jadi, bisa
dipahami bahwa zaman Rasul kata auliyaa dimaknai sebagai teman (teman
dekat), bukan diartikan sebagai pemimpin.
Selanjutnya,
ketika ayat tersebut dicermati secara benar-benar seolah-olah muncul
kejanggalan dalam lafadz laa tattakhidzuul yahuuda wan nashaara. Kenapa
umat islam tidak diperbolehkan bersekutu hanya dengan Yahudi dan Nasrani saja?
Kurang lebih pertanyaan yang muncul seperti itu. Alasannya, karena sesuai
asbabul nuzul ayat tadi yang mengkhianati umat Islam adalah kaum Yahudi.
Kebetulan pada waktu yang dekat dengan mereka adalah kaum Nasrani, Sehingga al
majus, as shaabiun tidak diikutsertakan.
Satu hal lagi
yang perlu digaris bawahi dalam kasus ini bahwa jika suatu ayat digunakan dalam
hal-hal tetentu, harus dikaitkan dengan konteks zamannya. Jadi pemaknaan QS.
Al-Maidah ayat 51 tentang umat islam tidak diperbolehkan kerjasama dengan kaum
yahudi maupun nasrani hanya pada waktu itu saja.
Begitulah
kurang lebih penafsiran QS. Al-Maidah ayat 51. Sebagai umat islam yang
berdedikasi, tidak seharusnya kita memproklamirkan bahwa hal ini salah, hal itu
benar. Atau golongan itu kafir, karena
melakukan bid’ah, golongan ini lah yang benar karena telah sesuai dengan Qur’an
dan Sunnah Rasul. Cobalah untuk menggunakan akal kita berpikir bahwa Islam
diturunkan sebagai agama yang rahmatan lil alamin, Islam damai, yang
mempersatukan umat, bukan malah sebaliknya.
Wallahu a’lam
Jogja. 16 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar