Rabu, 27 September 2017

Kajian Ma'anil Hadis


Hadis tentang Kasih Sayang
(Kajian Maanil Hadis)
A.    Latar Belakang
            Hadis Nabi selalu hangat untuk diperbincangkan meski sudah ada sejak tahun 700 masehi. Sebagai sabda Nabi Muhammad SAW, hadis menjadi pedoman bagi umat islam untuk menjalani setiap langkah hidupnya. Tentu saja, mencakup berbagai aspek kehidupan, baik itu masalah teologis, sosiologis, maupun saintifis. Meski mencakup beberapa hal, hadis nabi tetap bermuara pada pengabdian seorang hamba kepada tuhannya.
Sebagai ajaran pokok Islam kedua setelah al-Qur’an, hadis memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan umat Islam. Hadis dengan kekuatan yang dimilikinya, mampu mengaliensi manusia dari kebebasan yang dimilikinya, sehingga apa yang dikehendakinya dapat terwujudkan dalam bentuk perilaku manusia. Oleh karena itu, maka tidak heran jika IAN G. Barbour mengatakan bahwa apa yang datang dari agama selalu mendapat posisi yang lebih jika dibandingkan dengan sains. Lebih jauh, segala yang menjadi penemuan-penemuan ilmiah akan tetap bersifat meragukan.[1]
Jika kita melihat dari sisi hadis, maka akan kita temukan berbagai wacana ‘ketidak harmonisasian’ sepanjang sejarahnya, ini bisa dilihat dengan adanya pembagian status penyandaran hadis[2] yakni mauquf, marfu’ maqthu’, artinya terjadi perbedaan hadis itu bersumber dari mana dan siapa. Maka tidak heran jika para pengkaji non-muslim (Orientalis), misalnya, senantiasa memberikan kritikan tajam mengenai keotentitas atas sumber pedoman kedua umat Islam ini.[3] Lebih jauh lagi, persoalan kodifikasi hadis yang dilakukan setelah wafatnya Nabi, bahkan menginjak abad ke dua hijriyah semakin memperjelas keraguan keotentitas hadis bahwa hadis bersumber dari Nabi.[4]
Selain persoalan historisnya, kandungan yang dimuat oleh hadis juga acap kali menjadi kritikan tersendiri. Misalnya, persoalan empiris yang mengharuskan adanya bukti konkrit atau terkait kontekstualisasi dengan zaman kekinian, maka akan menjadi suatu kesulitan tersendiri ketika menjawabnya. Apakah masih relevan untuk saat ini, perlu adanya pengembangan atau bahkan pembaharuan.
Terkait dengan tema ini, seorang muslim hendaknya memiliki dan berusaha untuk menumbuhkan sifat kasih sayang serta menjahui perangai yang buruk yaitu sifat saling membenci diantara kaum muslimin dalam segala aspek kehidupan. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Rasulullah salallahu berperlikau lemah lembut terhadap makhluk-Nya.

B.     Kritik Eiditis
a.       Analisis Teks Isi, HR. Bukhori nomor 5554
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، قَالَ: حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ وَهْبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ جَرِيرَ بْنَ
 عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Hafs, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, berkata : Telah menceritakan kepadaku Zaid bin Wahab, dia berkata : Aku mendengar dari Jarir bin Abdillah, dari Nabi SAW, beliau bersabda : “Barang siapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi”. [5]

Kualitas perawi hadis
Nabi Muhammad SAW Jarir bin Abdullah Zaid bin Wahab A’masy ayahnya Umar bin Hafs Imam Bukhori

No.
Nama lengkap
L/W
Kuniyah
Laqob
Masyhur
Nasab
Golongan
Penilaian ulama
Negeri yg ditempati
1
Jarir bin Abdullah bin Jabir bin Malik bin Nadzor bin Tsa’labah
w. 51 H
Abu ‘Amru, Abu Abdullah


Al-Yamani, al-Fasiri
Sahabat
Tsiqoh
Kuffah
2.
Zaid bin Wahhab
w. 96 H
Abu Sulaiman

Zaid bin Wahhabal Juhni
Al-Mahdani, al-Kufi, al-Juhni
Tabi’in kalangan tua
Tsiqoh
Kuffah
3.
Sulaiman bin  Mihran
w. 147 H
Abu Muhammad
A’mays
Sulaiman bin  Mihran al-A’mays
Al-Asadi, al-Kufi
Tabi’in kalangan biasa
Tsiqoh
Kuffah, Makkah
4.
Hafs bin Ghiyas bin Thalaq binMuawiyah bin Malik bin Haris bin Tsa’labah bin Mu’ainah
L. 117 H, w. 197 H.
Abu Umar

Hafs bin Ghiyas an Nakhai
An-Nakhai, Al-Kufi
Tabiut tabiin kalangan pertengahan
Tsiqoh
Kuffah
5.
Umar bin Hafs bin Ghiyas bin Thalaq bin Muawiyah
w. 222 H
Abu Hafs

Umar bin Hafs an-Nakhai

Tabi’ul Atba’ kalangan tua
Tsiqoh
Kuffah

Berdasarkan penelitian tersebut, tidak satupun perawi hadis tersebut yang berstatuf dloif (minimal paling rendah tingkatannya adalah shuduq). Akan tetapi secara keseluruhan perawi hadis tersebut berada di tingkatan tsiqoh. Ditambah pula, tidak sedikit hadis pendukung terhadap hadis tersebut. Oleh karena itu, hadis yang telah dipaparkan diatas, dapat dikategorikan sebagai hadis yang kualitasnya shahih dan maqbul dari segi sanad.
1.      Kajian Linguistik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kasih sayang adalah “suatu ungkapan perasaan cinta dan suka yang tulus tanpa mengharap imbalan”[6]
Kata رحم dalam Lisanul Arob diartikan sebaga rasa simpatik, belas kasih yang dimiliki oleh seseorang. Kata tersebut juga memiliki beberapa derivasi, diantaranya rahmah yang berarti kasih sayang (berupa ampunan seperti yang di deskripsikan dalam Al-Qur’an). Adapun kata مرحَمَةِ yang juga memilki arti kasih sayang berwujud penyampaian pesan secara lembut dan penuh kasih sayang dari sebagian orang kepada lainnya. Azhari mengatakan bahwa ta’ yang tertulis dalam kata  رَحْمَتpada hakikatnya adalah huruf ha’ yang ada pada lafadz jalalah. Selain itu, kata رحم juga berkembang menjadi tarahhama yang berarti meminta kasih sayang, اسْتَرْحَم yang berarti memohon kasih sayang, lebih menekankan pada aspek balaghahnya, yaitu ورجل مَرْحومٌ ومُرَحَّمٌ.  Ibnu Jinni mengatakan bahwa kata tersebut memang merupakan suatu majaz, yang didalamnya terdapat : السَّعَةُ , التشبـيه,  التوكيد .  Masih dalam kitab Lisanul Arob, al-Farisi memaparkan bahwa kata رحيم selalu disebutkan setelah kata رَّحْمَنُ. Arti رَّحْمَنُ ditujukan pada semua makhluk, sedangkan رحيم hanya dikhususkan pada orang-orang mukmin saja.[7]
Dalam Mu’jam Mufrodat li al-Fadz al-Karim kata رحم belas kasihan yang dikeluhkan oleh seorang perempuan. Di katakan juga bahwa Allah SWT memilki sifat رَّحْمَنُ di dunia (berlaku bagi orang mukmin maupun orang kafir) dan رحيم di akhirat (hanya untuk orang-orang yang beriman).[8]
Prof. Dr. KH. Masdar Hilmy menjelaskan bahwa kata رحم terambil dari kata ar-Ruhmi atau ar-Rihmi yang berarti kerabat, dan asal semua itu adalah ar-Rahim yang diartikan sebagai kandungan. Selai kata رحم, ada beberapa redaksi kata yang memilki arti berdeketan, diantaranya العطف , الحنان ,الرفق ,اللين ,الشفقة . [9]
Kasih sayang juga dapat diartikan sebagai cara untuk melakukan hubungan kemasyarakatan dengan yang lain dilakukan denga cara menyayangi dan menghormati.[10]
2.      Kajian Tematis Komperehensif
Dengan melihat tema yang sama, berikut ini ada redaksi dari hadis lain, diantaranya :
-          HR. Bukhori nomor 5997, Juz 8, Bab Menyayangi Orang Tua, hlm. 7 
حَدَّثَنَا أَبُو اليَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَبَّلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ وَعِنْدَهُ الأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِيُّ جَالِسًا، فَقَالَ الأَقْرَعُ: إِنَّ لِي عَشَرَةً مِنَ الوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
Artinya :
“Telah menceritakan kepada kami Abu al-Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari az-Zuhri telah menceritakan kepada kami Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mencium Al Hasan bin Ali sedangkan disamping beliau ada Al Aqra' bin Habis At Tamimi sedang duduk, lalu Aqra' berkata; "Sesungguhnya aku memiliki sepuluh orang anak, namun aku tidak pernah mencium mereka sekali pun, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memandangnya dan bersabda: "Barangsiapa tidak mengasihi maka ia tidak akan dikasihi."  [11]
Hadis yang menjelaskan tentang Al Aqra’ inilah yang menjadi Asbabul Wurud hadis tentang kasih sayang.
-          HR. Muslim nomor 2318, Juz 4, Bab Menghormati Nabi SAW, hlm. 1808 
وحَدَّثَنِي عَمْرٌو النَّاقِدُ، وَابْنُ أَبِي عُمَرَ، جَمِيعًا عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: عَمْرٌو، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ، أَبْصَرَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ الْحَسَنَ فَقَالَ: إِنَّ لِي عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ وَاحِدًا مِنْهُمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّهُ مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَم
Artinya :
“Telah menceritakan kepadaku ‘Amru an Naqd, dan Ibnu Abi Umar, keseluruhannya dari Sufyan; berkata ‘Amru, telah menceritakan kepadaku Sufyan bin Uyainah, dari Zuhri, dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah. Sesungguhnya  Al Aqra’ bin Habis, Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mencium Al Hasan bin Ali, lalu berkata; "Sesungguhnya aku memiliki sepuluh orang anak, namun aku tidak pernah mencium mereka sekali pun, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memandangnya dan bersabda: Barangsiapa tidak mengasihi maka ia tidak akan dikasihi.”  [12]
-          HR. Abu Dawud nomor 4943, Juz 4, Bab Kasih Sayang, hlm. 286 [13]
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَابْنُ السَّرْحِ، قَالَا: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنِ ابْنِ عَامِرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو،  يَرْوِيهِ قَالَ: ابْنُ السَّرْحِ - عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرِنَا فَلَيْسَ مِنَّا»
Artinya :
“Telah menceritakan kepada kita Abu bakar bin Abi Syaibah, dan Ibnu Syarh berkata; telah menceritakan kepada kita Sufyan, dari Ibnu Abi Najih, dari Ibnu ‘Amir, dari Abdillah bin Umar, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Barang siapa yang tidak menyayangi anak kecil, tidak mengetahui hak saudaranya yang lebih besar, maka bukan termasuk golonganku”
-          HR. An-Nasa’i nomor 1868, Juz 1, Bab Perintah untuk Ihtisab, sabar, ketika ditimpa musibah, hlm. 21 [14]
أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ، قَالَ: أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، قَالَ: أَرْسَلَتْ بِنْتُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِ أَنَّ ابْنًا لِي قُبِضَ فَأْتِنَا، فَأَرْسَلَ يَقْرَأُ السَّلَامَ وَيَقُولُ: «إِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ، وَلَهُ مَا أَعْطَى، وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَ اللَّهِ بِأَجَلٍ مُسَمًّى، فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ»، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ تُقْسِمُ عَلَيْهِ لَيَأْتِيَنَّهَا، فَقَامَ وَمَعَهُ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ، وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ، وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَرِجَالٌ، فَرُفِعَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّبِيُّ وَنَفْسُهُ تَقَعْقَعُ، فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ، فَقَالَ سَعْدٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا هَذَا؟ قَالَ: «هَذَا رَحْمَةٌ، يَجْعَلُهَا اللَّهُ فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ، وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ»

Artinya :
“Telah mengabarkan kepada kami Suwaid bin Nashr dia berkata; telah memberitakan kepada kami 'Abdullah dari 'Ashim bin Sulaiman dari Abu 'Utsman dia berkata; telah menceritakan kepadaku Usamah bin Zaid dia berkata; "Putri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seseorang kepada beliau, 'Bahwa anaku telah meninggal dunia, maka datanglah kepada kami! ' lalu beliau mengirim seseorang untuk mengucapkan salam dan mengatakan: " milik Allah apa yang telah ia ambil dan miliknya apa yang telah diberikan, segala sesuatu telah ditentukan ajalnya disisi Allah, maka hendaknya bersabar dan berharap pahala." Lalu ia mengutus seseorang kepada beliau agar bersumpah akan mendatanginya. Kemudian beliau bangkit dan bersamanya Sa'd bin Ubadah, Mu'adz bin Jabal, Ubay bin Ka'b, Zaid bin Tsabit dan beberapa orang laki-laki. Lalu anak kecil itu dibawa ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, jiwanya berdetak dan kedua matanya meneteskan air mata. Kemudian Sa'd berkata; "Wahai Rasulullah, apa ini?" beliau bersabda: "Ini adalah rahmat yang Allah tumbuhkan didalam hati hamba-hamba-Nya, Allah mengasihi hamba-hamba-Nya yang berbelas kasih."
3.      Kajian Konfirmatif
a)      QS. Al-Fath : 29
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ
Artinya :
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”
Al-Qurtubi menafsirkan kata ruhamaa dalam ayat tersebut adalah khabar kedua, didalamnya juga memuat pendapat Ibnu ‘Abas yang memaparkan bahwa Ahlul Hadibiyyah merupakan golongan orang orang yang keras terhadap kaum kafir, membuat marah / geram orang orang kafir seperti ganasnya singa pada mangsanya. Sedangkan sifat rahmah sendiri merupakan akhlaq Nabi Muhammad SAW dan Al-Qurtubi menyatakan bahwa yang dapat menyerupai sifat tersebut ialah sahabat Nabi.
Jadi, dapat diambil kesimpulan semakin jauh dari zaman Nabi, semakin beda pula rasa dan sifat kasih sayang yang dimiki oleh seseorang (semakin mengalami penurunan).
b)      QS. Al Hijr : 9
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Artinya :
Ibrahim berkata: "tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat".
c)      QS. Al Baqarah : 64
ثُمَّ تَوَلَّيْتُم مِّن بَعْدِ ذَلِكَ فَلَوْلاَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَكُنتُم مِّنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya :
“Kemudian kamu berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, Maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang yang rugi.”
d)     QS. Ali Imran : 159


فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Kata rahmah dalam ayat itu, menurut kitabnya Al-Qutubi disebutkan sebagai ta’kid dari makna asalnya. Lafadz fabima merupakan nakiroh dari jenis jarr berupa ba’, sedangkan rahmah adalah badal darinya.
Ayat diatas dimaksudkan untuk berperilaku lemah lembut saat berurusan dengan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya dalam keadaan tertentu. Maksudnya latar belakang munculnya ayat ini salah satunya adalah saat terjadi perang uhud, sebagaian umat Islam telah mencapai kesepakatan mengenai perlakuan yang lemah lembut serta untuk memaafkan orang orang yang berkhianat (saat perebutan ghonimah)
e)      QS. Al Anbiya : 107
 وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya :
“dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Mengenai tafsir ayat tersebut, dalam tafsir al-Jami’ li-Ahkam al- Qur’an, Said bin Jubair berkata, dari Abbas bahwa Nabi Muhammad SAW diturunkan ke dunia tidak hanya sebagai rahmat bagi manusia, namun juga untuk seluruh alam. Barang siapa yang beriman dan mempercayainya akan selamat dan merasakan kebahagiaan. Sebaliknya, barang siapa yang menyatakan namun sebenarnya tidak beiman, maka dia hanya akan selamat dari hujatan orang orang mengenai hal tersebut. Tetapi tidak merasakan kesenanagan dan kepuasan atas rahmat yang disebar oleh Rasulullah SAW.
a.       Analisis Realitas Historis
Untuk melihat realitas historis, perlu mencocokkan dengan asbabul wurud, yaitu suatu hal yang melatarbelakangi munculnya hadis, baik makro maupun mikro.
Menurut Imam as-Suyuti asbabul wurud itu dikategorikan menjadi tiga macam, 1). Sebab berupa ayat al-Qur’an. Maksudnya al-Qur’an menjadi penyebab Nabi mengeluarkan sabdanya. 2). Sebab yang berupa hadist. Ketika ada hadist, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya maka kemudian muncul hadist lain yang memberikan penjelasan terhadap hadist tersebut. 3). Sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan pendengar (kalangan sahabat)[15].
Secara kategoris, menurut Abdul Mustaqim terdapat empat faktor yang melatarbelakangi munculnya sabda atau tindakan Nabi. Pertama, faktor yang muncul dari pribadi Nabi SAW sebagai pembicara. Kedua, faktor yang berkaitan dengan kondisi orang yang diajak berbicara oleh Nabi SAW.  Ketiga, aspek yang berkaitan dengan waktu atau masa ketika Nabi menyampaikan sabdanya.  Keempat, aspek yang berkaitan dengan tempat atau kondisi geografis ketika nabi menyampaikan hadist.
Ada beberapa cara untuk mengetahui konteks historis sebuah hadis yang ditawarkan oleh Abdul Mustaqim. Pertama, melalui riwayat teks hadist itu sendiri. Kedua, melalui perkataan sahabat atau informasi sahabat. Ketiga, melalui ijtihad, hal ini dilakukan jika tidak menemukan riwayat yang jelas mengenai asbabul wurud. Ijtihad ini dilakukan dengan cara mengumpulkan hadist-hadist yang setema atau sejarah sehingga mampu menghubungkan antara ide hadist dengan konteks munculnya hadist.[16]
Dalam syarah hadis ini dipaparkan bahwa penerapan kasih sayang dilakukan terhadap semua pihak, semua mahkluk, baik yang mukmin, kafir, maupun hewan dan tumbuhan dan lainnya dengan cara bergaul (jika pada hewan memperlakukan dan merawatnya dengan baik). [17]
Hadis ini termasuk salah satu hadis yang menyebutkan asbabul wurud makronya secara eksplisit (tertuang dalam redaksi teks hadis). Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa hadis saling menyayangi ini muncul ketika Rasulullah SAW mencium tangan cucunya, Hasan Husein ada sahabat yang mengetahuinya, yaitu Al Aqra' bin Habis At Tamimi hingga dia menyatakan pada Rasul bahwa dia memiliki 10 anak, tapi tak satupun diantara mereka yang diperlakukan seperti itu. Redaksi lain mengatakan bahwa Al Aqra' bin Habis At Tamimi sedang duduk bersama Rasul (sedang menimang cucunya / Hasan Husein yang masih kecil), saampai Rasul bersabda “Barangsiapa tidak mengasihi maka ia tidak akan dikasihi.”[18]
b.      Analisis Generalisasi
Inti dan esensi dari hadis “Barang siapa yang tidak menyayangi maka dia tidak akan disayangi” pada hakikatnya tidak hanya ditujukan pada makna kasih sayang secara khusus saja. Namun, kasih sayang diberikan oleh siapa saja, kepada siapa saja, kapan dan dimanapun. Tidak terkait ruang dan waktu. Dalam redaksi hadis, kasih sayang dapat berupa penghormatan (mengetahui hak) seseorang yang lebih tua serta memberikan teladan dan perlakuan yang lembut pada seseorang yang dirasa lebih muda.
Nabi juga tidak menyebutkan secara eksplisit terkait hadis kasih sayang tersebut. Beliau mencontohkan dengan perlakuannya yang ditujukan kepada cucu cucu beliau. Selain itu, akhlaq Nabi SAW menyiratkan bahwa kasih sayang bagi umat Islam bagi orang orang yang beriman tidak melulu ditujukan kepada sesamanya saja, namun juga diberikan kepada orang kafir, hewan, tumbuhan, dan sebagainya.
C.     Kritik Praksis
Seperti yang kita ketahui seiring berkembannya zaman, etika dan moral semakin tak di indahkan lagi. Menjadikan pergaulan di lingkungan semakin tidak sehat. Orang semakin individual dalam bersikap dan  berkomunikasi dengan sesama, apalagi cara memperlakukan hewan maupun tumbuhan. Hal tersebut berimplikasi pada rasa kemanusiaan yang semakin tergerus. Perilaku lemah lembut dan kasih sayang seakan tertutup oleh semua itu. Berbicara mengenai kasih sayang tentu tidak lepas dengan hal-hal yang berlawanan dengan hal tersebut. Penulis mencoba mengaitkan dengan kasus kekerasan.
Dalam masyarakat umumnya, tidak sedikit pasangan orang tua yang kurang memperhatikan, mencukupi kebutuhan psikis anak (kurang respect dalam memberi rasa belas kasih) sehingga anaknya kurang terurus. Kebanyakan mereka memilki wawasan kurang terhadap pendidikan keluarga. Pada akhirnya lingkungan yang mendominasi tumbuh kembangnya anak tersebut. Bahkan di era modern ini, orang tidak mau susah payah hingga sang anak diberi mainan (baca: gadget) untuk menemani hari-harinya. Tanpa berpikir dampak kedepannya, juga tidak ada pengotrolan sama sekali. Penelitan yang dilakukan oleh sebuah lembaga riset Childwise mengungkapkan bahwa anak masa mini rata-rata menghabiskan waktu 6,5 jam per hari untuk beraktivitas dengan gadget nya.[19] Artinya, semakin banyak waktu seorang dihabiskan dengan gadget nya kemungkinan besar mempengaruihi sikap anak terhadap lingkungan bahkan orang tuanya sendiri (sangat emosional) seolah tidak ada pengajaran mengenai etika berlemah lembut dan kasih sayang.
Berbeda lagi dengan kasus yang terjadi dalam dunia pendidikan. Mulai dari bullying, kekerasan terhadap sesama siswa (baca: tawuran) dan sebagainya. Penulis mengamati hal tersebut terjadi dikarenakan beberapa faktor. Diantaranya 1) Kurangnya pengertian dan perlakuan kasih sayang dari rumah (faktor bawaan) sehingga berpengaruh pada perilaku siswa di sekolahnya 2) Berawal dari bullying (sikap penyerangan kepada seseorang baik secara fisik maupun psikologis) berdampak pada tawuran dan kekerasan lainnya yang sifatnya merusak dan menyakiti 3) Kompetensi dalam mengendalikan emosi masih minim. Dalam penelitian Elfida, menemukan bahwa kemampuan mengontrol diri mempengaruhi perilaku seseorang untuk berbuat anarki, kekerasan atau tindakan penyimpangan. Artinya, hal tersebut benar-benar menunjukkan secara kuat bahwa mereka yang memiliki pengendalian emosi lebih bisa mengarahkan perilakunya kepada hal-hal positif, tidak ada kecenderungan untuk melakukan tindakan kekerasan pada seseorang ataupun lingkungan. Namun sebaliknya bahwa mereka yang tidak memiliki pengendalian emosi yang baik akan lebih condong berbuat kekerasan atau penyimpangan pada lingkungannya.[20]
Kesimpulan
Dari pemaparan tersebut, dapat dipahami bahwa hadis ini masih relevan dan selalu pantas diaplikasikan hingga sampai kapanpun. Bahkan hadis saling menyayangi penting untuk sekedar mengingatkan, pada hakikatnya Rasulullah SAW mengajarkan untuk berlaku lemah lembut dan memilki rasa kasih sayang kepada siapapun, dan dalam keadaan apapun. Ketika hadis ini sudah diaplikasikan dan terealisasi dalam kehidupan sehari hari, secara tidak langsung umat Islam telah memperkuat dan mempertebal iman mereka, karena mempunyai rasa kasih rasa yang merupakan sebagian dari keimanan kepada-Nya maupun kepada rasul-Nya.
Daftar Pustaka
Barbou. IAN G,  2006, Isu dalam Sains dan Agama, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga)
Al-Maliki. Muhammad Alawi,  2009, Ilmu Ushul Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Syamsuddin. Arif,  2008, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press)
Khon. Abdul Majid, 2011,  Pemikiran Modern dalam Sunah: Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarata: Kencana)
Sumbulah. Umi, 2008, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press)
Software Lidwa
Depdikbud, 1998, KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka)
Mandzur. Ibnu, 1993, Lisanul ‘Arob, (Beirut: Daar Ihya at-Turats al-Arabi)
al-Asfahani. Ar-Raghib, 2008, Mu’jam al-Mufrodat li al-Fazh al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr)
Hilmy. Masdar, 1995, Akhlaq Nabi Muhammad SAW, (Bandung: Fema Risalalah Press
Skripsi Maya Agustina, Penanaman Nilai-nilai kesabaran dan Kasih Sayan pada Lansia di Pantai Wreda Budhi Dharma, 2008, Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Bukhori. Imam, Shahih Bukhori, (Beirut: Dar al-Kutub) dalam Software Maktabah Syamilah
Abu Dawud. Imam, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub) dalam Software Maktabah Syamilah
Nasa’i. Imam, Sunan An-Nasa’i, (Beirut: Dar al-Kutub) dalam Software Maktabah Syamilah
Husin Munawwar. Sa’id Agil., Mustaqim. Abdul,  2001, Asbabul Wurud, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Baharuddin. Mohammad Achwan, 2011, Hadist-Hadist Analogi Hari Kebangkitan dengan Musim Semi, Jurusan Tafsir Hadist, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga)
Syarah Sahih Bukhori li Ibnu Bathal
Ibny Hajar al-Asqalani, 2005, Fathul Baribi Syarah Shahih al-Bukhori, (Riyadh: Darr al-Taybah)








[1] IAN G. Barbour, Isu dalam Sains dan Agama, terj, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 306.
[2] Lihat penjelasan tentang hadits Mauquf (hadits yang disandarkan kepada Sahabat), Marfu’ (hadits yang disandarkan kepada Nabi), dan Maqthu (hadits yang disandarkan kepada Tabi’in) Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits, terj, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 67-74.
[3] Arif Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hlm. 27
[4] Baca penjelasan Ahmad Amin tentang sejarah kemunculan Hadits dalam Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah: Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarata: Kencana, 2011), hlm, 39-40. Selain itu, lihat juga persoalan munculnya hadits maudhu’ dalam –misalnya- Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 6-10.
[5] Software Lidwa
[6] Depdikbud, KBBI 1998, (Jakarta: Balai Pustaka)
[7] Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arob, (Beirut: Daar Ihya at-Turats al-Arabi, 1993)
[8] Ar-Raghib al-Asfani, Mu’jam al-Mufrodat li al-Fazh al-Qur’an. (Beirut: Dar al-Fikr, 2008)
[9] Prof. Dr. KH. Masdar Hilmy, Akhlaq Nabi Muhammad SAW, (Bandung: Fema Risalalah Press, 1995), hlm. 275
[10] Skripsi Maya Agustina, Penanaman Nilai-nilai kesabaran dan Kasih Sayan pada Lansia di Pantai Wreda Budhi Dharma, 2008, Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[11] Software Maktabah Syamilah, Imam Bukhori, Shahih Bukhori, Juz 8 (Beirut: Dar al-Kutub) hlm. 7
[12] Software Maktabah Syamilah, Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz 4 (Beirut: Dar al-Kutub) hlm. 1808
[13] Software Maktabah Syamilah, Imam Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz 4 (Beirut: Dar al-Kutub) hlm. 286
[14] Software Maktabah Syamilah, Imam An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub) hlm. 21
[15] Sa’id Agil Husin Munawwar, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Hlm. 9-12
[16] Mohammad Achwan Baharuddin, Hadist-Hadist Analogi Hari Kebangkitan dengan Musim Semi, Jurusan Tafsir Hadist, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Yogyakarta, 2011, hlm 73-74
[17] Syarah Sahih Bukhori li Ibnu Bathal
[18] Fathul Baari, juz 10, hlm. 429-430
[19] Htm. Tribun Kaltim, diakses pada tanggal 4 Mei 2017

[20] www.cnnindonesia.com/ Jangan Biarkan 'Darah' Melumuri Seragam Sekolah Kita

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar