Hadis tentang Kasih
Sayang
(Kajian Maanil
Hadis)
A.
Latar Belakang
Hadis Nabi selalu hangat untuk
diperbincangkan meski sudah ada sejak tahun 700 masehi. Sebagai sabda Nabi Muhammad
SAW, hadis menjadi pedoman bagi umat islam untuk menjalani setiap langkah
hidupnya. Tentu saja, mencakup berbagai aspek kehidupan, baik itu masalah
teologis, sosiologis, maupun saintifis. Meski mencakup beberapa hal, hadis nabi
tetap bermuara pada pengabdian seorang hamba kepada tuhannya.
Sebagai ajaran
pokok Islam kedua setelah al-Qur’an, hadis memiliki peran yang signifikan dalam
kehidupan umat Islam. Hadis dengan kekuatan yang dimilikinya, mampu mengaliensi
manusia dari kebebasan yang dimilikinya, sehingga apa yang dikehendakinya dapat
terwujudkan dalam bentuk perilaku manusia. Oleh karena itu, maka tidak heran
jika IAN G. Barbour mengatakan bahwa apa yang datang dari agama selalu mendapat
posisi yang lebih jika dibandingkan dengan sains. Lebih jauh, segala yang
menjadi penemuan-penemuan ilmiah akan tetap bersifat meragukan.[1]
Jika kita melihat dari sisi hadis, maka akan kita temukan berbagai wacana ‘ketidak
harmonisasian’ sepanjang sejarahnya, ini bisa dilihat dengan adanya pembagian
status penyandaran hadis[2]
yakni mauquf, marfu’ maqthu’, artinya terjadi perbedaan hadis itu
bersumber dari mana dan siapa. Maka tidak heran jika para pengkaji non-muslim
(Orientalis), misalnya, senantiasa memberikan kritikan tajam mengenai
keotentitas atas sumber pedoman kedua umat Islam ini.[3]
Lebih jauh lagi, persoalan kodifikasi hadis yang dilakukan setelah wafatnya
Nabi, bahkan menginjak abad ke dua hijriyah semakin memperjelas keraguan
keotentitas hadis bahwa hadis bersumber dari Nabi.[4]
Selain persoalan historisnya, kandungan yang dimuat oleh hadis juga
acap kali menjadi kritikan tersendiri. Misalnya, persoalan empiris yang
mengharuskan adanya bukti konkrit atau terkait kontekstualisasi
dengan zaman kekinian, maka akan menjadi suatu kesulitan tersendiri ketika
menjawabnya. Apakah masih relevan untuk saat ini, perlu adanya pengembangan
atau bahkan pembaharuan.
Terkait dengan
tema ini, seorang muslim hendaknya memiliki dan berusaha untuk menumbuhkan
sifat kasih sayang serta menjahui perangai yang buruk yaitu sifat saling membenci
diantara kaum muslimin dalam segala aspek kehidupan. Sebagaimana Allah subhanahu
wa ta’ala mengutus Rasulullah salallahu berperlikau lemah lembut terhadap
makhluk-Nya.
B.
Kritik Eiditis
a.
Analisis Teks Isi, HR. Bukhori
nomor 5554
حَدَّثَنَا
عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، قَالَ: حَدَّثَنِي
زَيْدُ بْنُ وَهْبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ جَرِيرَ بْنَ
عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
Artinya :
Telah
menceritakan kepada kami ‘Amru bin Hafs, telah menceritakan kepada kami ayahku,
telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, berkata : Telah menceritakan kepadaku
Zaid bin Wahab, dia berkata : Aku mendengar dari Jarir bin Abdillah, dari Nabi
SAW, beliau bersabda : “Barang siapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan
dikasihi”. [5]
Kualitas perawi hadis
Nabi Muhammad
SAW → Jarir bin Abdullah → Zaid bin
Wahab → A’masy → ayahnya → Umar bin Hafs
→ Imam Bukhori
No.
|
Nama lengkap
|
L/W
|
Kuniyah
|
Laqob
|
Masyhur
|
Nasab
|
Golongan
|
Penilaian ulama
|
Negeri yg ditempati
|
1
|
Jarir bin Abdullah bin Jabir bin Malik bin
Nadzor bin Tsa’labah
|
w. 51 H
|
Abu ‘Amru, Abu Abdullah
|
Al-Yamani, al-Fasiri
|
Sahabat
|
Tsiqoh
|
Kuffah
|
||
2.
|
Zaid bin Wahhab
|
w. 96 H
|
Abu Sulaiman
|
Zaid bin Wahhabal Juhni
|
Al-Mahdani, al-Kufi, al-Juhni
|
Tabi’in kalangan tua
|
Tsiqoh
|
Kuffah
|
|
3.
|
Sulaiman bin
Mihran
|
w. 147 H
|
Abu Muhammad
|
A’mays
|
Sulaiman bin
Mihran al-A’mays
|
Al-Asadi, al-Kufi
|
Tabi’in kalangan biasa
|
Tsiqoh
|
Kuffah, Makkah
|
4.
|
Hafs bin Ghiyas bin Thalaq binMuawiyah bin
Malik bin Haris bin Tsa’labah bin Mu’ainah
|
L. 117 H, w. 197 H.
|
Abu Umar
|
Hafs bin Ghiyas an Nakhai
|
An-Nakhai, Al-Kufi
|
Tabiut tabiin kalangan pertengahan
|
Tsiqoh
|
Kuffah
|
|
5.
|
Umar bin Hafs bin Ghiyas bin Thalaq bin
Muawiyah
|
w. 222 H
|
Abu Hafs
|
Umar bin Hafs an-Nakhai
|
Tabi’ul Atba’ kalangan tua
|
Tsiqoh
|
Kuffah
|
Berdasarkan
penelitian tersebut, tidak satupun perawi hadis tersebut yang berstatuf dloif
(minimal paling rendah tingkatannya adalah shuduq). Akan tetapi secara
keseluruhan perawi hadis tersebut berada di tingkatan tsiqoh. Ditambah
pula, tidak sedikit hadis pendukung terhadap hadis tersebut. Oleh karena itu,
hadis yang telah dipaparkan diatas, dapat dikategorikan sebagai hadis yang
kualitasnya shahih dan maqbul dari segi sanad.
1.
Kajian Linguistik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kasih sayang adalah “suatu
ungkapan perasaan cinta dan suka yang tulus tanpa mengharap imbalan”[6]
Kata رحم dalam Lisanul Arob diartikan sebaga rasa
simpatik, belas kasih yang dimiliki oleh seseorang. Kata tersebut juga memiliki
beberapa derivasi, diantaranya rahmah yang berarti kasih sayang (berupa ampunan
seperti yang di deskripsikan dalam Al-Qur’an). Adapun kata مرحَمَةِ yang juga memilki arti kasih sayang berwujud penyampaian pesan secara
lembut dan penuh kasih sayang dari sebagian orang kepada lainnya. Azhari mengatakan
bahwa ta’ yang tertulis dalam kata رَحْمَتpada hakikatnya adalah huruf ha’
yang ada pada lafadz jalalah. Selain itu, kata رحم juga berkembang menjadi tarahhama yang berarti
meminta kasih sayang, اسْتَرْحَم yang berarti memohon
kasih sayang, lebih menekankan pada aspek balaghahnya, yaitu ورجل مَرْحومٌ ومُرَحَّمٌ.
Ibnu Jinni mengatakan bahwa kata tersebut memang merupakan suatu majaz,
yang didalamnya terdapat : السَّعَةُ ,
التشبـيه, التوكيد . Masih dalam kitab Lisanul Arob, al-Farisi
memaparkan bahwa kata رحيم selalu
disebutkan setelah kata رَّحْمَنُ. Arti رَّحْمَنُ ditujukan pada semua makhluk, sedangkan رحيم hanya dikhususkan pada orang-orang mukmin
saja.[7]
Dalam Mu’jam
Mufrodat li al-Fadz al-Karim kata رحم
belas kasihan yang dikeluhkan oleh seorang perempuan. Di katakan juga bahwa
Allah SWT memilki sifat رَّحْمَنُ di dunia (berlaku bagi
orang mukmin maupun orang kafir) dan رحيم
di akhirat (hanya untuk orang-orang yang beriman).[8]
Prof. Dr. KH.
Masdar Hilmy menjelaskan bahwa kata رحم
terambil dari kata ar-Ruhmi atau ar-Rihmi yang berarti kerabat,
dan asal semua itu adalah ar-Rahim yang diartikan sebagai kandungan. Selai kata
رحم, ada beberapa redaksi kata yang memilki
arti berdeketan, diantaranya العطف , الحنان ,الرفق
,اللين ,الشفقة . [9]
Kasih sayang
juga dapat diartikan sebagai cara untuk melakukan hubungan kemasyarakatan
dengan yang lain dilakukan denga cara menyayangi dan menghormati.[10]
2.
Kajian Tematis Komperehensif
Dengan melihat tema yang sama,
berikut ini ada redaksi dari hadis lain, diantaranya :
-
HR. Bukhori nomor 5997, Juz 8, Bab
Menyayangi Orang Tua, hlm. 7
حَدَّثَنَا
أَبُو اليَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، حَدَّثَنَا أَبُو
سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ: قَبَّلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الحَسَنَ بْنَ
عَلِيٍّ وَعِنْدَهُ الأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِيُّ جَالِسًا، فَقَالَ
الأَقْرَعُ: إِنَّ لِي عَشَرَةً مِنَ الوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا،
فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ:
مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
Artinya :
“Telah
menceritakan kepada kami Abu al-Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib
dari az-Zuhri telah menceritakan kepada kami Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa
Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pernah mencium Al Hasan bin Ali sedangkan disamping beliau ada Al
Aqra' bin Habis At Tamimi sedang duduk, lalu Aqra' berkata; "Sesungguhnya
aku memiliki sepuluh orang anak, namun aku tidak pernah mencium mereka sekali
pun, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memandangnya dan bersabda:
"Barangsiapa tidak mengasihi maka ia tidak akan dikasihi." [11]
Hadis yang
menjelaskan tentang Al Aqra’ inilah yang menjadi Asbabul Wurud hadis tentang
kasih sayang.
-
HR. Muslim nomor 2318, Juz 4, Bab
Menghormati Nabi SAW, hlm. 1808
وحَدَّثَنِي
عَمْرٌو النَّاقِدُ، وَابْنُ أَبِي عُمَرَ، جَمِيعًا عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ:
عَمْرٌو، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ، أَبْصَرَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ الْحَسَنَ فَقَالَ: إِنَّ
لِي عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ وَاحِدًا مِنْهُمْ، فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّهُ مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَم
Artinya :
“Telah menceritakan
kepadaku ‘Amru an Naqd, dan Ibnu Abi Umar, keseluruhannya dari Sufyan; berkata
‘Amru, telah menceritakan kepadaku Sufyan bin Uyainah, dari Zuhri, dari Abi
Salamah, dari Abi Hurairah. Sesungguhnya
Al Aqra’ bin Habis, Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
mencium Al Hasan bin Ali, lalu berkata; "Sesungguhnya aku memiliki sepuluh
orang anak, namun aku tidak pernah mencium mereka sekali pun, maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam memandangnya dan bersabda: Barangsiapa tidak
mengasihi maka ia tidak akan dikasihi.” [12]
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَابْنُ السَّرْحِ، قَالَا: حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنِ ابْنِ عَامِرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرٍو، يَرْوِيهِ قَالَ: ابْنُ
السَّرْحِ - عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ لَمْ
يَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرِنَا فَلَيْسَ مِنَّا»
Artinya :
“Telah
menceritakan kepada kita Abu bakar bin Abi Syaibah, dan Ibnu Syarh berkata;
telah menceritakan kepada kita Sufyan, dari Ibnu Abi Najih, dari Ibnu ‘Amir,
dari Abdillah bin Umar, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Barang
siapa yang tidak menyayangi anak kecil, tidak mengetahui hak saudaranya yang
lebih besar, maka bukan termasuk golonganku”
-
HR. An-Nasa’i nomor 1868, Juz 1,
Bab Perintah untuk Ihtisab, sabar, ketika ditimpa musibah, hlm. 21 [14]
أَخْبَرَنَا
سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ، قَالَ: أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ
سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ،
قَالَ: أَرْسَلَتْ بِنْتُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِ
أَنَّ ابْنًا لِي قُبِضَ فَأْتِنَا، فَأَرْسَلَ يَقْرَأُ السَّلَامَ وَيَقُولُ:
«إِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ، وَلَهُ مَا أَعْطَى، وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَ اللَّهِ
بِأَجَلٍ مُسَمًّى، فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ»، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ تُقْسِمُ
عَلَيْهِ لَيَأْتِيَنَّهَا، فَقَامَ وَمَعَهُ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ، وَمُعَاذُ
بْنُ جَبَلٍ، وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ، وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَرِجَالٌ، فَرُفِعَ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّبِيُّ وَنَفْسُهُ
تَقَعْقَعُ، فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ، فَقَالَ سَعْدٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا
هَذَا؟ قَالَ: «هَذَا رَحْمَةٌ، يَجْعَلُهَا اللَّهُ فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ،
وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ»
Artinya :
“Telah
mengabarkan kepada kami Suwaid bin Nashr dia berkata; telah memberitakan kepada
kami 'Abdullah dari 'Ashim bin Sulaiman dari Abu 'Utsman dia berkata; telah
menceritakan kepadaku Usamah bin Zaid dia berkata; "Putri Nabi shallallahu
'alaihi wasallam mengutus seseorang kepada beliau, 'Bahwa anaku telah meninggal
dunia, maka datanglah kepada kami! ' lalu beliau mengirim seseorang untuk
mengucapkan salam dan mengatakan: " milik Allah apa yang telah ia ambil
dan miliknya apa yang telah diberikan, segala sesuatu telah ditentukan ajalnya
disisi Allah, maka hendaknya bersabar dan berharap pahala." Lalu ia
mengutus seseorang kepada beliau agar bersumpah akan mendatanginya. Kemudian
beliau bangkit dan bersamanya Sa'd bin Ubadah, Mu'adz bin Jabal, Ubay bin Ka'b,
Zaid bin Tsabit dan beberapa orang laki-laki. Lalu anak kecil itu dibawa ke
hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, jiwanya berdetak dan kedua
matanya meneteskan air mata. Kemudian Sa'd berkata; "Wahai Rasulullah, apa
ini?" beliau bersabda: "Ini adalah rahmat yang Allah tumbuhkan
didalam hati hamba-hamba-Nya, Allah mengasihi hamba-hamba-Nya yang berbelas
kasih."
3.
Kajian Konfirmatif
a)
QS. Al-Fath : 29
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ
Artinya :
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi berkasih sayang sesama mereka.”
Al-Qurtubi
menafsirkan kata ruhamaa dalam ayat tersebut adalah khabar kedua, didalamnya
juga memuat pendapat Ibnu ‘Abas yang memaparkan bahwa Ahlul Hadibiyyah
merupakan golongan orang orang yang keras terhadap kaum kafir, membuat
marah / geram orang orang kafir seperti ganasnya singa pada mangsanya.
Sedangkan sifat rahmah sendiri merupakan akhlaq Nabi Muhammad SAW dan
Al-Qurtubi menyatakan bahwa yang dapat menyerupai sifat tersebut ialah sahabat
Nabi.
Jadi,
dapat diambil kesimpulan semakin jauh dari zaman Nabi, semakin beda pula rasa
dan sifat kasih sayang yang dimiki oleh seseorang (semakin mengalami
penurunan).
b)
QS. Al Hijr : 9
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Artinya :
Ibrahim
berkata: "tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali
orang-orang yang sesat".
c)
QS. Al Baqarah : 64
ثُمَّ تَوَلَّيْتُم مِّن بَعْدِ ذَلِكَ فَلَوْلاَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَكُنتُم مِّنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya :
“Kemudian kamu
berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, Maka kalau tidak ada karunia Allah
dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang yang rugi.”
d)
QS. Ali Imran : 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ
ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى
ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya :
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Kata rahmah
dalam ayat itu, menurut kitabnya Al-Qutubi disebutkan sebagai ta’kid dari makna
asalnya. Lafadz fabima merupakan nakiroh dari jenis jarr berupa
ba’, sedangkan rahmah adalah badal darinya.
Ayat diatas
dimaksudkan untuk berperilaku lemah lembut saat berurusan dengan peperangan dan
hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan
lain-lainnya dalam keadaan tertentu. Maksudnya latar belakang munculnya
ayat ini salah satunya adalah saat terjadi perang uhud, sebagaian umat Islam telah
mencapai kesepakatan mengenai perlakuan yang lemah lembut serta untuk memaafkan
orang orang yang berkhianat (saat perebutan ghonimah)
e)
QS. Al Anbiya : 107
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya :
“dan Tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Mengenai
tafsir ayat tersebut, dalam tafsir al-Jami’ li-Ahkam al- Qur’an, Said bin
Jubair berkata, dari Abbas bahwa Nabi Muhammad SAW diturunkan ke dunia tidak
hanya sebagai rahmat bagi manusia, namun juga untuk seluruh alam. Barang siapa
yang beriman dan mempercayainya akan selamat dan merasakan kebahagiaan.
Sebaliknya, barang siapa yang menyatakan namun sebenarnya tidak beiman, maka
dia hanya akan selamat dari hujatan orang orang mengenai hal tersebut. Tetapi
tidak merasakan kesenanagan dan kepuasan atas rahmat yang disebar oleh
Rasulullah SAW.
a.
Analisis Realitas Historis
Untuk melihat realitas historis, perlu
mencocokkan dengan asbabul wurud, yaitu suatu hal yang melatarbelakangi
munculnya hadis, baik makro maupun mikro.
Menurut Imam
as-Suyuti asbabul wurud itu dikategorikan menjadi tiga macam, 1). Sebab berupa
ayat al-Qur’an. Maksudnya al-Qur’an menjadi penyebab Nabi mengeluarkan
sabdanya. 2). Sebab yang berupa hadist. Ketika ada hadist, namun sebagian
sahabat merasa kesulitan memahaminya maka kemudian muncul hadist lain yang
memberikan penjelasan terhadap hadist tersebut. 3). Sebab yang berupa sesuatu
yang berkaitan dengan pendengar (kalangan sahabat)[15].
Secara
kategoris, menurut Abdul Mustaqim terdapat empat faktor yang melatarbelakangi
munculnya sabda atau tindakan Nabi. Pertama, faktor yang muncul dari
pribadi Nabi SAW sebagai pembicara. Kedua, faktor yang berkaitan dengan kondisi
orang yang diajak berbicara oleh Nabi SAW.
Ketiga, aspek yang berkaitan dengan waktu atau masa ketika Nabi
menyampaikan sabdanya. Keempat,
aspek yang berkaitan dengan tempat atau kondisi geografis ketika nabi
menyampaikan hadist.
Ada beberapa
cara untuk mengetahui konteks historis sebuah hadis yang ditawarkan oleh Abdul
Mustaqim. Pertama, melalui riwayat teks hadist itu sendiri. Kedua,
melalui perkataan sahabat atau informasi sahabat. Ketiga, melalui
ijtihad, hal ini dilakukan jika tidak menemukan riwayat yang jelas mengenai
asbabul wurud. Ijtihad ini dilakukan dengan cara mengumpulkan hadist-hadist
yang setema atau sejarah sehingga mampu menghubungkan antara ide hadist dengan
konteks munculnya hadist.[16]
Dalam syarah hadis ini dipaparkan bahwa penerapan kasih sayang
dilakukan terhadap semua pihak, semua mahkluk, baik yang mukmin, kafir, maupun
hewan dan tumbuhan dan lainnya dengan cara bergaul (jika pada hewan
memperlakukan dan merawatnya dengan baik). [17]
Hadis ini
termasuk salah satu hadis yang menyebutkan asbabul wurud makronya secara
eksplisit (tertuang dalam redaksi teks hadis). Seperti yang telah disebutkan
diatas, bahwa hadis saling menyayangi ini muncul ketika Rasulullah SAW mencium
tangan cucunya, Hasan Husein ada sahabat yang mengetahuinya, yaitu Al Aqra' bin
Habis At Tamimi hingga dia menyatakan pada Rasul bahwa dia memiliki 10 anak,
tapi tak satupun diantara mereka yang diperlakukan seperti itu. Redaksi lain mengatakan
bahwa Al Aqra' bin Habis At Tamimi sedang duduk bersama Rasul (sedang menimang
cucunya / Hasan Husein yang masih kecil), saampai Rasul bersabda “Barangsiapa
tidak mengasihi maka ia tidak akan dikasihi.”[18]
b.
Analisis Generalisasi
Inti dan
esensi dari hadis “Barang siapa yang tidak menyayangi maka dia tidak akan
disayangi” pada hakikatnya tidak hanya ditujukan pada makna kasih sayang secara
khusus saja. Namun, kasih sayang diberikan oleh siapa saja, kepada siapa saja,
kapan dan dimanapun. Tidak terkait ruang dan waktu. Dalam redaksi hadis, kasih
sayang dapat berupa penghormatan (mengetahui hak) seseorang yang lebih tua
serta memberikan teladan dan perlakuan yang lembut pada seseorang yang dirasa
lebih muda.
Nabi juga
tidak menyebutkan secara eksplisit terkait hadis kasih sayang tersebut. Beliau
mencontohkan dengan perlakuannya yang ditujukan kepada cucu cucu beliau. Selain
itu, akhlaq Nabi SAW menyiratkan bahwa kasih sayang bagi umat Islam bagi orang
orang yang beriman tidak melulu ditujukan kepada sesamanya saja, namun juga diberikan
kepada orang kafir, hewan, tumbuhan, dan sebagainya.
C.
Kritik Praksis
Seperti yang kita ketahui seiring
berkembannya zaman, etika dan moral semakin tak di indahkan lagi. Menjadikan
pergaulan di lingkungan semakin tidak sehat. Orang semakin individual dalam
bersikap dan berkomunikasi dengan
sesama, apalagi cara memperlakukan hewan maupun tumbuhan. Hal tersebut
berimplikasi pada rasa kemanusiaan yang semakin tergerus. Perilaku lemah lembut
dan kasih sayang seakan tertutup oleh semua itu. Berbicara mengenai kasih
sayang tentu tidak lepas dengan hal-hal yang berlawanan dengan hal tersebut.
Penulis mencoba mengaitkan dengan kasus kekerasan.
Dalam masyarakat umumnya, tidak
sedikit pasangan orang tua yang kurang memperhatikan, mencukupi kebutuhan
psikis anak (kurang respect dalam memberi rasa belas kasih) sehingga anaknya
kurang terurus. Kebanyakan mereka memilki wawasan kurang terhadap pendidikan
keluarga. Pada akhirnya lingkungan yang mendominasi tumbuh kembangnya anak
tersebut. Bahkan di era modern ini, orang tidak mau susah payah hingga sang
anak diberi mainan (baca: gadget) untuk menemani hari-harinya. Tanpa berpikir
dampak kedepannya, juga tidak ada pengotrolan sama sekali. Penelitan yang
dilakukan oleh sebuah lembaga riset Childwise mengungkapkan bahwa anak masa
mini rata-rata menghabiskan waktu 6,5 jam per hari untuk beraktivitas dengan
gadget nya.[19] Artinya,
semakin banyak waktu seorang dihabiskan dengan gadget nya kemungkinan besar
mempengaruihi sikap anak terhadap lingkungan bahkan orang tuanya sendiri
(sangat emosional) seolah tidak ada pengajaran mengenai etika berlemah lembut
dan kasih sayang.
Berbeda lagi dengan kasus yang
terjadi dalam dunia pendidikan. Mulai dari bullying, kekerasan terhadap
sesama siswa (baca: tawuran) dan sebagainya. Penulis mengamati hal tersebut
terjadi dikarenakan beberapa faktor. Diantaranya 1) Kurangnya pengertian dan
perlakuan kasih sayang dari rumah (faktor bawaan) sehingga berpengaruh pada
perilaku siswa di sekolahnya 2) Berawal dari bullying (sikap penyerangan
kepada seseorang baik secara fisik maupun psikologis) berdampak pada tawuran
dan kekerasan lainnya yang sifatnya merusak dan menyakiti 3) Kompetensi dalam
mengendalikan emosi masih minim. Dalam penelitian Elfida, menemukan bahwa
kemampuan mengontrol diri mempengaruhi perilaku seseorang untuk berbuat anarki,
kekerasan atau tindakan penyimpangan. Artinya, hal tersebut benar-benar
menunjukkan secara kuat bahwa mereka yang memiliki pengendalian emosi lebih
bisa mengarahkan perilakunya kepada hal-hal positif, tidak ada kecenderungan
untuk melakukan tindakan kekerasan pada seseorang ataupun lingkungan. Namun
sebaliknya bahwa mereka yang tidak memiliki pengendalian emosi yang baik akan
lebih condong berbuat kekerasan atau penyimpangan pada lingkungannya.[20]
Kesimpulan
Dari pemaparan
tersebut, dapat dipahami bahwa hadis ini masih relevan dan selalu pantas
diaplikasikan hingga sampai kapanpun. Bahkan hadis saling menyayangi penting
untuk sekedar mengingatkan, pada hakikatnya Rasulullah SAW mengajarkan untuk
berlaku lemah lembut dan memilki rasa kasih sayang kepada siapapun, dan dalam
keadaan apapun. Ketika hadis ini sudah diaplikasikan dan terealisasi dalam
kehidupan sehari hari, secara tidak langsung umat Islam telah memperkuat dan
mempertebal iman mereka, karena mempunyai rasa kasih rasa yang merupakan sebagian
dari keimanan kepada-Nya maupun kepada rasul-Nya.
Daftar Pustaka
Barbou. IAN
G, 2006, Isu dalam Sains dan Agama, (Yogyakarta:
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga)
Al-Maliki. Muhammad
Alawi, 2009, Ilmu Ushul Hadits,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Syamsuddin. Arif,
2008, Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press)
Khon. Abdul
Majid, 2011, Pemikiran Modern dalam
Sunah: Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarata: Kencana)
Sumbulah. Umi,
2008, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN-Malang
Press)
Software Lidwa
Depdikbud, 1998,
KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka)
Mandzur. Ibnu,
1993, Lisanul ‘Arob, (Beirut: Daar Ihya at-Turats al-Arabi)
al-Asfahani. Ar-Raghib,
2008, Mu’jam al-Mufrodat li al-Fazh al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr)
Hilmy. Masdar,
1995, Akhlaq Nabi Muhammad SAW, (Bandung: Fema Risalalah Press
Skripsi Maya
Agustina, Penanaman Nilai-nilai kesabaran dan Kasih Sayan pada Lansia di
Pantai Wreda Budhi Dharma, 2008, Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Bukhori. Imam, Shahih Bukhori, (Beirut:
Dar al-Kutub) dalam Software Maktabah Syamilah
Abu Dawud. Imam, Sunan Abu Dawud,
(Beirut: Dar al-Kutub) dalam Software Maktabah Syamilah
Nasa’i. Imam, Sunan An-Nasa’i, (Beirut:
Dar al-Kutub) dalam Software Maktabah Syamilah
Husin
Munawwar. Sa’id Agil., Mustaqim. Abdul, 2001,
Asbabul Wurud, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Baharuddin. Mohammad
Achwan, 2011, Hadist-Hadist Analogi Hari Kebangkitan dengan Musim Semi,
Jurusan Tafsir Hadist, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga)
Syarah Sahih
Bukhori li Ibnu Bathal
Ibny Hajar
al-Asqalani, 2005, Fathul Baribi Syarah Shahih al-Bukhori, (Riyadh: Darr
al-Taybah)
[1]
IAN G. Barbour, Isu dalam Sains dan Agama, terj,
(Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 306.
[2] Lihat penjelasan tentang hadits Mauquf
(hadits yang disandarkan kepada Sahabat), Marfu’ (hadits yang disandarkan
kepada Nabi), dan Maqthu (hadits yang disandarkan kepada Tabi’in) Muhammad
Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits, terj, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), hlm. 67-74.
[3]
Arif Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hlm. 27
[4] Baca penjelasan Ahmad Amin tentang sejarah
kemunculan Hadits dalam Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah:
Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarata: Kencana, 2011), hlm, 39-40. Selain itu,
lihat juga persoalan munculnya hadits maudhu’ dalam –misalnya- Umi
Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang:
UIN-Malang Press, 2008), hlm. 6-10.
[5] Software Lidwa
[6] Depdikbud, KBBI 1998, (Jakarta: Balai
Pustaka)
[7] Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arob, (Beirut:
Daar Ihya at-Turats al-Arabi, 1993)
[8]
Ar-Raghib al-Asfani, Mu’jam al-Mufrodat li
al-Fazh al-Qur’an. (Beirut: Dar al-Fikr, 2008)
[9] Prof. Dr. KH. Masdar Hilmy, Akhlaq Nabi
Muhammad SAW, (Bandung: Fema Risalalah Press, 1995), hlm. 275
[10] Skripsi Maya Agustina, Penanaman
Nilai-nilai kesabaran dan Kasih Sayan pada Lansia di Pantai Wreda Budhi Dharma,
2008, Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[11] Software Maktabah Syamilah, Imam Bukhori, Shahih
Bukhori, Juz 8 (Beirut: Dar al-Kutub) hlm. 7
[12]
Software Maktabah Syamilah, Imam Muslim, Shahih
Muslim, Juz 4 (Beirut: Dar al-Kutub) hlm. 1808
[13]
Software Maktabah Syamilah, Imam Abu Dawud, Sunan
Abu Dawud, Juz 4 (Beirut: Dar al-Kutub) hlm. 286
[14]
Software Maktabah Syamilah, Imam An-Nasa’i, Sunan
An-Nasa’i, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub) hlm. 21
[15] Sa’id Agil Husin Munawwar, Abdul Mustaqim, Asbabul
Wurud, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Hlm. 9-12
[16] Mohammad Achwan Baharuddin, Hadist-Hadist
Analogi Hari Kebangkitan dengan Musim Semi, Jurusan Tafsir Hadist, Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Yogyakarta, 2011, hlm 73-74
[17] Syarah Sahih Bukhori li Ibnu Bathal
[18] Fathul Baari, juz 10, hlm. 429-430
[19]
Htm. Tribun Kaltim, diakses pada tanggal 4 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar