KITAB TAFSIR KARYA AL-SUYUTHI
A. Biografi Al-Suyuthi
1.
Nasab
Nama lengkap Imam al-Suyuthi adalah Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad
bin Sabiqudin bin Al-Fakhir Ustman bin Nashiruddin Muhammad bin Asy-Syaikh
Hammamudin Al-Hamman Al-Khudhairi As-Suyuthi. Beliau dijuluki Jalaluddin oleh ayahnya, beliau
juga dikenal dengan nama Ibnu al-Kutub. Nama al-Khudhairi dinisbatkan kepada Suatu daerah di Baghdad, yaitu al-Khudhairi. Adapun penisbatan kata al-Suyuthi atau al-Asuyuthi dibelakang namanya yang berarti kelompok ahli ilmu (sebelum Jalal al-Din
al-Suyuthi) diperuntukkan agar kelak beliau juga menjadi seorang ahli ilmu.
Beliau lahir di Kairo setelah Maghrib malam Ahad
1 Rajab 849 H/ 3 Oktober 1449 M. Beliau tumbuh dan berkembang dalam keadaan
yatim. Ayahnya (Abu al-Manaqib Kamal al-Din Abu Bakr bin Muhammad) meninggal
dunia pada saat Jalal al-Din berumur lima tahun tujuh bulan dan telah hafal al-Qur’an
sampai surat al-Tahrim. Yang mengasuh dan membimbing beliau setelah
ayahnya wafat, diantaranya adalah seorang ulama fiqh bermadzhab Hanafi, yaitu
Kamal al-Din bin al-Himam, seorang ulama terkemuka dan sahabat dari ayahnya. Beliau berasal dari keturunan bangsa Persia yang bermukim di Baghdad yang
kemudian pindah ke Mesir pasca keruntuhan Baghdad (656 H) ke tangan Bangsa
Mongol.
Beliau
meninggal pada hari kamis, 9 Jumadil Awwal 911 H. Sebelumnya, beliau menderita
sakit selama tujuh hari, dan akhirnya wafat pada umur 61 tahun. Di kuburkan di
pemakaman Hush Qausun di Kairo Mesir.[1]
2.
Perjalanan
intelektual
Sesudah
menunaikan ibadah haji ke Mekah, ia kembali ke Kairo untuk mengabdikan ilmu
yang ia terima sebelumnya. Semula ia mengkhususkan diri untuk mengajar
masalah-masalah fiqh, namun atas kecermerlangannya dalam mengajar, ia diangkat
menjadi ustadz di al-Jami’ al-Shaikhuniy, lalu pindah mengajar ke
al-Baibarsiyyah dan menjadi shaikh di sana. Akan tetapi karena terdapat
perselisihan, khususnya antara para penguasa dengan orang-orang sufi,
bahkan para penguasa hampir membunuh
mereka, maka al-Suyuthi pergi dan meninggalkan jabatannya di Baibarsiyyah, dan
pada waktu itu umur beliau mendekati 40 tahun. Kemudian pada saat umur 40,
beliau mengasingkan diri, menggunakan seluruh waktunya untuk beribadah, dan
berpaling dari dunia dan keluarganya, dan memulai untuk menulis karya-karyanya,
ia tidak lagi mengajar dan memberi fatwa dan karyanya ini dikenal dengan “al-tanfis”
Ia menetap di Rawdah al-Miqyas di Sungai Nil sampai ia meninggal dunia.
3. Karya-karya
Imam
as-Suyuthi termasuk ulama yang produktif dalam semua aspek keilmuwan pada
masanya diantaranya, ilmu tafsir, hadis, fiqh, sejarah, penerjemahan, bidang
linguistik dan tata bahasa (nahwu).
a.
Bidang Tafsir :
Turjuman
al-Quran fi Tafsir al-Musnad, al-Durr al-Manthur fi al-tafsir bi al-Ma’thur,
Mufhamat al-Aqran fi Mubhamat al-Quran, Lubab al-Nuqul fi asbab al-Nuzul,
Tafsir Jalalain, Majma’ al-Bahrain wa Matla’ al Badrayn, al-Takhyir fi ‘Ulum
at-Tafsir, hingga di perluaskan dengan judul al-Itqan
fi ‘Ulum al-Quran.
b.
Bidang
Hadis dan Ilmu Hadis :
Jami al-Masanid, al-Jami’ al-Saghir
fi al-Hadis al-Bashir al-Nadhir, Minhaj al-‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al ‘af’al
Kanz al-‘Ummal fi thubut Sunan al-Aqwal wa al-‘af’al, al-Khasais al-Nabawiyah,
al-Ta’qabat al-Maujudat.
c.
Bidang
Bahasa Arab :
Al-Ashbah wa al-Nazair fi al-Nahw, al-Ifsah fi asmai al-nikah, al-Iqtirah
fi usul al-nahw wa jadalih, al-Alfiyah fi al-nahw wa al-tasrif wa al-khatt,
al-ilma’ fi al-itba’,al-Tadhkirah fi al-arabiyyah.
d.
Bidang Sejarah :
Bada’i’ al-Zuhur fi Waqa’i’ al-Duhur, Tarikh al-Khulafa, al-Ajwibah
al-Zakiyyah an al-Alghar al-Sabakiyyah, ahasin al-Aqbas fi mahasin al-Iqtibas,
dan lain-lain[2].
B. Tafsir Al-Durr Al-Mantsur fi Al-Tafsir
Al-Ma’tsur
1. Metode Tafsir al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al- Ma’tsur
Al-Suyuti
adalah seorang ulama yang produktif, beliau banyak menulis dari berbagai
disiplin ilmu, termasuk di dalamnya tafsir seperti yang penulis ungkapkan di
atas. Sebelum menulis tafsir al-Durr al-Mantsur, beliau terlebih dahulu menulis
beberapa kitab tafsir: pertama, tafsir Jalalain, merupakan salah satu
kitab tafsir yang paling masyhur di kalangan ummat Islam, khususnya pesantren.
Kedua, tafsir Majma’ al-Bahraini wa Matla’ al-Badraini, yaitu kitab
yang mencakup di dalamnya tafsir bi al-ma’tsur, ikhtilaf pendapat yang ditulis oleh
ulama terdahulu, istinbat, balaghoh dan bahasa, dll. Ketiga, Tarjuman
al-Qur’an, yaitu tafsir yang bersumber dari Rasulullah saw, dan sahabat
yang beliau nukil dari kitab-kitab hadis. Di dalam kitab ini terdapat kurang lebih
10.000 hadis, yang sebagian ada yang marfu’ maupun mauquf.
Kemudian beliau bermaksud meringkas hadis-hadis tersebut dengan menyebutkan
matannya saja tanpa menyertakan sanad yang panjang, ringkasan ini yang kemudian
diberi nama al-Durr al-Mantsur.
2. Sumber penafsiran.
Imam
As-Suyuthi menulis tafsir ini dengan mengutip riwayat-riwayat dari Al-Bukhori,
Muslim, Al-Nasa’i, At-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Jarir, Ibnu Hatim, Imam
al-Shafi’i, dan lain-lain. Namun beliau tidak memilah antara riwayat shahih dan dhaif bahkan mencampur
keduanya. Padahal beliau terkenal sebagai ahli riwayat dan sangat memahami
seluk beluk ilmu hadis. Sehingga terkesan aneh bila kemampuan tersebut
tidak dioptimalkan dalam tafsir ini. Namun berbeda dengan kitab tafsir lainnya,
tafsir ini merupakan satu-satunya tafsir bil ma’tsur yang hanya memuat hadis-hadis atau periwayatan saja.
Dengan
demikian dapat dikatakan penafsiran al-Suyuti bersumber dari hadis nabi,
pendapat sahabat dan tabi’in yang beliau nukil dari berbagai kitab hadis,
tafsir, ulum al-Qur’an, fikih, sejarah dan teologi yang beliau himpun untuk
menafsirkan al-Qur’an. Penafsiran semacam ini dikenal dengan tafsir bi
al-ma’tsur.
Ada yang
berpendapat bahwa tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsirnya yang pertama,
Turjuman al-Quran. Dengan maksud untuk memudahkan bagi para pemerhati dan
pembaca tafsir agar lebih leluasa untuk mendapatkan tafsirannya dari hadis dan
perkataan para sahabat walau tanpa menyebutkan sanadnya yang lengkap, hanya
menyebutkan matan dan mukharrij-nya saja. Oleh karena demikian, untuk
mendapatkan pembacaan secara komprehensif, pembaca dituntut untuk kembali pada
kitab asalnya, yaitu Turjuman al-Quran.
3. Penjelasan Tafsir Al-Durr Al-Mantsur fi Al-Tafsir Al-Ma’tsur
Dalam
tafsir al-Durr al-Manthur, al-Suyuti memulai pada setiap surat dengan
menyebutkan namanya, menyebutkan apakah termasuk Makki atau Madani, kemudian
disebutkan jumlah ayatnya, perbedaan qiraah-nya, menulis satu ayat atau
beberapa ayat kemudian menukil beberapa riwayat yang berkaitan dengan satu ayat
atau beberapa ayat tersebut. Hal ini dapat dilihat ketika al-Suyuti menafsirkan
surat al-Fatihah, beliau menukil riwayat dari Abdu bin Humaid, Muhammad bin Nasr
al-Marwazi, Ibnu al-Anbari, al-Bukhari, dan lain-lain. Dalam riwayat tersebut
bahwa surat ini disebut fatihah al-kitab, dalam riwayat lain umm al-kitab, al-Qur’an al-azim, dan al-sab’
al-matsaniy. Begitu juga turunnya surat ini disebutkan bahwa surat ini
turun di Madinah, dan dalam riwayat lain disebutkan di Makkah. Disebutkan dalam
riwayat bahwa surat ini terdiri dari 6 ayat, kemudian dalam riwayat lain
disebutkan 7 ayat. Penafsiran surat Al Fatihah ayat 4, beliau menukil sebuah
riwayat :
4.
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (٤)
Yang menguasai di hari
Pembalasan.
Ayat di atas dimulai
dengan menukil riwayat dari al-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu al-Anbari tentang
perbedaan qira’at, disebutkan dalam riwayat tersebut الدِّينِ مَلِكِ يَوْم tanpa
alif setelah huruf mim. Dalam riwayat lain seperti Imam Ahmad,
al-Tirmidzi, Abu Daud, Sa’id bin Mansur, Abdu a-Razzaq, al-Hakim, disebutkan مَالِكِ يَوْمالدِّينِ dengan menggunakan
huruf alif setelah huruf mim, kemudian
setelah itu beliau menjelaskan tafsir ayat dengan menukil riwayat-riwayat dari
al-Tabari, al-Hakim, Abu Daud, al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Abi Hatim, al-Tabrani,
dan Abdu al-Razzaq. Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa يَوْمِ الدِّينِ diartikan
sebagai hari pembalasan, hari kiamat, hari dimana Allah akan membalas segala
amal perbuatan manusia.
Al-Suyuti
dalam menulis tafsir al-Durr al-Mantsur hanya menyertakan hadis atau
periwayatan saja. Dengan demikian luas penjelasannya juga tergantung pada
jumlah riwayat yang disebutkan al-Suyuti tentang ayat al-Qur’an. Jika didapati
banyak riwayat maka beliau juga mencantumkan semua riwayat tersebut.[3] Begitu pula
sebaliknya, jika didapati hanya dua atau riwayat maka hanya riwayat tersebut
yang dicantumkan dalam tafsirnya, hal ini dapat dilihat dari penafsiran beliau
dalam surat al-Baqarah ayat 211:
سَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَمْ آتَيْنَاهُمْ مِنْ آيَةٍ
بَيِّنَةٍ وَمَنْ يُبَدِّلْ نِعْمَةَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُ فَإِنَّ
اللَّه شَدِيدُالْعِقَابِ (٢١١)َ
Tanyakanlah kepada Bani Israil: "Berapa banyaknya tanda-tanda kebenaran
yang nyata, yang telah Kami berikan kepada mereka, dan Barangsiapa yang menukar
nikmat Allah setelah datang nikmat itu kepadanya, Maka Sesungguhnya Allah
sangat keras siksa-Nya.”
Dalam menafsirkan ayat
di atas beliau hanya mencantumkan dua riwayat saja, pertama dari Abdu bin
Humaid dan al-Tabari, dan kedua dari riwayat Ibnu Hatim:
أخرج عَبد
بن حُمَيد ، وَابن جَرِير عن مجاهد {سل بني إسرائيل} قال : هم اليهود {كم آتيناهم
من آية بينة} ما ذكر الله في القرآن وما لم يذكر {ومن يبدل نعمة الله} قال : يكفر
بها.
وأخرج ابن
أبي حاتم عن أبي العالية في الآية قال : آتاهم الله آيات بينات عصا موسى ويده
وأقطعهم البحر وأغرق عدوهم وهم ينظرون وظلل عليهم الغمام وأنزل عليهم المن والسلوى
{ومن يبدل نعمة الله} يقول : من يكفر بنعمة الله.
Dari keterangan diatas, yang mana tafsir ini berisi
periwayatan mulai menerangkan nama
surat, tempat turunnya ayat, jumlah ayat dalam surat, sampai perbedaan qiraat
dan riwayat tentang tafsir ayat-, begitu juga ketika melihat tafsir ini yang
terdiri dari tujuh belas jilid, maka keluasan penjelasan tafsir ini masuk dalam
kategori tafsili.
4.
Corak
Penafsiran
Adapun
dalam menulis tafsir al-Durr al-Mantsur, al-Suyuti menyusunnya berdasarkan
urutan ayat dan surat dalam mushaf ‘Utsmani, yaitu berawal dari surat al-Fatihah
dan berakhir di surat al-Nas. Ia menafsirkan satu ayat, dua ayat, atau tiga
ayat secara berurutan berdasarkan urutan ayat tersebut dalam sebuah surat. Oleh
karena itu, tafsir ini termasuk tafsir
tahlili.
5. Aliran tafsirnya
Sangat
sulit untuk menelusuri aliran atau kecenderungan tafsir al-Durr al-Mantsur,
karena dalam penafsirannya, al-Suyuti hanya menampilkan atau menukil riwayat-
riwayat dari hadith Nabi, atsar
sahabat maupun tabi’in yang beliau dapati dalam kitab-kitab karangan
ulama sebelum beliau, apalagi dalam riwayat tersebut beliau tidak mengkritisi
dan memberikan penilaian atau sikap dari riwayat tersebut yang paling rajih. Akan tetapi jika melihat cara beliau
menafsirkan ayat dengan hadis atau
riwayat sahabat dan tabi’in dapat dipahami bahwa aliran tafsir ini lebih kepada
teologi, karena cenderung mewakili kelompok sunni, terbukti dengan
referensi-referensi Sunni yang ia gunakan, sehingga condong kepada tafsir i’tiqadi.
Dan apabila dilihat dalam menafsirkan ayat-ayat al-ahkam, terdapat
kecenderungan lugawi dan fiqhi, akan tetapi tidak begitu dominan.
Sebagaimana contoh ketika menafsirkan surat al-Nisa’ ayat 43:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ
الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
“Dan jika kamu sakit
atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah
Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”
Dalam ayat
ini al-Suyuti memaparkan banyak riwayat dalam menjelaskan dan mengartikan kata أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ dengan makna meraba istri dengan
tangan, menyentuh, dan dalam riwayat lain berarti jima’. Kemudian
dijelaskan mengenai tayammum dan kaifiyat-nya. Oleh karena itu, penulis
lebih cenderung menyatakan bahwa tafsir ini merupakan tafsir teologi yang
mewakili teologi sunni jika dilihat dari cara penafsiran yang beliau gunakan dalam
mengungkapkan hads-hadis Nabi, perkataan para sahabat dan tabi’in. Sementara
jika dilihat dari cara beliau menafsirkan ayat-ayat ahkam, beliau lebih
cenderung “bermain” dalam ruang lingkup kata-kata (bahasa) dan “asyik”
memetakan masalah fiqh (lughawi dan fiqhi).
6. Komentar dan kritik terhadap tafsir al-Durr al-Mantsur.
Muhammad
Husein al-Dhahabi yang menyatakan bahwa kitab tafsir ini sungguh menakjubkan,
kitab tafsir yang dalam penyusunanya tiada duanya, mencukupkan penafsiran bi
al-ma’tsur saja, tanpa mencampurkan pendapat (al-ra’yu) dalam
penafsirannya. Tidak didapati tafsir seperti ini pada kitab-kitab tafsir
sebelumnya yang tidak hanya memperbanyak penukilan dan penyandaran riwayat,
akan tetapi juga memberikan porsi kepada akal untuk berperan dalam tafsir ayat
meskipun hanya sedikit.[4]
Meskipun
demikian, sangat disayangkan bahwa tafsir bi al-ma’tsur ini hanya
mengumpulkan riwayat-riwayat, termasuk juga cerita-cerita isra’iliyyat
para ulama salaf tanpa memberi penilaian terhadapnya; tidak memberi
penilaian adil (ta’dil), penilaian cacat (jarh), penilaian lemah
(tad’if), dan penilaian sahih (sahih), kecuali hanya pada
kualitas sebagian riwayat, itu pun jarang sekali. Hal inilah yang mengurangi
kualitas dari tafsir al-Durr al-Mantsur itu sendiri, padahal pada kenyataannya
al-Suyuti dikenal sebagai orang ahli dalam bidang riwayat dan hadis.
Tafsir ini
merupakan kompilasi atau kumpulan riwayat yang al-Suyuti dapatkan dari berbagai
kitab hadith, tafsir, sejarah, dan kitab-kitab lain dari ulama salaf. Bukan
orisinil dari pendapat beliau, karena beliau tidak menggunakan pendapatnya
kecuali hanya sedikit penilaian terhadap sebagian kecil riwayat dalam
tafsirnya.
7. Keistimewaan dan kelemahan tafsir al-Durr al-Mantsur.
Tafsir ini
merupakan satu-satunya tafsir bi al-ma’tsur yang hanya menggunakan hadis
Nabi, atsar sahabat dan tabi’in
tanpa mengungkapkan pendapat ulama-ulama salaf maupun dari al-Suyuti sendiri.
Al-Suyuti menukil banyak sekali riwayat dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an.
Sehingga memberikan kebebasan kepada pembaca tafsirnya untuk memilih riwayat
diantara tafsir tersebut.
Apabila
dibandingkan dengan tafsir jalalain yang menggunakan metode bi
al-ra’yi dari segi sumber penafsirannya maupun keluasan penjelasannya yang ijmali,
maka dapat diketahui perbedaan yang sangat mencolok diantara keduanya. Perbedaannya
Tarjuman al-Qur’an, yaitu bahwa al-Durr al-Mantsur
merupakan ringkasannya, yang mana al-Suyuti menghilangkan sanad yang panjang
didalamnya untuk menghindari kejenuhan dalam membaca tafsirnya.
Kitab tafsir ini merupakan karya manusia yang
dapat dinilai. Di satu sisi karya tersebut mempunyai keistimewaan dan dalam
satu waktu pula punya kelemahan yang dapat dikritisi secara terbuka. Antara
salah satu keistimewaan karya al-Suyuti ini adalah:
1. Tidak sedikit para ulama yang menyaksikan bahwa karya ini merupakan
karya yang mengagumkan dalam penyusunannya, di mana al-Suyuti mengungkapkan
yang disepakati oleh para ulama terdahulu dari hadis-hadis nabi, atsar sahabat
dan tabi’in, seperti Ibnu Jarir, Abd bin Humaid, Waki’ bin Jarrah, Ibnu Hatim,
Ibnu Mundzir, Ibnu Murdawaih dan Thu’alabi.
2. Mengutip dan mengumpulkan dari kitab asal
sekitar kurang lebih empat ratus kitab ,
mulai dari kitab tafsir klasik hingga yang modern, yang semasa dengan beliau.
Sebagaimana beliau mengutip dari para kitab tafsir pendahulunya, abad kedua,
seperti tafsirnya Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah dan Abdul Malik bin Abdul
‘Aziz bin Juraij, sampai pada abad ke sembilan dari para guru-gurunya, seperti
Ibnu Hajar al-‘Asqalani dll.
3. Tafsir ini terbilang paling banyak menggunakan tafsir bi al-ma’tsur
dengan berpegang teguh pada hadis-hadis Nabi dan atsar. Dalam penukilan
riwayatnya, beliau tidak mencampuradukkan dengan pendapat akal, sehingga
pemetaan dan pengungkapannya secara keseluruhan dalam tafsir ini adalah tafsir
bi al-ma’thur.
4. Di akhir karyanya ini, al-Suyuti menuliskan doa khatmul qur’an,
kemudian diikuti penukilan yang panjang dari awal kitab, yaitu “asbab al-Nuzul”
karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-‘Ujab fi Bayan al-Asbab”, berkomentar
tentang tafsirnya al-Tabari, Ibnu Mundzir, Ibnu Hatim, Abd bin Humaid, kemudian
berkomentar tentang para tabi’in dari murid-muridnya Ibnu ‘Abbas dengan
menjelaskan yang siqat dan da’if, kemudian berkomentar tentang tafsir
yang diriwayatkan oleh Qatadah, tafsir Rabi’ bin Anas, tafsirnya Muqatil bin
Hayyan, tafsirnya Zaid bin Aslam, tafsirnya Muqatil bin Sulaiman, tafsirnya
Yahya bin Sallam, tafsirnya Sunaid, tafsir yang dikumpulkan oleh Musa bin Abdurrahman
al-Thaqafi, al-Sun’ani.[5]
Adapun kelemahan dalam karya ini, ialah:
1. Menyebutkan ayat-ayat al-Quran tanpa nomor, sebagaimana kadang juga beliau meninggalkan sebagian tafsirannya.
2. Banyak memunculkan sesuatu yang tidak ada
hubungannya dengan tafsir, seperti hadith yang berkaitan dengan cobaan Nabi
Ibrahim, dan sifat-sifat Hajar Aswad dan tempatnya dll.
3. Dalam karyanya ini beliau sedikit sekali mengkritik riwayat-riwayat yang
dikutipnya meskipun beliau merupakan pakar dan ahli dalam bidang hadith dengan
keluasan ilmunya, baik dari segi dirayah maupun riwayah, akan
tetapi dalam karyanya ini banyak ditemukan periwayatan yang munkar, dan
cerita-cerita israiliyat, al-‘Ajaib, cerita-cerita aneh yang seyogyanya
dibersihkan dari tafsir al-Quran.
4. Beliau menisbatkan bacaan qira’atnya pada sahabat atau kepada orang yang
meriwayatkannya tanpa menjelaskan apakah bacaan jumhur, mutawatir atau tidak,
bahkan sahih dan shadh-nya
[2]
Jalal al-din al-Suyuti, al-Dur
al-Mantsur Fi Tafsir bi al-Ma’tsur (Kairo: Markaz li al-Buhuth wa al-Dirasat
al-Arabiyyah al-Islamiyyah,1424 H), jilid 1 hal 35-54.
[3]
Dalam hal ini sebagaimana
pada contoh sebelumnya pada surat al-Fatihah ayat 4, dalam menafsirkan ayat
tersebut dipaparkan lebih dari dua puluh riwayat.
[4]
Muhammad Husein al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2000 M) hal 181.
[5]
Muhammad Husein al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2000 M) hal 181.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar