Sabtu, 28 Oktober 2017

AL-DURR AL-MANTSUR FI AL-TAFSIR AL-MA’TSUR


KITAB TAFSIR KARYA AL-SUYUTHI
A.  Biografi Al-Suyuthi
1.    Nasab
Nama lengkap Imam al-Suyuthi adalah Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad bin Sabiqudin bin Al-Fakhir Ustman bin Nashiruddin Muhammad bin Asy-Syaikh Hammamudin Al-Hamman Al-Khudhairi As-Suyuthi. Beliau dijuluki Jalaluddin oleh ayahnya, beliau juga dikenal dengan nama Ibnu al-Kutub. Nama al-Khudhairi dinisbatkan kepada Suatu daerah di Baghdad, yaitu al-Khudhairi. Adapun penisbatan kata al-Suyuthi atau al-Asuyuthi dibelakang namanya yang berarti kelompok ahli ilmu (sebelum Jalal al-Din al-Suyuthi) diperuntukkan agar kelak beliau juga menjadi seorang ahli ilmu.
Beliau lahir di Kairo setelah Maghrib malam Ahad 1 Rajab 849 H/ 3 Oktober 1449 M. Beliau tumbuh dan berkembang dalam keadaan yatim. Ayahnya (Abu al-Manaqib Kamal al-Din Abu Bakr bin Muhammad) meninggal dunia pada saat Jalal al-Din berumur lima tahun tujuh bulan dan telah hafal al-Qur’an sampai surat al-Tahrim. Yang mengasuh dan membimbing beliau setelah ayahnya wafat, diantaranya adalah seorang ulama fiqh bermadzhab Hanafi, yaitu Kamal al-Din bin al-Himam, seorang ulama terkemuka dan sahabat dari ayahnya. Beliau berasal dari keturunan bangsa Persia yang bermukim di Baghdad yang kemudian pindah ke Mesir pasca keruntuhan Baghdad (656 H) ke tangan Bangsa Mongol.
Beliau meninggal pada hari kamis, 9 Jumadil Awwal 911 H. Sebelumnya, beliau menderita sakit selama tujuh hari, dan akhirnya wafat pada umur 61 tahun. Di kuburkan di pemakaman Hush Qausun di Kairo Mesir.[1]
2.    Perjalanan intelektual
Sesudah menunaikan ibadah haji ke Mekah, ia kembali ke Kairo untuk mengabdikan ilmu yang ia terima sebelumnya. Semula ia mengkhususkan diri untuk mengajar masalah-masalah fiqh, namun atas kecermerlangannya dalam mengajar, ia diangkat menjadi ustadz di al-Jami’ al-Shaikhuniy, lalu pindah mengajar ke al-Baibarsiyyah dan menjadi shaikh di sana. Akan tetapi karena terdapat perselisihan, khususnya antara para penguasa dengan orang-orang sufi, bahkan  para penguasa hampir membunuh mereka, maka al-Suyuthi pergi dan meninggalkan jabatannya di Baibarsiyyah, dan pada waktu itu umur beliau mendekati 40 tahun. Kemudian pada saat umur 40, beliau mengasingkan diri, menggunakan seluruh waktunya untuk beribadah, dan berpaling dari dunia dan keluarganya, dan memulai untuk menulis karya-karyanya, ia tidak lagi mengajar dan memberi fatwa dan karyanya ini dikenal dengan “al-tanfis” Ia menetap di Rawdah al-Miqyas di Sungai Nil sampai ia meninggal dunia.
3.    Karya-karya
Imam as-Suyuthi termasuk ulama yang produktif dalam semua aspek keilmuwan pada masanya diantaranya, ilmu tafsir, hadis, fiqh, sejarah, penerjemahan, bidang linguistik dan tata bahasa (nahwu).
a.         Bidang Tafsir :
Turjuman al-Quran fi Tafsir al-Musnad, al-Durr al-Manthur fi al-tafsir bi al-Ma’thur, Mufhamat al-Aqran fi Mubhamat al-Quran, Lubab al-Nuqul fi asbab al-Nuzul, Tafsir Jalalain, Majma’ al-Bahrain wa Matla’ al Badrayn, al-Takhyir fi ‘Ulum at-Tafsir, hingga di perluaskan dengan judul al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran.
b.         Bidang Hadis dan Ilmu Hadis :
Jami al-Masanid, al-Jami’ al-Saghir fi al-Hadis al-Bashir al-Nadhir, Minhaj al-‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al ‘af’al Kanz al-‘Ummal fi thubut Sunan al-Aqwal wa al-‘af’al, al-Khasais al-Nabawiyah, al-Ta’qabat al-Maujudat.
c.         Bidang Bahasa Arab :
Al-Ashbah wa al-Nazair fi al-Nahw, al-Ifsah fi asmai al-nikah, al-Iqtirah fi usul al-nahw wa jadalih, al-Alfiyah fi al-nahw wa al-tasrif wa al-khatt, al-ilma’ fi al-itba’,al-Tadhkirah fi al-arabiyyah.
d.         Bidang Sejarah :
Bada’i’ al-Zuhur fi Waqa’i’ al-Duhur, Tarikh al-Khulafa, al-Ajwibah al-Zakiyyah an al-Alghar al-Sabakiyyah, ahasin al-Aqbas fi mahasin al-Iqtibas, dan lain-lain[2].
B.  Tafsir Al-Durr Al-Mantsur fi Al-Tafsir Al-Ma’tsur
1.    Metode Tafsir al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al- Ma’tsur
Al-Suyuti adalah seorang ulama yang produktif, beliau banyak menulis dari berbagai disiplin ilmu, termasuk di dalamnya tafsir seperti yang penulis ungkapkan di atas. Sebelum menulis tafsir al-Durr al-Mantsur, beliau terlebih dahulu menulis beberapa kitab tafsir: pertama, tafsir Jalalain, merupakan salah satu kitab tafsir yang paling masyhur di kalangan ummat Islam, khususnya pesantren. Kedua, tafsir Majma’ al-Bahraini wa Matla’ al-Badraini, yaitu kitab yang mencakup di dalamnya tafsir bi al-ma’tsur, ikhtilaf pendapat yang ditulis oleh ulama terdahulu, istinbat, balaghoh dan bahasa, dll. Ketiga, Tarjuman al-Qur’an, yaitu tafsir yang bersumber dari Rasulullah saw, dan sahabat yang beliau nukil dari kitab-kitab hadis. Di dalam kitab ini terdapat kurang lebih 10.000 hadis, yang sebagian ada yang marfu’ maupun mauquf. Kemudian beliau bermaksud meringkas hadis-hadis tersebut dengan menyebutkan matannya saja tanpa menyertakan sanad yang panjang, ringkasan ini yang kemudian diberi nama al-Durr al-Mantsur.
2.     Sumber penafsiran.
Imam As-Suyuthi menulis tafsir ini dengan mengutip riwayat-riwayat dari Al-Bukhori, Muslim, Al-Nasa’i, At-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Jarir, Ibnu Hatim, Imam al-Shafi’i, dan lain-lain. Namun beliau tidak memilah antara riwayat shahih dan dhaif bahkan mencampur keduanya. Padahal beliau terkenal sebagai ahli riwayat dan sangat memahami seluk beluk ilmu hadis. Sehingga terkesan aneh bila kemampuan tersebut tidak dioptimalkan dalam tafsir ini. Namun berbeda dengan kitab tafsir lainnya, tafsir ini merupakan satu-satunya tafsir bil ma’tsur yang hanya memuat hadis-hadis atau periwayatan saja.
Dengan demikian dapat dikatakan penafsiran al-Suyuti bersumber dari hadis nabi, pendapat sahabat dan tabi’in yang beliau nukil dari berbagai kitab hadis, tafsir, ulum al-Qur’an, fikih, sejarah dan teologi yang beliau himpun untuk menafsirkan al-Qur’an. Penafsiran semacam ini dikenal dengan tafsir bi al-ma’tsur.
Ada yang berpendapat bahwa tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsirnya yang pertama, Turjuman al-Quran. Dengan maksud untuk memudahkan bagi para pemerhati dan pembaca tafsir agar lebih leluasa untuk mendapatkan tafsirannya dari hadis dan perkataan para sahabat walau tanpa menyebutkan sanadnya yang lengkap, hanya menyebutkan matan dan mukharrij-nya saja. Oleh karena demikian, untuk mendapatkan pembacaan secara komprehensif, pembaca dituntut untuk kembali pada kitab asalnya, yaitu Turjuman al-Quran.
3.    Penjelasan Tafsir Al-Durr Al-Mantsur fi Al-Tafsir Al-Ma’tsur
Dalam tafsir al-Durr al-Manthur, al-Suyuti memulai pada setiap surat dengan menyebutkan namanya, menyebutkan apakah termasuk Makki atau Madani, kemudian disebutkan jumlah ayatnya, perbedaan qiraah-nya, menulis satu ayat atau beberapa ayat kemudian menukil beberapa riwayat yang berkaitan dengan satu ayat atau beberapa ayat tersebut. Hal ini dapat dilihat ketika al-Suyuti menafsirkan surat al-Fatihah, beliau menukil riwayat dari Abdu bin Humaid, Muhammad bin Nasr al-Marwazi, Ibnu al-Anbari, al-Bukhari, dan lain-lain. Dalam riwayat tersebut bahwa surat ini disebut fatihah al-kitab,  dalam riwayat lain umm al-kitab,  al-Qur’an al-azim, dan al-sab’ al-matsaniy. Begitu juga turunnya surat ini disebutkan bahwa surat ini turun di Madinah, dan dalam riwayat lain disebutkan di Makkah. Disebutkan dalam riwayat bahwa surat ini terdiri dari 6 ayat, kemudian dalam riwayat lain disebutkan 7 ayat. Penafsiran surat Al Fatihah ayat 4, beliau menukil sebuah riwayat :
4.                  مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (٤)
Yang menguasai di hari Pembalasan.
Ayat di atas dimulai dengan menukil riwayat dari al-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu al-Anbari tentang perbedaan qira’at, disebutkan dalam riwayat tersebut الدِّينِ مَلِكِ يَوْم tanpa alif setelah huruf mim. Dalam riwayat lain seperti Imam Ahmad, al-Tirmidzi, Abu Daud, Sa’id bin Mansur, Abdu a-Razzaq, al-Hakim, disebutkan          مَالِكِ يَوْمالدِّينِ dengan menggunakan huruf alif setelah huruf  mim, kemudian setelah itu beliau menjelaskan tafsir ayat dengan menukil riwayat-riwayat dari al-Tabari, al-Hakim, Abu Daud, al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Abi Hatim, al-Tabrani, dan Abdu al-Razzaq. Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa يَوْمِ الدِّينِ             diartikan sebagai hari pembalasan, hari kiamat, hari dimana Allah akan membalas segala amal perbuatan manusia.
Al-Suyuti dalam menulis tafsir al-Durr al-Mantsur hanya menyertakan hadis atau periwayatan saja. Dengan demikian luas penjelasannya juga tergantung pada jumlah riwayat yang disebutkan al-Suyuti tentang ayat al-Qur’an. Jika didapati banyak riwayat maka beliau juga mencantumkan semua riwayat tersebut.[3] Begitu pula sebaliknya, jika didapati hanya dua atau riwayat maka hanya riwayat tersebut yang dicantumkan dalam tafsirnya, hal ini dapat dilihat dari penafsiran beliau dalam surat al-Baqarah ayat 211:
سَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَمْ آتَيْنَاهُمْ مِنْ آيَةٍ بَيِّنَةٍ وَمَنْ يُبَدِّلْ نِعْمَةَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُ فَإِنَّ اللَّه شَدِيدُالْعِقَابِ (٢١١)َ
Tanyakanlah kepada Bani Israil: "Berapa banyaknya tanda-tanda kebenaran yang nyata, yang telah Kami berikan kepada mereka, dan Barangsiapa yang menukar nikmat Allah setelah datang nikmat itu kepadanya, Maka Sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.”
Dalam menafsirkan ayat di atas beliau hanya mencantumkan dua riwayat saja, pertama dari Abdu bin Humaid dan al-Tabari, dan kedua dari riwayat Ibnu Hatim:
أخرج عَبد بن حُمَيد ، وَابن جَرِير عن مجاهد {سل بني إسرائيل} قال : هم اليهود {كم آتيناهم من آية بينة} ما ذكر الله في القرآن وما لم يذكر {ومن يبدل نعمة الله} قال : يكفر بها.
وأخرج ابن أبي حاتم عن أبي العالية في الآية قال : آتاهم الله آيات بينات عصا موسى ويده وأقطعهم البحر وأغرق عدوهم وهم ينظرون وظلل عليهم الغمام وأنزل عليهم المن والسلوى {ومن يبدل نعمة الله} يقول : من يكفر بنعمة الله.
Dari keterangan diatas, yang mana tafsir ini berisi periwayatan mulai   menerangkan nama surat, tempat turunnya ayat, jumlah ayat dalam surat, sampai perbedaan qiraat dan riwayat tentang tafsir ayat-, begitu juga ketika melihat tafsir ini yang terdiri dari tujuh belas jilid, maka keluasan penjelasan tafsir ini masuk dalam kategori tafsili.
4.    Corak Penafsiran
Adapun dalam menulis tafsir al-Durr al-Mantsur, al-Suyuti menyusunnya berdasarkan urutan ayat dan surat dalam mushaf ‘Utsmani, yaitu berawal dari surat al-Fatihah dan berakhir di surat al-Nas. Ia menafsirkan satu ayat, dua ayat, atau tiga ayat secara berurutan berdasarkan urutan ayat tersebut dalam sebuah surat. Oleh karena itu, tafsir ini termasuk tafsir tahlili.
5.    Aliran tafsirnya
Sangat sulit untuk menelusuri aliran atau kecenderungan tafsir al-Durr al-Mantsur, karena dalam penafsirannya, al-Suyuti hanya menampilkan atau menukil riwayat- riwayat dari hadith Nabi, atsar  sahabat maupun tabi’in yang beliau dapati dalam kitab-kitab karangan ulama sebelum beliau, apalagi dalam riwayat tersebut beliau tidak mengkritisi dan memberikan penilaian atau sikap dari riwayat tersebut yang paling rajih.  Akan tetapi jika melihat cara beliau menafsirkan  ayat dengan hadis atau riwayat sahabat dan tabi’in dapat dipahami bahwa aliran tafsir ini lebih kepada teologi, karena cenderung mewakili kelompok sunni, terbukti dengan referensi-referensi Sunni yang ia gunakan, sehingga condong kepada tafsir i’tiqadi. Dan apabila dilihat dalam menafsirkan ayat-ayat al-ahkam, terdapat kecenderungan lugawi dan fiqhi, akan tetapi tidak begitu dominan. Sebagaimana contoh ketika menafsirkan surat al-Nisa’ ayat 43:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”
Dalam ayat ini al-Suyuti memaparkan banyak riwayat dalam menjelaskan dan mengartikan kata أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ  dengan makna meraba istri dengan tangan, menyentuh, dan dalam riwayat lain berarti jima’. Kemudian dijelaskan mengenai tayammum dan kaifiyat-nya. Oleh karena itu, penulis lebih cenderung menyatakan bahwa tafsir ini merupakan tafsir teologi yang mewakili teologi sunni jika dilihat dari cara penafsiran yang beliau gunakan dalam mengungkapkan hads-hadis Nabi, perkataan para sahabat dan tabi’in. Sementara jika dilihat dari cara beliau menafsirkan ayat-ayat ahkam, beliau lebih cenderung “bermain” dalam ruang lingkup kata-kata (bahasa) dan “asyik” memetakan masalah fiqh (lughawi dan fiqhi).
6.    Komentar dan kritik terhadap tafsir al-Durr al-Mantsur.
Muhammad Husein al-Dhahabi yang menyatakan bahwa kitab tafsir ini sungguh menakjubkan, kitab tafsir yang dalam penyusunanya tiada duanya, mencukupkan penafsiran bi al-ma’tsur saja, tanpa mencampurkan pendapat (al-ra’yu) dalam penafsirannya. Tidak didapati tafsir seperti ini pada kitab-kitab tafsir sebelumnya yang tidak hanya memperbanyak penukilan dan penyandaran riwayat, akan tetapi juga memberikan porsi kepada akal untuk berperan dalam tafsir ayat meskipun hanya sedikit.[4]
Meskipun demikian, sangat disayangkan bahwa tafsir bi al-ma’tsur ini hanya mengumpulkan riwayat-riwayat, termasuk juga cerita-cerita isra’iliyyat para ulama salaf tanpa memberi penilaian terhadapnya; tidak memberi penilaian adil (ta’dil), penilaian cacat (jarh), penilaian lemah (tad’if), dan penilaian sahih (sahih), kecuali hanya pada kualitas sebagian riwayat, itu pun jarang sekali. Hal inilah yang mengurangi kualitas dari tafsir al-Durr al-Mantsur itu sendiri, padahal pada kenyataannya al-Suyuti dikenal sebagai orang ahli dalam bidang riwayat dan hadis.
Tafsir ini merupakan kompilasi atau kumpulan riwayat yang al-Suyuti dapatkan dari berbagai kitab hadith, tafsir, sejarah, dan kitab-kitab lain dari ulama salaf. Bukan orisinil dari pendapat beliau, karena beliau tidak menggunakan pendapatnya kecuali hanya sedikit penilaian terhadap sebagian kecil riwayat dalam tafsirnya.
7.    Keistimewaan dan kelemahan tafsir al-Durr al-Mantsur.
Tafsir ini merupakan satu-satunya tafsir bi al-ma’tsur yang hanya menggunakan hadis Nabi, atsar  sahabat dan tabi’in tanpa mengungkapkan pendapat ulama-ulama salaf maupun dari al-Suyuti sendiri. Al-Suyuti menukil banyak sekali riwayat dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga memberikan kebebasan kepada pembaca tafsirnya untuk memilih riwayat diantara tafsir tersebut.
Apabila dibandingkan dengan tafsir jalalain yang menggunakan metode bi al-ra’yi dari segi sumber penafsirannya maupun keluasan penjelasannya yang ijmali, maka dapat diketahui perbedaan yang sangat mencolok diantara keduanya. Perbedaannya Tarjuman al-Qur’an, yaitu bahwa al-Durr al-Mantsur merupakan ringkasannya, yang mana al-Suyuti menghilangkan sanad yang panjang didalamnya untuk menghindari kejenuhan dalam membaca tafsirnya.
Kitab tafsir ini merupakan karya manusia yang dapat dinilai. Di satu sisi karya tersebut mempunyai keistimewaan dan dalam satu waktu pula punya kelemahan yang dapat dikritisi secara terbuka. Antara salah satu keistimewaan karya al-Suyuti ini adalah:
1. Tidak sedikit para ulama yang menyaksikan bahwa karya ini merupakan karya yang mengagumkan dalam penyusunannya, di mana al-Suyuti mengungkapkan yang disepakati oleh para ulama terdahulu dari hadis-hadis nabi, atsar sahabat dan tabi’in, seperti Ibnu Jarir, Abd bin Humaid, Waki’ bin Jarrah, Ibnu Hatim, Ibnu Mundzir, Ibnu Murdawaih dan Thu’alabi.
2. Mengutip dan mengumpulkan dari kitab asal sekitar kurang lebih empat ratus  kitab , mulai dari kitab tafsir klasik hingga yang modern, yang semasa dengan beliau. Sebagaimana beliau mengutip dari para kitab tafsir pendahulunya, abad kedua, seperti tafsirnya Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah dan Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij, sampai pada abad ke sembilan dari para guru-gurunya, seperti Ibnu Hajar al-‘Asqalani dll.
3. Tafsir ini terbilang paling banyak menggunakan tafsir bi al-ma’tsur dengan berpegang teguh pada hadis-hadis Nabi dan atsar. Dalam penukilan riwayatnya, beliau tidak mencampuradukkan dengan pendapat akal, sehingga pemetaan dan pengungkapannya secara keseluruhan dalam tafsir ini adalah tafsir bi al-ma’thur.
4. Di akhir karyanya ini, al-Suyuti menuliskan doa khatmul qur’an, kemudian diikuti penukilan yang panjang dari awal kitab, yaitu “asbab al-Nuzul” karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-‘Ujab fi Bayan al-Asbab”, berkomentar tentang tafsirnya al-Tabari, Ibnu Mundzir, Ibnu Hatim, Abd bin Humaid, kemudian berkomentar tentang para tabi’in dari murid-muridnya Ibnu ‘Abbas dengan menjelaskan yang siqat dan da’if, kemudian berkomentar tentang tafsir yang diriwayatkan oleh Qatadah, tafsir Rabi’ bin Anas, tafsirnya Muqatil bin Hayyan, tafsirnya Zaid bin Aslam, tafsirnya Muqatil bin Sulaiman, tafsirnya Yahya bin Sallam, tafsirnya Sunaid, tafsir yang dikumpulkan oleh Musa bin Abdurrahman al-Thaqafi, al-Sun’ani.[5]
Adapun kelemahan dalam karya ini, ialah:
1. Menyebutkan ayat-ayat al-Quran tanpa nomor, sebagaimana kadang juga beliau meninggalkan sebagian tafsirannya.
2. Banyak memunculkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan tafsir, seperti hadith yang berkaitan dengan cobaan Nabi Ibrahim, dan sifat-sifat Hajar Aswad dan tempatnya dll.
3. Dalam karyanya ini beliau sedikit sekali mengkritik riwayat-riwayat yang dikutipnya meskipun beliau merupakan pakar dan ahli dalam bidang hadith dengan keluasan ilmunya, baik dari segi dirayah maupun riwayah, akan tetapi dalam karyanya ini banyak ditemukan periwayatan yang munkar, dan cerita-cerita israiliyat, al-‘Ajaib, cerita-cerita aneh yang seyogyanya dibersihkan dari tafsir al-Quran.
4. Beliau menisbatkan bacaan qira’atnya pada sahabat atau kepada orang yang meriwayatkannya tanpa menjelaskan apakah bacaan jumhur, mutawatir atau tidak, bahkan sahih dan shadh-nya





[1] Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1429H), hal 24.
[2] Jalal al-din al-Suyuti, al-Dur al-Mantsur Fi Tafsir bi al-Ma’tsur (Kairo: Markaz li al-Buhuth wa al-Dirasat al-Arabiyyah al-Islamiyyah,1424 H), jilid 1 hal 35-54.
[3] Dalam hal ini sebagaimana pada contoh sebelumnya pada surat al-Fatihah ayat 4, dalam menafsirkan ayat tersebut dipaparkan lebih dari dua puluh riwayat.
[4] Muhammad Husein al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000 M) hal 181.
[5] Muhammad Husein al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000 M) hal 181.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar