PENDAHULUAN
Peradaban Islam muncul tidak lepas
dari berbagai pemikiran yang berkembang dalam Islam. Berbagai pemikiran yang
muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran yang berkembang dalam
filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk ke
Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam adalah nukilan dari
filsafat Yunani. Filsafat Islam adalah hasil interaksi dengan filsafat Yunani
dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional umat Islam telah mapan
sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam.
Adapun
tokoh filsafat Islam Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi,
tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi
yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim
dalam arti kata yang sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak
sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus
dibangun dengan tekun.
Ia
termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin “Harmonisasi pendapat Plato dan
Aristoteles”. Bahkan sejumlah kalangan menyebutnya sebagai “the second Master”
atau Maha Guru Kedua setelah panutannya, Aristoteles.
PEMBAHASAN
2.1
Riwayat Hidup
Al-Farabi.
Al-Farabi adalah bapak yang sebenarnya bagi
filsafat Islam. Ia yang telah membangun kerangkanya, mengurai bagian-bagian
utamanya, serta menghubungkannya dalam sebuah totalitas yang tetata rapi. Kita
hampir tidak menemukan suatu konsep apapun pada generasi sesudahnya, kecuali
didalamnya terdapay jejak Al-Farabi. Keutamaan yang dimilki oleh para filsuf
adala dalam menjelaskan pendapat-pendapat Al-Farabi yang sulit serta merinci
pemikiran global dari Al-Farabi. Oleh karena itu, ia diberi gelar “ Filsuf Umat
Islam.”[1]
Al-Farabi, Alpharabius,
nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh
Al-Farabi, lahir di Farab, Provinsi Transoxiana, Turkestan tahun 257 H / 870 M.
Ayahnya adalah pejabat tinggi militer pada masa Dinasti Samaniyah (819-999 M)
yang menguasai Transoxiana, wilayahotonom dalam kekhalifahan Dinasti Abbas
(758-1258 M), lalu pindah ke Bukhara. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah (1203-1270 M),
di Bukhara ini, Al-Farabi pernah diangkat menjadi hakim setelah menyelsaikan
studi ilmu-ilmu religiusnya. Tetapi, jabatan ini segera ditinggalakan ketika
mengetahui ada seorang guru yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis, sebuah ilmu
yang dasar-dasarnya telah dikenal baik lewat studi kalam (teologi
dialektis) dan ushul al-fiqh (prinsip yurisprudensi).[2]
Tahun 922 M,
Al-Farabi pindah ke Baghdad untuk mendalami filsafat. Ia belajar logika dan
filsafat kepada Abu Bisyir Matta (870-940 M) dan terutama Yuhanna ibn Hailan
(w. 932 M), tokoh filsafat Yunani aliran Aleksandria yang sekaligus mengajak
Al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal disana selama 8 tahun guna
mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantinopel, Al-Farabi mencurahkan diri
untuk belajar, mengajar, dan menulis filsafat. Ia menjatuhkan diri dari
pertikaian politik serta konflik-konflik religius dann sektarian yang menimpa
Baghdad selam akhir periode ini.[3]
Pada 942 M,
ketikaa situasi di Baghdad memburuk, Al-Farabi pindah ke Damaskus yang dikuasai
Ikhsidiyah (935-969 M). Nsmun, tidak lama disana, ia segera pindah ke Mesir
karena terjadi konflik politik antara Dinasti Ikhsidiyah dengan Hamdaniyah
(890-1004 M). Aleppo dan Damaskus diduduki pasukan Hamdaniyah. Beberapa tahun
di Mesir, Al-Farabi kembali ke Damaskus, dan kemudian ke Aleppo memenuhi
undangan Saif Al-Daulah (916-967 M), putra mahkota Dinasti Hamdaniyah, untuk
ikut dalam lingkaran diskusi orang-orang terpelajar. Dalam diskusi yang
melahirkan penyair-penyair terkenal seperti Abu Thayyib Al-Mutanabbi (915-965
M), Abu Firas Al-Hamdani (932-968 M), dan ahli tata bahasa Ahmad Ibn Khulawaih
(w. 980 ), Al-Farabi tampil mengesankan berkat kemampuannya menguasai beberapa
bahasa, penguasaan ilmu-ilmu filosofis, dan bakat musiknya.
Al-Farabi
meninggal di Damaskus pada bulan Rajab 339 H / Desember 950 M pada usia 80
tahun dan dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota
bagian selatan, saif Ad-Daulah sendiri yang memimpin upacara pemakaman
Al-Farabi.
2.2 Hasil Karya yang Telah Diciptakan Al-Farabi.
Menurut
penelitian, setidaknya ada 119 buah karya tulis yang dihasilkan Al-Farabi, dan
sayangnya kebanyakan dari karya ini telah hilang atau belum dipublikasikan.
Secara garis besar, karya-karya ini dapat dikelompokkan dalam beberapa tema:
logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, musik dan beberapa tulisan yang
berisi tentang sanggahan terhadap pandangan filsuf tertentu. Dalam bidang
logika, antara lain, Risalah Shudira Biha al-Kitab (Risalah yang dengannya
Kitab Berawal)dan Risalah fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha (Risalah tentang
jawaban atau petanyaan yang diajukan tentang-Nya); bidang fisika, syarh
Kitab al-Sama’ al-Tabi’i li Aristutalis (komentar atas Fisika Aristoteles)
dan Syarh Kitab al-Sama’ wa al-‘alam li Aristutalis (Bahasan atas Kitab
Aristoteles tentang Langit dan Alam Raya); bidang metafisika, Fushus
al-Hikam (Permata Kebijaksanaan) dan Kitab fi al-Wahid wa al-Wahdah
(Kitab tentang Yang Satu dan Yang Maha Esa); bidang politik, Kitab Ara’ Ahl al-Madinat
al-Fadhilah (Kitab tentang Opini Penghuni Kota Ideal), Kitab al-Siyasat
al-Madaniyah (Kitab tentang Pemerintahan Negara Kota), Kitab al-Millat
al-Fadlilah (Kitab tentang Komunitas Utama) dan Kitab Ihsha al-‘Ulum (Kitab
tentang Pembagian Ilmu).[4]
2.3 Hasil dari Pokok-Pokok Pemikiran
Filsafat Al-Farabi.
A. Pemikiran al-Farabi Tentang Emanasi ( الفيض )
Dalam penciptaan alam menurut al-Farabi, Tuhan tidak mencipta alam, akan
tetapi ia sebagai penggerak pertama dari segala yang ada. Dengan pemikiran ini,
al-Farabi mencoba menjelaskan "bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang
Satu" ( كيفية خروج الكثرة عن الواحد البسيط ). Tuhan bersifat Maha Satu, tidak berobah, jauh
dari arti banyak, Maha sempurna, dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian
hakekat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang
Maha Satu? dengan alasan inilah
al-Farabi memaksakan pemikirannya dengan menyatakan bahwa alam ini
muncul dari Allah dengan jalan emanasi atau pemancaran (ان العالم قد نشاْ عن الله عن طريق الفيض ( . Tuhan
sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu
maujud lain, Tuhan merupakan wujud pertama (الوجود الاول) dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (الوجود الثاني) yang
juga mempunyai substansi.
Dalam teori emanasi ini Tuhan dilukiskan sebagai yang
sama sekali Esa dan karenanya tidak bisa didefinisikan. Menurutnya, definisi hanya akan menisbatkan batasan dan
susunan kepada Tuhan yang itu mustahil bagi-Nya. Tuhan
itu adalah substansi yang azali,
akal murni yang berfikir
dan sekaligus difikirkan. Ia
adalah aql, aqil dan ma’qul
sekaligus
Karena pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan
daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran
Tuhan tentang diri-Nya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang
Esa. Dalam diri Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal
I adalah Tuhan dan dirinya sendiri.
Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang
dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai obyek pemikiran,
yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal
III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang.
Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan
berfikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan benda-benda langit lainnya,
yaitu: Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus; Akal IV menghasilkan Akal V
dan Yupiter; Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars; Akal VI menghasilkan Akal
VII dan Matahari; Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus; Akal VIII
menghasilkan Akal IX dan Merkuri; Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan; dan
Akal X menghasilkan Bumi. Pemikiran Akal
X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal sejenisnya dan hanya
menghasilkan bumi, roh-roh dan materi pertama menjadi dasar keempat unsur pokok
: air, udara, api dan tanah.
Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang
diketahui pada zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak.
Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak ada
lagi planet yang akan diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang
diwujudkannya. Begitulah alam semesta
tercipta dalam filsafat emanasi Al-Farabi.
Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak itu, tetapi melalui Akal-Akal
dalam rangkaian emanasi. Dengan demikian dalam diri Tuhan tidak terdapat arti
banyak dan Tuhan juga tidak langsung berhubungan dengan yang banyak. Inilah
tauhid yang murni dalam pendapat Al-Farabi dan filsuf-filsuf muslim berikutnya
yang menganut faham emanasi. Implikasi logis dari faham emanasi ini adalah
pendapat bahwa alam diciptakan bukan dari tiada atau nihil (creatio ex nihilo)
sebagaimana sebelumnya masih diterima oleh al-Kindi, tetapi dari sesuatu materi
asal yang sudah ada sebelumnya yaitu api, udara, air dan tanah. Materi asal
itupun bukannya timbul dari ketiadaan, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan
oleh pemikiran Tuhan.
Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari
tiada atau nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan tanah.
Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti
diciptakan dari suatu yang telah ada. Maka materi asal timbul bukan dari tiada,
tetapi dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan. Karena Tuhan befikir
semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan
itu mestilah pula qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman.
Dengan lain kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat
api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari
sinilah timbul pengertian alam qadim.
Dengan dasar inilah
menurut al-Farabi, bahwa alam materi ini ada bukan karena diadakan oleh
Allah dengan cara penciptaan, tapi alam ini bisa ada karena proses emanasi atau
pemancaran. Hal tersebut menurutnya karena beberapa alasan: (1). Proses
penciptaan itu mengharuskan perubahan pada zat pencipta, dan hal itu mustahil
pada Allah (لان الخلق يقتضي التغيير في ذات الخالق ), (2). Proses penciptaan akan mengharuskan
keterkaitan yang abadi antara yang mencipta dan yang diciptakan (ان عملية
الخلق تقتضي الاتصال الدائم بين الخالق والمخلوق ), sementara itu tidak mungkin terjadi, dan
(3). Allah itu Maha Esa dari segala segi, makanya tidak akan muncul sesuatu
dariNya kecuali satu pula (لان الله
واحد من جميع الجهات ولا يصدر عنه الا واحد). Dengan
alasan-alasan inilah al-Farabi telah memaksakan teorinya bahwa alam ini ada
bukan karena diadakan oleh Allah dengan cara penciptaan akan tetapi itu
merupakan "proses munculnya yang banyak dari Yang Satu dengan tetap
terpeliharanya wujud yang Satu ini dengan ke-Esaan-Nya dan Kesempurnaan-Nya"
( صدور
الكثرة عن الواحد مع احتفاظ هذا الواحد بوحدته وكماله ).
B. Filsafat
Jiwa al-Fārābi
Pada umumnya para filosof Muslim mengikuti aliran Aristoteles dalam hal
jiwa manusia, yaitu berupa daya makan, daya indra, dan daya pikir. Al-Farabi membagi
jiwa menjadi tiga bagian:
1.
Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan,
tumbuh dan berkembang biak.
2.
Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah
dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan panca indra, yang terbagi
dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b)
Indra dalam yang berada di otak dan terdiri dari: i. Indra bersama yang
menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra; ii. Indra penggambar yang
melepaskan gambar-gambar dari materi; iii. Indra pereka yang mengatur
gambar-gambar ini; iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang
terlindung dalam gambar-gambar tersebut; v. Indra pengingat yang menyimpan
arti-arti.
3.
Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu
berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: a. Akal praktis, yang menerima
arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa
binatang. b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada
dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Al-Farabi menjelaskan bahwa manusia mempunyai lima kemampuan atau daya.
Pertama, kemampuan untuk tumbuh yang disebut daya vegetatif (القوة الغاذية) sehingga memungkinkan manusia berkembang menjadi
besar dan dewasa. Kedua, daya mengindera (القوة الحاسة), sehingga memungkinkan manusia dapat menerima rangsangan seperti panas,
dingin dan lainnya. Daya ini membuat manusia mampu mengecap, membau, mendengar
dan melihat warna serta objek-objek penglihatan lain. Ketiga, daya imajinasi (القوة المتخيلة) sehingga memungkinkan manusia masih tetap mempunyai kesan atas apa yang
dirasakan meski objek tersebut telah tidak ada lagi dalam jangkauan indera.
Daya ini juga mempunyai kemampuan untuk menggabungkan atau memisahkan
kesan-kesan yang diterima dari indera sehingga menghasilkan kombinasi atau
potongan-potongan. Hasilnya bisa benar atau salah. Keempat, daya berpikir (القوة الناطقة) yang memungkinkan manusia untuk memahami berbagai pengertian sehingga
dapat membedakan antara yang satu dengan lainnya, kemampuan untuk menguasai
ilmu dan seni. Kelima, daya rasa (القوة التروعية), yang membuat manusia mempunyai kesan dari apa yang
dirasakan: suka atau tidak suka.
Pengetahuan manusia, menurut
al-Farabi, diperoleh lewat tiga daya yang dimiliki, yaitu daya indera (القوة الحاسة), daya imajinasi (القوة المتخيلة) dan daya pikir (القوة الناطقة), yang masing-masing disebut sebagai indera
eksternal, indera internal dan intelek. Tiga macam indera ini merupakan sarana
utama dalam pencapaian keilmuan.
"Konsep psikologi" al-Farabi, jika diistilahkan demikian, sungguh
sangat modern dan “manusiawi”. Menurutnya, manusia tidak hanya merangkum
potensi-potensi tumbuhan (vegetatif) dan binatang (animal) sehingga ia dapat
tumbuh dan berkembang, tetapi yang terpenting adalah potensi-potensi nalar (rasional).
Lebih dari itu, manusia juga mempunyai potensi intelek ( العقل
الكلي ) sehingga mampu melepaskan diri dari kungkungan
dunia material untuk selanjutnya menjangkau realitas-realitas metafisis
non-material. Bahkan, intelek ini pulalah yang mampu mengantarkan manusia
“bertemu” dengan Tuhannya. Disinilah nilai utama seorang manusia dibanding
makhluk lain.
C.
Filsafat Kenabian al-Fārābi
Pada
masa-masa pertama Islam kaum Muslimin mempercayai sepenuhnya apa yang datang
dari Tuhan, tanpa membahasnya atau mencari-cari alasannya. Namun keadaan ini
tidak berlangsung lama karena karena hal ini mulai dikeruhkan dengan oleh
berbagai hal keraguan, setelah golongan-golongan di luar Islam perlahan-lahan
dapat memasuki fikiran ummat muslim. Golongan-golongan itu adalah golongan Mazdak, dan Manu dari Iran, golongan
Sumniyah dari agama Mrahma, serta orang-orang Yahudi dan Masehi. Sejak saat
itu, setiap dasar-dasar agama Islam dibahas dan dikritik.
Sehubungan dengan ini, kritikan Ibn
ar-Rawandi (Wafat akhir 111 H) dan Abu Bakar ar-Razi (Wafat 250 H). terhadap
kenabian perlu dicatat, Ibnu ar-Rawandi
dan dalam bukunya yang berjudul Az Zamarrudah mengingkari kenabian pada umumnya
dan kenabian Muhammad SAW pada khususnya, ia banyak memberikan kritikan
terhadap ajaran-ajaran Islam dan Ibadahnya, dan menolak mukjizat-mukjizat
keseluruhannya. Khusus mengenai
kenabian, ia mengatakan bahwa rasul-rasul itu sebenarnya tidak diperlukan,
karena Tuhan telah memberikan akal kepada manusia, agar mereka dapat membedakan
antar yang baik dan yang buruk. Pada intinya Ibnu ar-Rawandi dalam hal ini berpendapat bahwa keberadaan
akal itu sudah cukup.
Ar-Razi seorang dokter dan tokoh
filsafat, juga tidak kurang bahaya, karena ia menulis dua buku, yaitu Makhariq
al-Anbiya aw HiIya al-Munatanabbi-in (Mainan nabi-nabi atau tipu daya terhadap
orang yang mengaku menjadi Nabi) dan Naqdl al-Adyan aw fi an Nubuwwah
(Menentang agama-agama atau menentang kenabian). Menurut Massignon, buku
pertama tersebar luas, sampai mencapai Dunia Barat sehingga buku tersebut
menjadi sumber kritikan-kritikan yang dlancarkan oleh para rasionalis eropa
terhadap agama dan kenabian. Pada masa Frederick II Buku kedua, beberapa
bagiannya sampai kepada kita melalui tulisan-tulisan Abu Hatim ar-Razi (Wafat
tahun 330 H) dalam bukunya A’lam an-Nubuwwah yang dikarang untuk menolak
pandangan ar-Razi mengenai teori kenabian. Serangan Abu bakar ar-Razi pada pada
garis besarnya tidak banyak berbeda dengan serangan ar-Rawandi, seolah-olah
kedua orang tersebut bersumber satu, atau seolah-olah ajaran Hindu dan Manu
tersembunyi di belakangnya, dan tidak jauh kemungkinannya kalau keduanya
mengetahui kritik orang-orang Yunani terhadap berbagai agama. Bagaimanapun
juga, baik karena terpengaruh oleh fikirannya sendiri, namun yang jelas ialah
bahwa ia mengakui dirinya sebagai sebagai orang-orang yang mempunyai
kelebihan-kelebihan khusus, baik fikiran maupun rohani, karena semua itu, dan
keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak dibedakannya seseorang
dengan lainnya.
Dalam
suasana penuh perdebatan tentang kenabian munculah al Farabi, ia merasa bahwa
dirinya harus mengambil bagian, apalagi ia hidup semasa dengan Ibnu ar-Rawandi
dan Abu Bakar ar-Razi. Sebagai hasil penggabungannya dengan filsafat yang
merupakan kegiatan utama bagi filosof-filosof Islam, maka al-Farabi adalah
merupakan orang pertama yang membahas tetnag kenabian secara lengkap sehingga
penambahan dari orang lain hampir tidak ada. Total kenabian al-Farabi yang
merupakan bagian terpenting dalam filsafat, ditegakkan atas dasar-dasar psikologi
dan metafisika, dan erat hubungannya dengan lapangan-lapangan akhlak Pada waktu
membicarakan negeri utama dari al-Farabi kita melihat bahwa manusia dapat
berhubungan dengan al aql al fa’āl, meskipun terbatas hanya pada orang
tertentu.
Hubungan tersebut bisa ditempuh
dengan dua jalan, yaitu: jalan fikiran dan jalan imajinasi penghayalan), atau
dengan perkataan lain melalui renungan fikiran dan inspirasi (ilham). Sudah
barang tentu tidak semua orang dapat mengadakan hubungan dengan al aql al
fa’āl. Melainkan hanya orang yang mempunyai jiwa suci yang dapat menembus
dinding-dinding alam gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan melalui
renungan-renungan fikiran yang banyak, seorang hakim (bijaksana) dapat
mengalahkan hubungan tersebut dan orang semacam
inilah yang bisa diserahi oleh al-Farabi untuk mengurusi negeri utama
yang dikonsepsikannya itu, Akan tetapi di samping melalui pemikiran hubungan
dengan al aql al fa’āl bisa terjadi dengan jalan imajinasi, dan keadaan
ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua ilham dan wahyu yang disampaikan kepada kita
merupakan salah satu bekas dan pengaruh imajinasi tersebut.
yang dikonsepsikannya itu, Akan tetapi di samping melalui pemikiran hubungan
dengan al aql al fa’āl bisa terjadi dengan jalan imajinasi, dan keadaan
ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua ilham dan wahyu yang disampaikan kepada kita
merupakan salah satu bekas dan pengaruh imajinasi tersebut.
Ilham-ilham kenabian adakalanya
terjadi pada waktu tidur ataupun jaga, atau dengan perkataan lain, dalam bentuk
impian yang benar atau wahyu. Perbedaan antara kedua cara ini bersifat relatif
dan hanya mengenai tingkatannya, tetapi tidak mengenai esensinya (hakikatnya).
Impian yang benar tidak lain adalah merupakan salah satu cabang kenabian yang
erat hubungannya dengan wahyu dan tujuannya juga sama Meskipun berbeda caranya.
Jadi apabila kita dapat menerangkan salah satunya, maka dapat pula kita
menerangkan yang lain. Hubungan antara kedua cara tersebut dijelaskan oleh
al-Farabi dalam bukunya Ara’u Ahl Madinah al-Fadhilah. Kalau imajinasi
dapat mengadakan gambaran-gambaran tersebut dengan bentuk alam rohani. Misalnya
orang tidur melihat langit dan orang-orang yag menempatinya serta meraskan
senang terhadap kenikmatan-kenikmatan yang ada di dalamnya. Di samping itu
imajinasi kadang-kadang naik kealam langit dan berhubungan dengan al aql
al fa’āl untuk menerima hal-hal yang berhubungan dengan
peristiwa-peristiwa khusus atau peristiwa-peristiwa perorangan, dan dari sini
maka terjadilah peramalan.
Hubungan tersebut bisa terjadi di
waktu siang atau
pun di waktu malam, dan dengan adanya hubungan ini maka kita dapat menafsirkan kenabian, karena. hubungan tersebut merupakan sumber impian yang benar dan wahyu. Orang yang melihat hal sedemikian itu mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kebesaran yang agung dan mengagumkan, dan ia melihat perkara-perkara ajaib yang tidak mungkin sama sekali terdapat pada alam maujud. Apabila kekuatan imajinasi seseorang telah mencapai akhir kesempurnaan, maka tidak ada kalangannya pada waktu jaga untuk menerima dari al aql al fa’āl peristiwa-peristiwa sekarang atau peristiwa-peristiwa mendatang, atau obyek-obyek inderawi yang merupakan salinannya. Ia dapat pula menerima salinan-salinan dan obyek-obyek fikiran dan wujud-wujud lain yang mulia dan, melihatnya pula. Dengan adanya penerimaan-penerimaan itu maka orang tersebut mempunyai ramalan (Nubuwwah) terhadap perkara-perkara ketuhanan. Ini adalah tingkatan yang paling sempurna yang basa dicapai oleh kekuatan imajianasi dan dicapai oleh manusia karena kekuatan tersebut. Jadi ciri khas pertama seorang nabi menurut al-Farabi, ialah bahwa ia mempunyai daya imajinasi yang kuat dan memungkingkan dia dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, baik pada waktu ia tidur maupun pada waktu ia jaga. Dengan imajinasi tersebut ia bisa menerima pengetahuan-pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang nampak dalam bentuk wahyu dan impian yang benar. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Tuhan melalui al aql al fa’āl. Selain nabi nabi-nabi ada orang yang kuat daya imajinasinya, tetapi di bawah tingkatan nabi-nabi, dan oleh karena itu tidak dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, kecuali pada waktu tidur, dan kadang-kadang mereka sukar untuk dapat mengutarakan apa yang diketahuinya.
pun di waktu malam, dan dengan adanya hubungan ini maka kita dapat menafsirkan kenabian, karena. hubungan tersebut merupakan sumber impian yang benar dan wahyu. Orang yang melihat hal sedemikian itu mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kebesaran yang agung dan mengagumkan, dan ia melihat perkara-perkara ajaib yang tidak mungkin sama sekali terdapat pada alam maujud. Apabila kekuatan imajinasi seseorang telah mencapai akhir kesempurnaan, maka tidak ada kalangannya pada waktu jaga untuk menerima dari al aql al fa’āl peristiwa-peristiwa sekarang atau peristiwa-peristiwa mendatang, atau obyek-obyek inderawi yang merupakan salinannya. Ia dapat pula menerima salinan-salinan dan obyek-obyek fikiran dan wujud-wujud lain yang mulia dan, melihatnya pula. Dengan adanya penerimaan-penerimaan itu maka orang tersebut mempunyai ramalan (Nubuwwah) terhadap perkara-perkara ketuhanan. Ini adalah tingkatan yang paling sempurna yang basa dicapai oleh kekuatan imajianasi dan dicapai oleh manusia karena kekuatan tersebut. Jadi ciri khas pertama seorang nabi menurut al-Farabi, ialah bahwa ia mempunyai daya imajinasi yang kuat dan memungkingkan dia dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, baik pada waktu ia tidur maupun pada waktu ia jaga. Dengan imajinasi tersebut ia bisa menerima pengetahuan-pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang nampak dalam bentuk wahyu dan impian yang benar. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Tuhan melalui al aql al fa’āl. Selain nabi nabi-nabi ada orang yang kuat daya imajinasinya, tetapi di bawah tingkatan nabi-nabi, dan oleh karena itu tidak dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, kecuali pada waktu tidur, dan kadang-kadang mereka sukar untuk dapat mengutarakan apa yang diketahuinya.
Demikianlah teori kenabian kenabian dari
al-Farabi yang dipertalikan dengan soal-soal kemasyarakatan, dan kejiwaan,
seperti yang dikemukakannya dalam bukunya ‘Ara-u Ahl al-Madinah
al.Fadhilah Menurut Al-Farabi, nabi dan filosof adalah orang-orang yang
pantas mengepalai negeri utamanya, dimana kedua-duanya dapat berhubungan dengan
al aql al fa’āl yang menjadi sumber syariat dan aturan yang diperlukan
bagi kehidupan tersebut. Perbedaan antara kedua orang tersebut ialah hubungan
nabi melalui imajinasi maka hubungan filosof melalui pembahasan dan pemikiran.
D. Teori
Politik al-Fārābi
Uraian
mengenai politik terdapat dalam bukunya yang sangat terkenal dan masyhur dengan
judul اراء
اهل المدينة الفاضلة ,
"Ara' Ahl al-Madinah al-Fadilah". Teori politiknya ini sangat erat
hubungannya dengan filsafat kenabian yang telah diutarakan oleh al-Farabi
sebelumnya. Kota, sebagai badan manusia, mempunyai bahgian-bahagian yang satu
dengan yang lain rapat hubungannya dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang
harus dijalankan untuk kepentingan keseluruhan badan. Dalam sebuah kota, kepada
masing-masing anggota masyarakat harus diberikan kerja yang sepadan dengan
kesanggupan masing-masing.
Pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat ialah
pekerjaan kepala masyarakat, yang dalam tubuh manusia serupa dengan pekerjaan
akal. Kepalalah sumber dari segala peraturan dan keharmonisan dalam masyarakat.
Ia mesti bertubuh sehat dan kuat, pintar, cinta pada ilmu pengetahuan dan
keadilan. Ia harus telah mempunyai akal dalam tingkat ketiga, akal mustafad
yang dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, pengatur bumi kita ini. Dan
sebaik-baik kepala ialah Nabi atau Rasul. Kepala yang serupa inilah yang dapat
mengadakan peraturan-peraturan yang baik dan berfaedah bagi masyarakat,
sehingga masyarakat menjadi makmur dan baik, dan di dalamnya anggota-anggota
dapat memperoleh kesenangan. Tugas kepala negara, bukan hanya mengatur negara
tetapi mendidik manusia untuk mempunyai akhlak yang baik.
Al Farabi membagi lima macam negara yakni المدينة الفاضلة/Al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama), المدينة الجاهلية/Al-Madinah al-Jahiliyyah (Negara Bodoh), المدينة الفاسقة/Al-Madinah al-Fasiqah (Negara Rusak), المدينة المبدلة/Al-Madinah al-Mubaddilah (Negara
Merosot/Berubah) dan المدينة الضلالة/Al-Madinah
adh-Dhalalah (Negara Sesat).
Kemudia lebih lanjut al-Farabi merinci macam-macam
negara yang termasuk dalam "negara bodoh", Negara itu yang pertama,
bisa berbentuk Al-Madinah adh-Dharuriyyah (negara kebutuhan dasar) yakni warga
negaranya bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia. Kedua,
adalah Al-Madinah an-Nadzalah (negara jahat), yaitu warga negaranya bekerja
sama untuk meraih kejayaan dan kemakmuran berlebihan dan tak mau
membelanjakannya kecuali untuk keperluan jasmani. Dilanjutkan dengan tipe ketiga
yaitu negara rendah atau Al-Madinah
al-Khassah, dimana warganya hanya memburu kesenangan belaka dengan mementingkan
hiburan dan hura-hura. Dan bentuk keempat
adalah Timokratik (negara kehormatan). Dimana, warga Negara ingin selalu
mendapat penghormatan, puji, dan kesenangan di antara bangsa-bangsa lain.
“Mereka ingin selalu diistimewakan. Bahkan, status seseorang itu ditentukan
oleh kelebihan yang dimilikinya. Dan, Negara pun diatur berdasar tingkatan
kelebihan mereka. Negara bodoh kelima yakni Al-Madinah at-Taghalub (negara
despotik). Bentuk negara ini, jelas Hafiz sangat buruk karena mereka ingin
menguasai orang lain, dan mencegah orang berkuasa atas dirinya. “Oleh karena
itu, mereka tak segan menumpahkan darah, memperbudak, dan berlaku kasar dan
kejam. Bahkan, yang jadi pemimpin adalah orang yang paling bisa menguasai orang
lain, paling kuat atau paling licik, dan
terakhir negara bodoh versi Al Farabi adalah Al-Madinah
al-Jama`iyyah (negara demokratik),
tujuan dari warga negara ini adalah kebebasan dan setiap warganya berhak
dengan apa saja yang dikehendaki. “Meski bentuk negara terakhir ini masuk
kategori bodoh, namun menurut Al Farabi justru negara ini paling terpuji di atara
negara yang bodoh lainnya.
PENUTUP
Dari uraian
diatas, dapat disimpulkan bahwa; yang ertama, konsep metafisika Al-Farabi tidak
hanya menunjuk soal wujud non-materi, sesuatu yang ghaib, atau sesuatu yang
melampui fisika. Tetapi mencakup
persoalan psikis, konsep yang ada dalam pikiran, bahkan epistimologis. Kedua,
dari sisi ontologis, pemikiran Al-Farabi selaras dan konsisten, dimana antar
bagiannya saling terkait. Ketiga, konsep Al-Farabi bahwa konsep manusia dibumi berada
diantara wujud materi yang rendah dan wujud metafisika yang tinggi, akan
menggiring kesimpulan bahwa pemahaman manusia tidak akan mencapai derajat
paling utama di tingkat makhluk ciptaan. Keempat, konsep emanasi Al-Farabi
hanya sampai tingkat 11, karena murni hasil renungan filosofinya.
DAFTAR PUSTAKA
Zainuddin. Ansar. 2016. PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI. http://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/11/pemikiran-filsafat-al-farabi.html. diakses pada
28 Februari 2016.
Farid Ismail, F.,
Mutawalli. AH., 2012. Cara mudah belajar filsafat. IRCiSoD: Jogjakarta
Soleh. Khudori., 2013.
Filsafat Islam. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar