Sabtu, 28 Oktober 2017

Filsafat Islam (Al-Farabi)



PENDAHULUAN
Peradaban Islam muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran yang berkembang dalam Islam. Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam adalah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam.
Adapun tokoh filsafat Islam Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun.
Ia termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”. Bahkan sejumlah kalangan menyebutnya sebagai “the second Master” atau Maha Guru Kedua setelah panutannya, Aristoteles.


PEMBAHASAN
2.1  Riwayat Hidup Al-Farabi.
Al-Farabi adalah bapak yang sebenarnya bagi filsafat Islam. Ia yang telah membangun kerangkanya, mengurai bagian-bagian utamanya, serta menghubungkannya dalam sebuah totalitas yang tetata rapi. Kita hampir tidak menemukan suatu konsep apapun pada generasi sesudahnya, kecuali didalamnya terdapay jejak Al-Farabi. Keutamaan yang dimilki oleh para filsuf adala dalam menjelaskan pendapat-pendapat Al-Farabi yang sulit serta merinci pemikiran global dari Al-Farabi. Oleh karena itu, ia diberi gelar “ Filsuf Umat Islam.”[1]
Al-Farabi, Alpharabius, nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh Al-Farabi, lahir di Farab, Provinsi Transoxiana, Turkestan tahun 257 H / 870 M. Ayahnya adalah pejabat tinggi militer pada masa Dinasti Samaniyah (819-999 M) yang menguasai Transoxiana, wilayahotonom dalam kekhalifahan Dinasti Abbas (758-1258 M), lalu pindah ke Bukhara. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah (1203-1270 M), di Bukhara ini, Al-Farabi pernah diangkat menjadi hakim setelah menyelsaikan studi ilmu-ilmu religiusnya. Tetapi, jabatan ini segera ditinggalakan ketika mengetahui ada seorang guru yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis, sebuah ilmu yang dasar-dasarnya telah dikenal baik lewat studi kalam (teologi dialektis) dan ushul al-fiqh (prinsip yurisprudensi).[2]
Tahun 922 M, Al-Farabi pindah ke Baghdad untuk mendalami filsafat. Ia belajar logika dan filsafat kepada Abu Bisyir Matta (870-940 M) dan terutama Yuhanna ibn Hailan (w. 932 M), tokoh filsafat Yunani aliran Aleksandria yang sekaligus mengajak Al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal disana selama 8 tahun guna mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantinopel, Al-Farabi mencurahkan diri untuk belajar, mengajar, dan menulis filsafat. Ia menjatuhkan diri dari pertikaian politik serta konflik-konflik religius dann sektarian yang menimpa Baghdad selam akhir periode ini.[3]
Pada 942 M, ketikaa situasi di Baghdad memburuk, Al-Farabi pindah ke Damaskus yang dikuasai Ikhsidiyah (935-969 M). Nsmun, tidak lama disana, ia segera pindah ke Mesir karena terjadi konflik politik antara Dinasti Ikhsidiyah dengan Hamdaniyah (890-1004 M). Aleppo dan Damaskus diduduki pasukan Hamdaniyah. Beberapa tahun di Mesir, Al-Farabi kembali ke Damaskus, dan kemudian ke Aleppo memenuhi undangan Saif Al-Daulah (916-967 M), putra mahkota Dinasti Hamdaniyah, untuk ikut dalam lingkaran diskusi orang-orang terpelajar. Dalam diskusi yang melahirkan penyair-penyair terkenal seperti Abu Thayyib Al-Mutanabbi (915-965 M), Abu Firas Al-Hamdani (932-968 M), dan ahli tata bahasa Ahmad Ibn Khulawaih (w. 980 ), Al-Farabi tampil mengesankan berkat kemampuannya menguasai beberapa bahasa, penguasaan ilmu-ilmu filosofis, dan bakat musiknya.
Al-Farabi meninggal di Damaskus pada bulan Rajab 339 H / Desember 950 M pada usia 80 tahun dan dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota bagian selatan, saif Ad-Daulah sendiri yang memimpin upacara pemakaman Al-Farabi.
2.2  Hasil Karya yang Telah Diciptakan Al-Farabi.
Menurut penelitian, setidaknya ada 119 buah karya tulis yang dihasilkan Al-Farabi, dan sayangnya kebanyakan dari karya ini telah hilang atau belum dipublikasikan. Secara garis besar, karya-karya ini dapat dikelompokkan dalam beberapa tema: logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, musik dan beberapa tulisan yang berisi tentang sanggahan terhadap pandangan filsuf tertentu. Dalam bidang logika, antara lain, Risalah Shudira Biha al-Kitab (Risalah yang dengannya Kitab Berawal)dan Risalah fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha (Risalah tentang jawaban atau petanyaan yang diajukan tentang-Nya); bidang fisika, syarh Kitab al-Sama’ al-Tabi’i li Aristutalis (komentar atas Fisika Aristoteles) dan Syarh Kitab al-Sama’ wa al-‘alam li Aristutalis (Bahasan atas Kitab Aristoteles tentang Langit dan Alam Raya); bidang metafisika, Fushus al-Hikam (Permata Kebijaksanaan) dan Kitab fi al-Wahid wa al-Wahdah (Kitab tentang Yang Satu dan Yang Maha Esa); bidang politik, Kitab Ara’ Ahl al-Madinat al-Fadhilah (Kitab tentang Opini Penghuni Kota Ideal), Kitab al-Siyasat al-Madaniyah (Kitab tentang Pemerintahan Negara Kota), Kitab al-Millat al-Fadlilah (Kitab tentang Komunitas Utama) dan Kitab Ihsha al-‘Ulum (Kitab tentang Pembagian Ilmu).[4]
2.3  Hasil dari Pokok-Pokok Pemikiran Filsafat Al-Farabi.
A.  Pemikiran al-Farabi Tentang Emanasi ( الفيض )
Dalam penciptaan alam menurut al-Farabi, Tuhan tidak mencipta alam, akan tetapi ia sebagai penggerak pertama dari segala yang ada. Dengan pemikiran ini, al-Farabi mencoba menjelaskan "bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu"          ( كيفية خروج الكثرة عن الواحد البسيط ). Tuhan bersifat Maha Satu, tidak berobah, jauh dari arti banyak, Maha sempurna, dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu? dengan alasan inilah  al-Farabi memaksakan pemikirannya dengan menyatakan bahwa alam ini muncul dari Allah dengan jalan emanasi atau pemancaran (ان العالم قد نشاْ عن الله عن طريق الفيض ( . Tuhan sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain, Tuhan merupakan wujud pertama (الوجود الاول) dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (الوجود الثاني) yang juga mempunyai substansi.                                                                                                                                     Dalam teori emanasi ini  Tuhan dilukiskan   sebagai yang  sama sekali Esa dan karenanya tidak bisa didefinisikan. Menurutnya,  definisi hanya akan menisbatkan batasan  dan  susunan kepada Tuhan yang itu mustahil bagi-Nya.  Tuhan  itu adalah substansi yang azali,  akal murni  yang  berfikir  dan  sekaligus difikirkan.  Ia    adalah  aql, aqil dan ma’qul sekaligus
Karena pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diri-Nya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang Esa. Dalam diri Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri.      Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berfikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan benda-benda langit lainnya, yaitu: Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus; Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter; Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars; Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari; Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus; Akal VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri; Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan; dan Akal X menghasilkan  Bumi. Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh dan materi pertama menjadi dasar keempat unsur pokok : air, udara, api dan tanah.
Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui pada zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang diwujudkannya. Begitulah alam  semesta tercipta  dalam filsafat emanasi Al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak itu, tetapi melalui Akal-Akal dalam rangkaian emanasi. Dengan demikian dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak dan Tuhan juga tidak langsung berhubungan dengan yang banyak. Inilah tauhid yang murni dalam pendapat Al-Farabi dan filsuf-filsuf muslim berikutnya yang menganut faham emanasi. Implikasi logis dari faham emanasi ini adalah pendapat bahwa alam diciptakan bukan dari tiada atau nihil (creatio ex nihilo) sebagaimana sebelumnya masih diterima oleh al-Kindi, tetapi dari sesuatu materi asal yang sudah ada sebelumnya yaitu api, udara, air dan tanah. Materi asal itupun bukannya timbul dari ketiadaan, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan oleh pemikiran Tuhan.
Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada. Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan. Karena Tuhan befikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian alam qadim.
Dengan dasar inilah  menurut al-Farabi, bahwa alam materi ini ada bukan karena diadakan oleh Allah dengan cara penciptaan, tapi alam ini bisa ada karena proses emanasi atau pemancaran. Hal tersebut menurutnya karena beberapa alasan: (1). Proses penciptaan itu mengharuskan perubahan pada zat pencipta, dan hal itu mustahil pada Allah (لان الخلق يقتضي التغيير في ذات الخالق ), (2). Proses penciptaan akan mengharuskan keterkaitan yang abadi antara yang mencipta dan yang diciptakan (ان عملية الخلق تقتضي الاتصال الدائم بين الخالق والمخلوق ), sementara itu tidak mungkin terjadi, dan (3). Allah itu Maha Esa dari segala segi, makanya tidak akan muncul sesuatu dariNya kecuali satu pula (لان الله واحد من جميع الجهات ولا يصدر عنه الا واحد). Dengan alasan-alasan inilah al-Farabi telah memaksakan teorinya bahwa alam ini ada bukan karena diadakan oleh Allah dengan cara penciptaan akan tetapi itu merupakan "proses munculnya yang banyak dari Yang Satu dengan tetap terpeliharanya wujud yang Satu ini dengan ke-Esaan-Nya dan Kesempurnaan-Nya" ( صدور الكثرة عن الواحد مع احتفاظ هذا الواحد بوحدته وكماله ).
B.   Filsafat Jiwa al-Fārābi
Pada umumnya para filosof Muslim mengikuti aliran Aristoteles dalam hal jiwa manusia, yaitu berupa daya makan, daya indra, dan daya pikir. Al-Farabi membagi jiwa menjadi tiga bagian:
1.        Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
2.        Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan panca indra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra dalam yang berada di otak dan terdiri dari: i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra; ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi; iii. Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini; iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut; v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti.
3.        Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang. b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Al-Farabi menjelaskan bahwa manusia mempunyai lima kemampuan atau daya. Pertama, kemampuan untuk tumbuh yang disebut daya vegetatif (القوة الغاذية) sehingga memungkinkan manusia berkembang menjadi besar dan dewasa. Kedua, daya mengindera (القوة الحاسة), sehingga memungkinkan manusia dapat menerima rangsangan seperti panas, dingin dan lainnya. Daya ini membuat manusia mampu mengecap, membau, mendengar dan melihat warna serta objek-objek penglihatan lain. Ketiga, daya imajinasi (القوة المتخيلة) sehingga memungkinkan manusia masih tetap mempunyai kesan atas apa yang dirasakan meski objek tersebut telah tidak ada lagi dalam jangkauan indera. Daya ini juga mempunyai kemampuan untuk menggabungkan atau memisahkan kesan-kesan yang diterima dari indera sehingga menghasilkan kombinasi atau potongan-potongan. Hasilnya bisa benar atau salah. Keempat, daya berpikir (القوة الناطقة) yang memungkinkan manusia untuk memahami berbagai pengertian sehingga dapat membedakan antara yang satu dengan lainnya, kemampuan untuk menguasai ilmu dan seni. Kelima, daya rasa (القوة التروعية), yang membuat manusia mempunyai kesan dari apa yang dirasakan: suka atau tidak suka.
 Pengetahuan manusia, menurut al-Farabi, diperoleh lewat tiga daya yang dimiliki, yaitu daya indera (القوة الحاسة), daya imajinasi (القوة المتخيلة) dan daya pikir (القوة الناطقة), yang masing-masing disebut sebagai indera eksternal, indera internal dan intelek. Tiga macam indera ini merupakan sarana utama dalam pencapaian keilmuan.
"Konsep psikologi" al-Farabi, jika diistilahkan demikian, sungguh sangat modern dan “manusiawi”. Menurutnya, manusia tidak hanya merangkum potensi-potensi tumbuhan (vegetatif) dan binatang (animal) sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang, tetapi yang terpenting adalah potensi-potensi nalar (rasional). Lebih dari itu, manusia juga mempunyai potensi intelek ( العقل الكلي ) sehingga mampu melepaskan diri dari kungkungan dunia material untuk selanjutnya menjangkau realitas-realitas metafisis non-material. Bahkan, intelek ini pulalah yang mampu mengantarkan manusia “bertemu” dengan Tuhannya. Disinilah nilai utama seorang manusia dibanding makhluk lain.
C.  Filsafat Kenabian al-Fārābi
Pada masa-masa pertama Islam kaum Muslimin mempercayai sepenuhnya apa yang datang dari Tuhan, tanpa membahasnya atau mencari-cari alasannya. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama karena karena hal ini mulai dikeruhkan dengan oleh berbagai hal keraguan, setelah golongan-golongan di luar Islam perlahan-lahan dapat memasuki fikiran ummat muslim. Golongan-golongan itu adalah golongan Mazdak, dan Manu dari Iran, golongan Sumniyah dari agama Mrahma, serta orang-orang Yahudi dan Masehi. Sejak saat itu, setiap dasar-dasar agama Islam dibahas dan dikritik.
            Sehubungan dengan ini, kritikan Ibn ar-Rawandi (Wafat akhir 111 H) dan Abu Bakar ar-Razi (Wafat 250 H). terhadap kenabian perlu dicatat,  Ibnu ar-Rawandi dan dalam bukunya yang berjudul Az Zamarrudah mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad SAW pada khususnya, ia banyak memberikan kritikan terhadap ajaran-ajaran Islam dan Ibadahnya, dan menolak mukjizat-mukjizat keseluruhannya. Khusus mengenai kenabian, ia mengatakan bahwa rasul-rasul itu sebenarnya tidak diperlukan, karena Tuhan telah memberikan akal kepada manusia, agar mereka dapat membedakan antar yang baik dan yang buruk. Pada intinya Ibnu ar-Rawandi dalam hal ini berpendapat bahwa keberadaan akal itu sudah cukup.
            Ar-Razi seorang dokter dan tokoh filsafat, juga tidak kurang bahaya, karena ia menulis dua buku, yaitu Makhariq al-Anbiya aw HiIya al-Munatanabbi-in (Mainan nabi-nabi atau tipu daya terhadap orang yang mengaku menjadi Nabi) dan Naqdl al-Adyan aw fi an Nubuwwah (Menentang agama-agama atau menentang kenabian). Menurut Massignon, buku pertama tersebar luas, sampai mencapai Dunia Barat sehingga buku tersebut menjadi sumber kritikan-kritikan yang dlancarkan oleh para rasionalis eropa terhadap agama dan kenabian. Pada masa Frederick II Buku kedua, beberapa bagiannya sampai kepada kita melalui tulisan-tulisan Abu Hatim ar-Razi (Wafat tahun 330 H) dalam bukunya A’lam an-Nubuwwah yang dikarang untuk menolak pandangan ar-Razi mengenai teori kenabian. Serangan Abu bakar ar-Razi pada pada garis besarnya tidak banyak berbeda dengan serangan ar-Rawandi, seolah-olah kedua orang tersebut bersumber satu, atau seolah-olah ajaran Hindu dan Manu tersembunyi di belakangnya, dan tidak jauh kemungkinannya kalau keduanya mengetahui kritik orang-orang Yunani terhadap berbagai agama. Bagaimanapun juga, baik karena terpengaruh oleh fikirannya sendiri, namun yang jelas ialah bahwa ia mengakui dirinya sebagai sebagai orang-orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan khusus, baik fikiran maupun rohani, karena semua itu, dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak dibedakannya seseorang dengan lainnya.
             Dalam suasana penuh perdebatan tentang kenabian munculah al Farabi, ia merasa bahwa dirinya harus mengambil bagian, apalagi ia hidup semasa dengan Ibnu ar-Rawandi dan Abu Bakar ar-Razi. Sebagai hasil penggabungannya dengan filsafat yang merupakan kegiatan utama bagi filosof-filosof Islam, maka al-Farabi adalah merupakan orang pertama yang membahas tetnag kenabian secara lengkap sehingga penambahan dari orang lain hampir tidak ada. Total kenabian al-Farabi yang merupakan bagian terpenting dalam filsafat, ditegakkan atas dasar-dasar psikologi dan metafisika, dan erat hubungannya dengan lapangan-lapangan akhlak Pada waktu membicarakan negeri utama dari al-Farabi kita melihat bahwa manusia dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, meskipun terbatas hanya pada orang tertentu.
            Hubungan tersebut bisa ditempuh dengan dua jalan, yaitu: jalan fikiran dan jalan imajinasi penghayalan), atau dengan perkataan lain melalui renungan fikiran dan inspirasi (ilham). Sudah barang tentu tidak semua orang dapat mengadakan hubungan dengan al aql al fa’āl. Melainkan hanya orang yang mempunyai jiwa suci yang dapat menembus dinding-dinding alam gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan melalui renungan-renungan fikiran yang banyak, seorang hakim (bijaksana) dapat mengalahkan hubungan tersebut dan orang  semacam inilah yang bisa diserahi oleh al-Farabi untuk mengurusi negeri utama
yang dikonsepsikannya itu, Akan tetapi di samping melalui pemikiran hubungan
dengan al aql al fa’āl bisa terjadi dengan jalan imajinasi, dan keadaan
ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua ilham dan wahyu yang disampaikan kepada kita
merupakan salah satu bekas dan pengaruh imajinasi tersebut.
            Ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi pada waktu tidur ataupun jaga, atau dengan perkataan lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan antara kedua cara ini bersifat relatif dan hanya mengenai tingkatannya, tetapi tidak mengenai esensinya (hakikatnya). Impian yang benar tidak lain adalah merupakan salah satu cabang kenabian yang erat hubungannya dengan wahyu dan tujuannya juga sama Meskipun berbeda caranya. Jadi apabila kita dapat menerangkan salah satunya, maka dapat pula kita menerangkan yang lain. Hubungan antara kedua cara tersebut dijelaskan oleh al-Farabi dalam bukunya Ara’u Ahl Madinah al-Fadhilah. Kalau imajinasi dapat mengadakan gambaran-gambaran tersebut dengan bentuk alam rohani. Misalnya orang tidur melihat langit dan orang-orang yag menempatinya serta meraskan senang terhadap kenikmatan-kenikmatan yang ada di dalamnya. Di samping itu imajinasi kadang-kadang naik kealam langit dan berhubungan dengan al aql al fa’āl untuk menerima hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa khusus atau peristiwa-peristiwa perorangan, dan dari sini maka terjadilah peramalan.
            Hubungan tersebut bisa terjadi di waktu siang atau
pun di waktu malam, dan dengan adanya hubungan ini maka kita dapat menafsirkan kenabian, karena. hubungan tersebut merupakan sumber impian yang benar dan wahyu. Orang yang melihat hal sedemikian itu mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kebesaran yang agung dan mengagumkan, dan ia melihat perkara-perkara ajaib yang tidak mungkin sama sekali terdapat pada alam maujud. Apabila kekuatan imajinasi seseorang telah mencapai akhir kesempurnaan, maka tidak ada kalangannya pada waktu jaga untuk menerima dari al aql al fa’āl peristiwa-peristiwa sekarang atau peristiwa-peristiwa mendatang, atau obyek-obyek inderawi yang merupakan salinannya. Ia dapat pula menerima salinan-salinan dan obyek-obyek fikiran dan wujud-wujud lain yang mulia dan, melihatnya pula. Dengan adanya penerimaan-penerimaan itu maka orang tersebut mempunyai ramalan (Nubuwwah) terhadap perkara-perkara ketuhanan. Ini adalah tingkatan yang paling sempurna yang basa dicapai oleh kekuatan imajianasi dan dicapai oleh manusia karena kekuatan tersebut. Jadi ciri khas pertama seorang nabi menurut al-Farabi, ialah bahwa ia mempunyai daya imajinasi yang kuat dan memungkingkan dia dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, baik pada waktu ia tidur maupun pada waktu ia jaga. Dengan imajinasi tersebut ia bisa menerima pengetahuan-pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang nampak dalam bentuk wahyu dan impian yang benar. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Tuhan melalui al aql al fa’āl. Selain nabi nabi-nabi ada orang yang kuat daya imajinasinya, tetapi di bawah tingkatan nabi-nabi, dan oleh karena itu tidak dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, kecuali pada waktu tidur, dan kadang-kadang mereka sukar untuk dapat mengutarakan apa yang diketahuinya. 
             Demikianlah teori kenabian kenabian dari al-Farabi yang dipertalikan dengan soal-soal kemasyarakatan, dan kejiwaan, seperti yang dikemukakannya dalam bukunya ‘Ara-u Ahl al-Madinah al.Fadhilah Menurut Al-Farabi, nabi dan filosof adalah orang-orang yang pantas mengepalai negeri utamanya, dimana kedua-duanya dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl yang menjadi sumber syariat dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan tersebut. Perbedaan antara kedua orang tersebut ialah hubungan nabi melalui imajinasi maka hubungan filosof melalui pembahasan dan pemikiran.
D.  Teori Politik  al-Fārābi
            Uraian mengenai politik terdapat dalam bukunya yang sangat terkenal dan masyhur dengan judul اراء اهل المدينة الفاضلة , "Ara' Ahl al-Madinah al-Fadilah". Teori politiknya ini sangat erat hubungannya dengan filsafat kenabian yang telah diutarakan oleh al-Farabi sebelumnya. Kota, sebagai badan manusia, mempunyai bahgian-bahagian yang satu dengan yang lain rapat hubungannya dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan keseluruhan badan. Dalam sebuah kota, kepada masing-masing anggota masyarakat harus diberikan kerja yang sepadan dengan kesanggupan masing-masing.
Pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat ialah pekerjaan kepala masyarakat, yang dalam tubuh manusia serupa dengan pekerjaan akal. Kepalalah sumber dari segala peraturan dan keharmonisan dalam masyarakat. Ia mesti bertubuh sehat dan kuat, pintar, cinta pada ilmu pengetahuan dan keadilan. Ia harus telah mempunyai akal dalam tingkat ketiga, akal mustafad yang dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, pengatur bumi kita ini. Dan sebaik-baik kepala ialah Nabi atau Rasul. Kepala yang serupa inilah yang dapat mengadakan peraturan-peraturan yang baik dan berfaedah bagi masyarakat, sehingga masyarakat menjadi makmur dan baik, dan di dalamnya anggota-anggota dapat memperoleh kesenangan. Tugas kepala negara, bukan hanya mengatur negara tetapi mendidik manusia untuk mempunyai akhlak yang baik.
Al Farabi membagi lima macam negara yakni المدينة الفاضلة/Al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama), المدينة الجاهلية/Al-Madinah al-Jahiliyyah (Negara Bodoh), المدينة الفاسقة/Al-Madinah al-Fasiqah (Negara Rusak), المدينة المبدلة/Al-Madinah al-Mubaddilah (Negara Merosot/Berubah) dan المدينة الضلالة/Al-Madinah adh-Dhalalah (Negara Sesat).
Kemudia lebih lanjut al-Farabi merinci macam-macam negara yang termasuk dalam "negara bodoh", Negara itu yang pertama, bisa berbentuk Al-Madinah adh-Dharuriyyah (negara kebutuhan dasar) yakni warga negaranya bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia. Kedua, adalah Al-Madinah an-Nadzalah (negara jahat), yaitu warga negaranya bekerja sama untuk meraih kejayaan dan kemakmuran berlebihan dan tak mau membelanjakannya kecuali untuk keperluan jasmani. Dilanjutkan dengan tipe ketiga yaitu  negara rendah atau Al-Madinah al-Khassah, dimana warganya hanya memburu kesenangan belaka dengan mementingkan hiburan dan hura-hura. Dan  bentuk keempat adalah Timokratik (negara kehormatan). Dimana, warga Negara ingin selalu mendapat penghormatan, puji, dan kesenangan di antara bangsa-bangsa lain. “Mereka ingin selalu diistimewakan. Bahkan, status seseorang itu ditentukan oleh kelebihan yang dimilikinya. Dan, Negara pun diatur berdasar tingkatan kelebihan mereka. Negara bodoh kelima yakni Al-Madinah at-Taghalub (negara despotik). Bentuk negara ini, jelas Hafiz sangat buruk karena mereka ingin menguasai orang lain, dan mencegah orang berkuasa atas dirinya. “Oleh karena itu, mereka tak segan menumpahkan darah, memperbudak, dan berlaku kasar dan kejam. Bahkan, yang jadi pemimpin adalah orang yang paling bisa menguasai orang lain, paling kuat atau paling licik, dan  terakhir negara bodoh versi Al Farabi adalah Al-Madinah al-Jama`iyyah (negara demokratik),  tujuan dari warga negara ini adalah kebebasan dan setiap warganya berhak dengan apa saja yang dikehendaki. “Meski bentuk negara terakhir ini masuk kategori bodoh, namun menurut Al Farabi justru negara ini paling terpuji di atara negara yang bodoh lainnya.
PENUTUP
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa; yang ertama, konsep metafisika Al-Farabi tidak hanya menunjuk soal wujud non-materi, sesuatu yang ghaib, atau sesuatu yang melampui fisika. Tetapi mencakup persoalan psikis, konsep yang ada dalam pikiran, bahkan epistimologis. Kedua, dari sisi ontologis, pemikiran Al-Farabi selaras dan konsisten, dimana antar bagiannya saling terkait. Ketiga, konsep Al-Farabi bahwa konsep manusia dibumi berada diantara wujud materi yang rendah dan wujud metafisika yang tinggi, akan menggiring kesimpulan bahwa pemahaman manusia tidak akan mencapai derajat paling utama di tingkat makhluk ciptaan. Keempat, konsep emanasi Al-Farabi hanya sampai tingkat 11, karena murni hasil renungan filosofinya.

DAFTAR PUSTAKA

Farid Ismail, F., Mutawalli. AH., 2012. Cara mudah belajar filsafat. IRCiSoD: Jogjakarta
Soleh. Khudori., 2013. Filsafat Islam. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta


[1] Dr. Fu’ad Farid Ismail, Dr. Abdul Hamid Mutawalli. Cara Mudah Belajar Filsafat. IRCiSoD. Jogjakarta. 2012. 203
[2] Dr. H.A. Khudori Soleh, M. Ag. Filsafat Islam, Ar-Ruzz Media. Jogjakarta. 2013. 112
[3] Ibid, 113
[4] Ibid, 114

Tidak ada komentar:

Posting Komentar