Sabtu, 28 Oktober 2017

Multi Level Marketing



PENDAHULUAN

Akhir-Akhir ini, banyak penelitian tentang Multi Level Marketing (MLM) yang terjadi di Indonesia. Baik masalah tata cara melakukannya, akad maupun hukum yang dipakai didalamnya apakah sudah sesuai dengan syariat Islam atau belum. Multi Level Marketing (MLM) sendiri merupakan sistem pemasaran berbentuk piramida (berjenjang).
Banyak orang berpandangan bahwa melakukan kegiatan atau bisnis Multi Level Marketing (MLM) merupakan suatu larangan. Karena hanya menguntungkan salah satu pihak saja, juga mengandung madharat-madharat yang lain. Hal ini dibuktikan oleh beberapa orang  yang telah bergabung dengan bisnis tersebut merasa terjadi adanya gharar (tipuan), dlarar (kerugian), jahalah (ketidakjelasan).
Namun, isu yang jarang sekali dibahas adalah Multi Level Marketing (MLM) dalam Islam yang sebenarnya boleh dilakukan. Asalkan sesuai dengan syariat fiqh yang telah ditentukan dalam agama Islam itu sendiri. Akad yang biasa diperbolehkan dan biasa digunakan dalam MLM adalah akad ba’i (jual beli), samsarah (makelar) dan ju’alah (pengupahan).
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian MLM
Diera modern di tengah peliknya orang mencari nafkah, banyak tawaran dan pilihan untuk melakukan bisnis dan beriwirausaha. Belakangan ini muncul salah satu usaha baru yang kita kenal denga istilah Multi Level Marketing (MLM). Orang Arab menyebut MLM Attaswiqul Hirami yang bermakna perdagangan dengan sistem piramida. Sedang masyarakat Irak menyebutnya Bazaryabi Syabake’i yang berarti perdagangan dengan sistem jaringan. Istilah yang digunakan dalam muamalah  ialah bisnis atau transaksi dengan cara merekrut anggota sebanyak-banyaknya. Ciri utama dalam bisnis MLM adalah; pertama, merekrut anggota. Kedua, anggota-anggota tersebut dibentuk sedemikian rupa hingga membentuk piramida. Sekalipun masih ada beberapa cara dengan menjual barang atau menjual jasa tertentu. Ada juga yang hanya menjual sebuah buku, yang dikenal dengan money game (permainan uang).
            Harian Kompas memberitakan bahwa Multi Level Marketing (MLM) yaitu entitas ekonomi yang mendorong penciptaan tenaga keja baru. Sedang menurut wikipedia bahasa indonesia Multi Level Marketing (MLM) adalah strategi pemasaran dimana tenaga penjual (sales) tidak hanya mendapatkan kompensasi atas penjualan yang mereka hasilkan, tetapi juga atas hasil penjualan sales lain yang mereka rekrut.
Yang perlu ditekankan disini adalah Multi Level Marketing (MLM) berbeda dengan e-shooping, e-commerce atau dengan sistem belanja online lainnya. Jejaring MLM juga berbeda dengan jejaring pemasaran lainnya, yakni antara produsen, distributor, agen dan pelanggan. Multi Level Marketing (MLM) lebih mengedepankan member, tanpa melalui agen dan distributor, sehingga jaminan produsen kepada pelanggan juga masih dipertanyakan.

2.2 Perkembangan MLM di Indonesia
Seiring dengan berjalannya waktu, perusahaan MLM semakin berkembang pesat dengan memasarkan berbagai jenis dan macam produk. Amway merupakan salah satu perusahaan pertama yang memasarkan produknya dengan sistem jaringan, hingga saat ini masih menjadi perusahaan yang besar dan telah beroperasi beberapa puluh tahun lamanya diberbagai negara termasuk masuk ke Indonesia pada tahun 1998.[1]
Di Indonesia Multi Level Marketing (MLM) yang pertama adalah perusahaan CNI. Perusahaan ini berdiri di Bandung dengan nama PT. Nusantara Sun Chorella Tama yang pada akhirnya berubah menjadi PT. Centranusa Insan Cemerlang atau kadang-kadang disebut juga dengan Creative Network Internasional. PT CNI kemudian pindah ke Jakarta dan membuka cabang di Hongkong, Malaysia serta Amerika. Di Hongkong PT CNI, bersiap-siap mengembangkan kedataran China yang penduduknya sekitar satu milyar lebih. Sedangkan di Malaysia CNI persaing ketat dengan beberapa perusahaan yang sejenis. CNI juga melebarkan sayap ke Amerika yang dinilai sungguh berani, karena Amerika merupakan negara asal MLM.[2]
Indonesia yang berpenduduk 200 juta lebih jiwa merupakan lahan yang subur untuk mengembangkan bisnis MLM.  Banyak pengusaha yang ingin mendirikan MLM di Indonesia, terutama pengusaha dari Malaysia. Para  pebisnis MLM harus bergabung dalam satu wadah yang namanya Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI). Sebagai organisasi yang berdiri dan bekerja atas kesepakatan bersama diantara para anggotanya, APLI merumuskan kode etik yang mengatur para anggotanya agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat, sekaligus kerjasama untuk memecahkan persoalan bersama. Keanggotaannya ini bersifat bebas, artinya setiap MLM boleh bergabung atau tidak dengan organisasi ini. Untuk Indonesia yang menjadi pelopor bergabung menjadi anggota APLI adalah PT Centranusa Insan Cemerlang (CNI). Beberapa MLM asing mulai berdatangan ke Indonesia seperti Tianshi dari China, K-Link dari Malaysia, Avail dari China dan sebagainya. Saat ini pelaku bisnis MLM telah mencapai kisaran 5-6 juta jiwa. Mereka bergabung kedalam bisnis MLM  baik lokal maupun asing. Keberadaannya sangat beragam baik dari sisi produk, sistem ijin usaha, dan keanggotaannya pada Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia. Hingga bulan April 2011 yang menjadi anggota APLI tercatat 67 perusahaan.
Tidak sedikit orang yang mengatasnamakan bisnis jaringan untuk menggerakkan perusahaan pribadinya, bahkan hanya untuk mengeruk keuntungannya. Banyak orang Indonesia yang tertipu dengan iming-iming yang sifatnya menggiurkan. Hal inilah salah satu penyebab jaringan MLM di Indonesia dipandang negatif. Meskipun demikian, ada sebagian masyarakat yang pandai mempengaruhi orang lain dengan menjelaskan bahwa MLM tidak ada unsur keharaman atau bahkan menguntungkan.
Menurut MUI, kategori MLM yang ada di Indonesia ada 2, yakni:
a.       Konvensional
Untuk konvensional sudah diverifikasi. Lebih tepatnya telah masuk menjadi anggota APPLI seperti yang sudah dijelaskan tadi.
b.      Syariah
Suatu perusahaan MLM dapat dikatakan syariah atau ingin mendapatkan sertivikat syariah harus meemnuhi beberapa persyaratan  yang cukup ketat. Harus lulus dan mengajukan ke DSN.
Prinsip-prinsip tersebut adalah:
Ø  Tabadul al-manafi’ (tukar menukar barang yang bernilai manfaat)
Ø  ‘An Taradlin (kerelaan dari kedua pihak yang bertransaksi dengan tidak ada paksaan)
Ø  ‘Adamu al-gharar (tidak berspekulasi yang tidak jelas / tidak transparan)
Ø  ‘Adamu Maysyir (tidak ada untung-untungan atau judi seperti ba’i al-hashat yi: melempar barang dengan batu kerikil dan yang terkena leparan itu harus dibeli, atau seperti membeli tanah seluas lemparan kerikil dengan harga yang telah disepakati, dan ba’i al-lams yi: barang yang sudah disentuh harus dibeli)
Ø  ‘Adamu Riba (tidak ada sistem bunga-berbunga)
Ø  ‘Adamu al-gasysy (tidak ada tipu muslihat), seperti al-tathtif (curang dalam menimbang atau menakar)
Ø  ‘Adamu an-najasy (tidak melakukan najasy yaitu menawar barang hanya untuk mempengaruhi calon pembeli lain sehingga harganya menjadi tinggi)
Ø  Ta’awun ‘ala birri wa taqwa (tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa)
Ø  Musyarakah (kerja sama)
Sekitar 5,5 juta penduduk Indonesia kini sedang aktif menjalankan bisnis MLM dan sedikitnya 250 produk maupun jasa ikut menggunkan sisitem pemasaran jaringan tersebut. Seiring pertumbuhan itulah bisnis pemasarang jaringan akan terus berkembang dan ini mengindikasikan bahwa bisnis pemasaran jaringan tidak pernah akan habis.
2.3  Sistem MLM
Seperti yang telah di paparkan di atas, bisnis MLM sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Bisnis ini terus berkembang sesuai dengan pekembangan zaman. Di Indonesia sendiri, terdapat banyak sekali perusahaan MLM yang bersaing demi mendapatkan apa yang menjadi target mereka dalam berbisnis. Tentunya, hal ini membutuhkan sistem yang yang dianggap mampu untuk menarik masyarakat agar mereka mau bergabung dengan bisnis ini. Adapun sitem yang paling “masyhur” yang terdapat di Indonesia, antara lain:
1.      Sistem Binary Plan
     Sistem Binary Plan  ini mengutamakan pengembangan jaringan hanya dua leg saja serta keseimbangan jaringan. Semakin seimbang jaringan dan omset bisnis ini. Maka, semakin besar pula bonus yang akan diterima. Namun, jika tidak seimbang maka bonus-bonus tersebut mengalir deras ke dalam perusahaan. Agar terlihat semakin mudah mendapatkan uang, mitra-mitra dari perusahaan seperti ini menerapkan aturan mendapatkan uang sebagai bonus dari perekrutan mitra yang mereka ajak. Ini sama halnya dengan trafficking akan tetapi caranya lebih halus. Biasanya, sistem ini memberikan bonus besar pada awal karir saja, sebagai iming-iming bahwa menjalankan MLM dengan sistem ini sangatlah mudah. Kenyataannya, sistem ini menciptakan kesimpulan bahwa yang mendapat untung hanyalah mereka yang join lebih awal. Maka dari itu, sistem ini tidak pernah mendapatkan sertifikasi syari’ah bagi sistemnya.
     Perusahaan yang menggunakan sistem ini biasanya hanya dapat bertahan kurang dari sepuluh tahun, bahkan kurang dari lima tahun saja.
2.      Sistem matrix
     Sitem Matrix ini, pengembangan jaringannya menggunakan konsep tiga frontline saja dan begitu pula selanjutnya ke bawah. Jenis sistem ini muncul untuk mengakali sistem binary yang di anggap money game. Namun, sistem ini biasanya bernasib sama seperti sistem yang ada di atas, hanya bertahan beberapa tahun saja.
3.      Sistem Break Away
     Sistem ini, pengembangan jaringannya mengutamakan kelebaran. Semakin banyak jumlah frontline semakin banyak pula binus yang akan diterima. Sistem ini memungkinkan downline untuk melebihi uplinenya. Bonus yang didapatkan biasanya kecil di awal, namun besar di perngkat atas. Dikarenakan, bonus member di awal karirnya kecil, maka biasanya perusahaan ini menggunakan iming-iming bonus dengan cara perekrutan.
2.4  Pandangan Islam terhadap MLM
MLM merupakan salah satu sistem pemasaran yang mana metode pengaplikasiannya langsung kepada konsumen tanpa adanya perantara dari pihak lain. Islam telah mengatur tata cara jual beli sesuai dengan syariat yang telah di tentukan. Hukum asal dari MLM adalah mubah karena pada dasarnya, MLM merupakan suatu sistem yang masuk dalam kategori mu’amalah, dan mu’amalah sendiri diperbolehkan dalam syari’at Islam. Hal ini mengacu pada keumuman firman Allah SWT :
وَأَحَلَّ اللَّه الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا   
Artinya:
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (Q.S. Al-Baqoroh: 195)   
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّن رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-nya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya siksa Allah SWT amat berat.” (Q.S. Al-Maidah: 2)
Dalam kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
الاصل فى العقود والمعاملات االصحة حتى يقوم دليل على بطلان والتحريم [3]
الاصل فى الاشياء الاباحة  حتى يدل الدليل على التحريم [4]
Ketika berbicara tentang hukum suatu jenis muamalah, kita tidak mungkin lepas dari berbicara mengenai jenis akadnya. Dalam buku An-Nadzariyyat al-Fiqhiyyah, Dr. Muhammad Al-Zuhaily (Dekan fakultas Syari’ah Damascus University) menyatakan bahwa dalam akad, ada syarat-syarat umum yang berlaku bagi semua akad, dan ada pula syarat-syarat tertentu yang berlakunya adalah bagi akad tertentu saja, dan tidak bagi yang lainnya.
Bila dilihat dari sudut pandang fikih, ada tiga jenis akad yang potensial terjadi dalam MLM, yaitu:
1.      Bai’ (jual beli)
Secara bahasa, jual beli berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurut madzhab hanafiyah jual beli adalah pertukaran harta dengan harta menggunakan cara tertentu. Cara yang dimaksud adalah sighot/ ungkapan, ijab dan qobul.[5]
Syarat yang harus diwujudkan dalam akad ba’i adalah sebagai berikut:
a.       ‘Akid
Ditandai dengan akil baligh dan tidak dalam keadaan tercekal
b.      Akad
Akad itu dianggap berlaku dan berkekuatan hukum, apabila tidak memiliki khiyar (hak pilih/opsi). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ‘aib dan sejenisnya.
c.       Tempat terjadinya akad
d.      Ma’kud ‘alaih
2.      Ju’alah (pengupahan)
Ju’alah identik dengan sayembara. Yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Secara harfiah, ju’alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan. 
Syarat:
1.      Orang yang menjanjkan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu orangnya baligh, orangnya berakal dan orangnya cerdas.
2.      Upah atau hadiah yang dijanjikan harus tediri dari sesuatu yang bernilai harta dan jelas jumlahnya.
3.      Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh pekerjaan itu bisa dimanfaatkan menurut hokum syara’.
4.      Madzhab Syafi’i dan Maliki menambahkan syarat, bahwa dalam masalah tertentu ju’alah tidak boleh di bataasi dengan waktu tertentu , seperti mengembalikan (menemukan) orang yang hilang. Sedangkan madzhab Hanbali membolehkan pemabatasan waktu.
5.      Madzhab Hanbali menambahkan syarat, bahwa pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu, tidak terlalu berat, meskipun dapat dilakukan berulang kali seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah yang banyak.
6.      Akad ju’alah bersifat suka rela.
3.      Samsarah (makelar).
Menurut jumhur ulama, samsarah termasuk jenis akad ijarah. Sehingga didalamnya berlaku ketentuan-ketentuan akad ijarah dan bersifat mengikat (luzum) terhadap kedua belah pihak. Maksudnya, salah satu pihak tidak boleh keluar akad begitu saja, tetapi harus melanjutkan akad tersebut sampai selesai.
Dan untuk sahnya pekerjaan makelar/samsarah  harus memenuhi beberapa syarat disamping persyaratan diatas, antara lain sebagai berikut:[6]
1.      Perjanjian jelas kedua belah pihak. (An-Nisa: 29)
2.      Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan.
3.      Obyek akad bukan hal-hal yang maksiat atau haram. Distributor dan perusahaan harus jujur, ikhlas, transparan, tidak menipu dan tidak menjalankan bisnis yang haram dan syubhat. 
Realitas yang terjadi di Indonesia, proses kinerja MLM melenceng dari syari’at agama islam. Sehingga, mayoritas ulama mengharamkan bisnis ini ditinjau dari dampak yang ditimbulkannya. Adapan sebab sebab diharamkannya MLM adalah sebagai berikut:
1.      Hukum akad yang terjadi dalam bisnis ini adalah adanya dua akad dalam satu transaksi, atau yang dikenal dengan istilah safqatain fi safqah, atau baiatain fi baiah. Akad yang pertama adalah akad jual beli (bay’). Hal ini terjadi secara berurutan akad ijarah untuk jasa dan akad syirkah untuk barang. Dibuktikan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Amr bin Syu’aib:
نهى رسول الله عن صفقتين فى صفقة واحدة [7]
“Rasulullah  SAW. telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan”.

Hadis yang senada dikemukakan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya shohih ibn hibban dengan redaksi sebagai berikut:
لا تحل في صفقة [8]
     “Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan dalam satu akad”
2.      Hukum pemakelaran atas pemakelaran, atau samsarah ala samsarah. Upline adalah simsar. Baik bagi pemilik langsung ataupun tidak langsung, yang kemudian memakelari downline di bawahnya, dan selanjutnya downline dibawahnya menjadi makelar bagi downline dibawahnya lagi dan seterusnya.
3.      Karena adanya unsur gharar ( tidak adanya kejelasan) yaitu mereka yang terjun didalam bisnis ini hanya tergiur oleh bonus-bonus yang dijanjikan yang belum tentu benar adanya.
4.      Adanya praktek ghabn fahisy (penipuan harga) yaitu dinaikannya harga berkali lipat dari harga pada umumnya yang apabila produk tersebut dijual di pasar tidak akan mencapai harga yang ditawarkan.
5.      Adanya unsur eksploitasi terhadap orang lain, karena penjual memanfaatkan kebutuhan pembeli dengan mendapatkan ssuatu yang diinginkan.
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Diera modern di tengah peliknya orang mencari nafkah, banyak tawaran dan pilihan untuk melakukan bisnis dan beriwirausaha. Belakangan ini muncul salah satu usaha baru yang kita kenal denga istilah Multi Level Marketing (MLM).
Pada dasarnya, MLM merupakan kategori muamalah yang diperbolehkan asalkan memenuhi ketentuan-ketentuan dan syariat islam. Akad dalam MLM sendiri terbagi menjadi 3, yaitu: ba’i (jual beli), samsarah (makelar) dan ju’alah (pengupahan / bonus). Namun, realitas yang ada saat ini banyak bisnis MLM yang tidak sesuai dengan syariat islam. Artinya, pengharaman yang dimaksud dalam bisnis ini adalah dari sisi akadnya yang tidak sesuai dengan syariat islam. Sehingga, hal seperti ini perlu diwaspadai bahkan bila perlu ditinggalkan.
DAFTAR PUSTAKA

Fahrur Rozi. M., 2010 Kontroversi Bisnis MLM. Jakarta: Media Press
Yusuf. T., 2009. Strategi MLM Secara Cerdas dan Halal. Surabaya: Intigrafika
Salam Arif. A.,  2002 Ushul Fiqh dalam Kajian Bisnis Kontemporer. Yogyakarta: ar-Ruzz Press




[1] Moch Fahrur Rozi, Kontroversi Bisnis MLM, hlm. 110-111.
[2]Tarmizi Yusuf, Strategi MLM Secara Cerdas dan Halal, hlm. 7.

[3] Abd. Salam Arief, Ushul Fiqh dalam Kajian Bisnis Kontemporer, Dalam Amin Abdullah, (et. Al.), Ainurrofiq (ed.), “Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Usul Fiqh Kontemporer”, (Yogyakarta: ar-Ruzz Press, 2002), Hlm. 208.
[4] Abd. Salam Arief, Ushul Fiqh dalam Kajian, hlm. 208.
[5] Al Kasani, V, hal. 133.
[6] Farid, 2007
[7] Lihat, Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, Dar, Ihya’ at-Turats al-arabi, Beirud, t.t., Juz 1, hal. 657., al-Bazzar, Musnad al-Bazzar, Maktab al-Ulum wa al-Hikam, 2003, Juz V, hal. 384.
[8] Lihat, Ibn Hibban, Sahih Ibn Hibban, Dar al-Fiqr, Beirud, t.t., Juz II, hal. 151.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar