BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Studi terhadap
tafsir Al quran sebenarnya selalu mengalami perkembangan, seiring berkembang
dan berubahnya sosial kultural masyarakat. Sehingga para mufassir timbul rasa
untuk menafsirkan Alquran yang shahih kulli zaman wa makan.
Pada umumnya,
di era Nabi para sahabat menguasai bahasa Arab dengan baik dan benar. Juga
pengetahuan tentang latar belakang turunnya suatu ayat diketahuinya dengan
jelas. Dapat disimpulkan merekan memahami Al quran dengan baik dan benar pula.
Berbeda dengan
era setelah Nabi. Umat Islam semakin majemuk, terutama setelah tersebarnya
Islam di luar Arab. Kondisi ini menimbulkan konsekuensi terhadap perkembangan
tafsir Al quran. Usaaha untuk memhamakan tafsir Al quran telah diupayakan.
Hingga para mufassir menyajikan penafsiran yang relevan, sesuai dengan
perkembangan zaman dan kehidupan umat manusia yang semakin baragam. Dari
sinilah, timbul istilah tafsir modern kontemporer.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian Tafsir Periode
Modern Kontemporer?
2.
Apa metode yang dipakai di era
Tafsir Modern Kontemporer?
3.
Bagaimana Asumsi dalam Paradigma
Tafsir Modern Kontemporer?
4.
Bagaimana karakteristik Tafsir
Modern Kontemporer?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian dan
perkembangan Tafsir Periode Modern Kontemporer
2.
Untuk mengetahui metode pendekatan
yang dipakai di era Tafsir Modern Kontemporer
3.
Untuk mengetahui asumsi dalam
paradigma Tafsir Modern Kontemporer
4.
Untuk mengetahui karakteristik
Tafsi Modern Kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Periode Modern Kontemporer
Jika dilihat
sekilas, pengertian modern dan kontemporer seolah tidak ada perbedaan. Kata
‘modern’ mempunyai arti terkini, sedangkan kontemporer berarti masa kini. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) modern merupakan sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman
Jadi, dapat
disimpulkan modern kontemporer merupakan aliran tafsir yang ada dalam periode
modern kontemporer, yang disusun dengan beberapa ide baru mengikuti
perkembangan tafsir, yang sarat akan tuntutan zaman. Istilah lain yang
digunakan dalam periode modern kontemporer adalah era reformatif.
Sebenarnya
periode tafsir modern maupun tafsir kontemporer dapat berdiri sendiri. Namun
ada beberapa alasan hingga keduanya dapat disatukan. Salah satunya adalah
persamaan dalam substansi pemikiran dan metodologi serta dimensi kritik terhadap
produk tafsir era afirmatif atau klasik.
Kata
‘kontemporer’ sendiri muncul tahun 1967 ketika dunia Arab mengalami kekalahan
perang dengan Israil, yang kemudian memunculkan kritik diri (al naqd al
dzati), untuk kemudian bangkit memperbaharui kekurangan model model
pemahaman Islam yang lebih kekinian. [1]
Dalam sejarah
barat tercatat bahwa era modern dimulai pada abad XV M hingga abad XIX M.
Sedangkan dalam konteks madzhab tafsir sejak abad XVIII M ditandai dengan
munculnya tokoh dan pemikir modern Islam.
B.
Pendekatan
Tafsir Periode Modern Kontemporer
Secara garis
besar, ada beberapa metode atau pendekatan yang berkembang di era modern
kontemporer, diantaranya :
1.
Pendekatan linguistik
Suatu pendekatan yang cenderung
mengutamakan aspek kebahasaan dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an.
Salah satu tokoh yang menerapkannya
adalah Ibn Asyur dalam tafsirnya menitikberat pada kajian linguistik Arab (balaghah)
dan gaya bahas (badi’) untuk mengungkap poin-poin dan kemukjizatan
Al-Qur’an yang belum terungkap dalam kitab-kitab tafsir lain, disamping
menjelaskan keselarasan antara ayat satu dengan yang lainnya, ia juga
menggunakan metode sistematis. Selain itu, Ibn Asyur dalam menafsirkan
Al-Qur’an tidak pernah meninggalkan sebuah surah tanpa menjelaskan semua
maksud-maksud yang terkandung didalamnya, beliau lebih menitikberatkan
penjelasan makna mufradat (kosakata)
dalam bahasa Arab dengan cara membatasi dan meneiliti ulang dari yang telah
dilakukan orang lain dari kamus-kamus bahasa.[2]
2.
Pendekatan Saintifik
Dalam menafsirkan Al-Qur’an
pendekatan ini menggunakan teori ilmiah yang dimaksudkan untuk menggali teori
dan pemikiran filosofis dari ayat Al-Quran. Pendekatan yang lebih dikenal
dengan pendekatan scientific ini dimaksudkan untuk mengkolaborasikan teori
pengetahuan denag ayat Al-Quran. Selain itu juga sebagai pembelajaran teori
ilmu pengetahuan dari ayat Al-Qur’an itu sendiri.
3.
Pendekatan Hermeneutis
Pendekatan ini erat kaitannya
dengan aspek kebahasaan, sejarah, sosiologis dan filosofis. Jadi apabila metode
ini dipertemukan dengan kajian teks Al-Qur’an, maka persoalan yang dihadapi
adalah bagaimana Al-Quran bisa hadir ditengah tengah masyarakat, dipahami,
ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dalam rangka menghadapi realita
sosial.
C.
Asumsi dalam
Paradigma Tafsir Modern Kontemporer
Setiap tafsir
pasti memilki pandangan dan ciri khas masing masing. Misalnya, tafsir periode
klasik cenderung lebih mengedepankan riwayah. Sehingga seolah olah segala sesuatu
yang menggunakan dasar ra’yu tidak dapat diterima. Sedangkan pada era afirmatif
berkebalikan dengan era formatif. Pada masa itu ra’yu lebih diutamakan. Dan salah
satu hal lain yang menonjol adalah tafsir sebagai aliran ideologi guna untuk
memperkuat madzhab ataupun golongan mufassir tersebut. Tidak demikan dengan
tafsir era reformatif atau yang lebih dikenal dengan periode modern. Paradigma
yang dipakai adalah integrasi interkoneksi . Maksudnya madzhab tersebut
memandang secara kritis tentang penafsiran Al-Qur’an yang dikemukakan lewat
pemikiran pemikiran yang rasionalis.
Disamping itu,
sebuah paradigma tidak bisa lepas dari kondisi kultaral sosial yang ada disekitarnya.
Latar Belakang masyarakat juga mempengaruhi terbentuknya sebuah produk tafsir.
D.
Al-Qur’an
Kitab Shalih li Kulli Zaman wa Makan.
Al-Qur’an yang dimaksud disini
adalah kitab samawi yang diturunkan oleh Allah merupakan penyempurna dari
kitab-kitab sebelumnya. Kitab ini diturunkan kepada Nabi Muhammad yang mana
beliau adalah penutup dari para nabi dan rasul. Dengan demikian dapat
dipikirkan secara logis bahwa prinsip-prinsip yang terkandung di dalam
Al-Qur’an memuat hal-hal yang bersifat universal. Mengapa demikian? Tentu
ketika Al-Qur’an ini sudah sempurna diturunkan di dunia, maka tidak akan ada
lagi kitab yang akan menghapus Al-Qur’an. Hal ini membawa dampak yang
berimplikasi pada problem-problem sosial
keagamaan di masa kotemporer. Dilihat dari eranya, era klasik dan kotemporer
sangatlah jauh perbedaan waktunya. Jelas dalam perbedaan era ini banyak terjadi
perubahan-perubahan, baik itu budaya, politik, sosial, dan historinya. Padahal
Al-Qur’an sendiri bukanlah suatu kitab
yang hanya berlaku untuk masa Nabi dan para sahabatnya. Akan tetapi Al-Qur’an
diturunkan untuk manusia, khususnya umat Nabi Muhammad sampai datang hari
kiamat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harus ada pengkontekstualisasian
terhadap teks, agar Al-Qur’an dengan prinsip universalnya dapat menjawab
tuntutan zaman.[3]
Ketika melihat penafsiran pada era
klasik, asumsi Al-Qur’an sebagai Kitab Shalih li Kulli Zaman wa Makan juga
dipakai pada era tersebut. Namun perbedaannya, asumsi ini dimaknai yang
cenderung memaksakan konteks apapun yang berhubungan dengan Al-Qur’an. Sehingga
implikasinya pada penafsirannya cenderung bersifat tekstualis dan literalis.
Berbeda ketika masa penafsiran era kotemporer. Asumsi tersebut cenderung untuk
mengkontekstualisasikan Al-Qur’an dengan mengambil prinsip-prinsip dan
ide-idenya yang bersifat universal. Sehingga ketika sebuah kajian tekstual
sudah diangggap tidak relevan lagi untuk dipakai di zaman kotemporer ini, maka
para mufassir akan berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan
objektivitasnya. Yang dimaksud disini adalah bahwasanya penafsir cenderung
lebih memilih cara menafsirkan dengan kontekstualisasi teks terhadap
fenomena-fenomena yang terjadi di era kotemporer ini, seperti ayat tentang
multikultural, pluralisme, perbudakan, dan yang sejenisnya.[4]
Hingga saat ini, sudah banyak karya
tafsir yang telah ditulis oleh para mufassir. Namun hal itu tidak perlu adanya
sakralisasi terhadap hasil dari penafsiran. Karena dikhawatirkan akan
menimbulkan kejumudan dalam dinamika pemikiran dan pengetahuan umat
Islam. Untuk itu, agar Al-Qur’an tetap eksis relevansinya bagi perkembangan
umat manusia, maka penafsiran sendiri harus terus digiatkan. Hasil dari
penafsiran sendiri pun harus siap untuk dikritisi kapanpun dan oleh siapapun.
Ini dimaksukan agar sakralisasi terhadap penafsiran Al-Qur’an tidak terjadi. Dengan
demikian, dinamika ilmu akan terus berkembang sesuai dengan konteks zaman. Penafsiran
itu sendiri tidak benar-benar bersifat objektif. Sebab tafsir merupakan hasil
respon dari para mufassir ketika
mufassir tersebut memahami sebuah teks suci, situasi yang terjadi, dan problem
sosial yang dihadapinya. Jadi secara tidak langsung dalam diri mufassir sendiri
telah terbentuk sebuah kesubjektivitasan. Akan tetapi, secerdas mungkin dari
kesubjektivitasan itu, mufassir berusaha untuk memperoleh makna objektivitas
dari Al-Qur’an, yakni berusaha untuk menggapai makna yang dimaksudkan oleh
Allah.[5]
E.
Karakteristik
Tafsir Modern-Kotemporer.
Dari setiap
periode penafsiran, masing-masing mempunyai karakter sendiri-sendiri. Adapun
karakter dari periode penafsiran kotemporer adalah sebagai berikut:
1. Memposisikan Al-Qur’an sebagai kitab
petunjuk.
2. Bernuansa Hermeneutis.
3. Kotekstual dan berorientasi pada
spirit Al-Qur’an.
4. Ilmiah, Kritis, dan Non-Sekterian.[6]
Contoh penafsiran
kontempoter yang karakternya memosisikan sebagai kitab petunjuk.
Dari contoh tersebut dapat dilihat
dari penggalan tafsirnya, bahwa Al-Maraghi tanpa bertele-tele menjelaskan apa
makna yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an tersebut. Di dalam penafsiran yang
lain pun tidak ditemukan penjelasan yang bertele-tele (menyangkut teknis
kebahasaan), sehingga dapat dikatakan bahwasanya Al-Maraghi dalam penafsirannya
mempunyai karakter lugas dan jelas dalam menerangkan maksud dari ayat tersebut.
F.
Sumber, Metode
dan Validitas Penafsiran
1.
Sumber Penafsiran: Teks, Akal, dan
Realitas
Paradigma keseimbangan antara teks
al-Quran,akal (ijtihad) dan realitas empiris mempunyai keterkaitan antar satu
sama lain.Posisi teks,akal dan realitas dalam paradigma tafsir kontemporer bisa
digambarkan sebagai berikut:
Paradigma Fungsional
Teks/Wahyu
![]() |
![]() |
||||||
![]() |
|||||||
![]() |
Akal (ar-Ra’yu) Realitas (al-Waqa’i)
Paradigma fungsional dipilih dalam
paradigma tafsir kontemporer dengan alasan paradigma fungsional ini
mengasumsikan bahwa sebuah penafsiran harus terus-menerus dilakukan dan tidak
pernah mengenal akhir episode.[8]
2.
Metode-Pendekatan Bersifat Interdisipliner
Metode dan pendekatan yang
digunakan oleh para mufassir kontemporer pada umumnya berlainan dengan metode
dan pendekatan yang digunakan oleh para mufassir tradisional yang pada masa itu
cenderung memakai metode deduktif-analitis (tahlily), maka dalam tafsir
kontemporer menggunakan berbagai metode dan pendekatan yang bersifat
interdisipliner mulai dari tematik, lingustik, antropologi, sosio-historis
semiotic, analisi gender hingga
hermeneutik.[9]
Namun dalam perkembangannya tafsir kontemporer metode yang banyak diminati
adalah metode tematik, metode ini berupaya untuk memahami ayat-ayat Al-Quran
dengan memfokuskan pada topik atau tema yang akan dikaji.
Menurut al-Farmawi dalam kitab Al-Bidayah
fi at-Tafsir al-Mawdhui ada beberapa langkah dalam metode tematik yaitu:
a.
Mufassir harus menetapkan terlebih
dahulu masalah yang akan dibahas;
b.
Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan
dengan masalah tersebut;
c.
Menyusun runtutan ayat sesuai
dengan urutan pewahyuan serta pemahaman tentang asabab nuzul-nya
d.
Memahami korelasi ayat-ayat
tersebut dalam surahnya masing-masing
e.
Menyusun pembahasan dalam kerangka
yang sempurna
f.
Melengkapi dengan hadis-hadis yang
relevan
g.
Mempelajari ayat tersebut secara
keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat-Nya yang mempunyai pengertian
yang sama atau mengkomparasikan antara yang amm dengan yang khash yang
mutlaq dengan yang muqayyad atau yang secra lahiriah tampak
bertentangan sehingga kesan kontradiktif antara satu ayat dengan ayat yang lain
dapat dihindarkan.[10]
Metode lain yang berkembang dalam
penafsiran kontemporer adalah tafsir feminisme,pada hal ini para mufassir
feminis mengambil ayat-ayat yang berkaitan dengan relasi laki-laki dan
perempuan, biasanya para mufassir melakukan analisis gender; sebuah paradigma
yang melakukan pembedaan secara tegas antara kodrat sesuatu yang given from
God yang tak dapat dirubah dengan gender sebagai kodisi sosial yang dapat
dirubah[11].
Menurut Fazlur Rahman metode penafsiran Al-Quran adalah metode
tematik-kontekstual, pada hal ini ayat-ayat Al-Quran tidak bisa dipahami secara
literal saja namun juga harus memahami kondisi historis yang melatarbelakangi
pewahyuan ayat-ayat Al-Quran.[12]
Sementara itu, Hasan Hanafi
mengembangkan metode penafsiran yang disebut dengan metode tafsir realis,pada
metode ini penafsiran yang dihasilkan sebagai upaya transformatif dan solusi
bagi problerm sosial yang terjadi dalam kehidupan mufassir,upaya tersebut juga
dibingkai dengan kepentingan mufassir itu sendiri.[13]
3.
Validitas Tafsir Modern-Kontemporer
a.
Teori Koherensi,pada teori ini
sebuah penafsiran dianggap benar apabila ia sesuai dengan proposisi-proposisi sebelumnya dan konsisten menerapkan
metodologi yang dibangun oleh
setiap masing-masing mufassir. Dengan kata lain, jika dalam penafsiran tersebut adalah benar secara
koherensi
b.
Teori Korespodensi yaitu sebuah
penafsiran dikatakan benar apabila penafsiran tersebut cocok dan sesuai dengan fakta
ilmiah yang empiris dilapangan. Teori ini misalnya dapat dipakai untuk mengukur
kebenaran tafsir ilmi.
c.
Teori Pragmatisme yakni sebuah
penafsiran dikatakan benar apabila ia secara praktis mampu memberikan solusi
alternatif bagi problem sosial. Relevansi tafsir dengan problem sosial yang
dihadapi manusia sekarang ini.[14]
Sumber Penafsiran
|
Metode dan Pendekatan
|
Validitas Penafsiran
|
Karakteristik dan Tujuan Penafsiran
|
Al-Quran realitas,akal yang berdialektika secara sirkular dan
fungsional.
Sumber hadis jarang digunakan.
Posisi teks al-Quran dan penafsi sebagai objek dan subjek sekaligus
|
Bersifat interdisipliner mulai dari tematik, hermeneutic, lingustik, dengan
pendekatan sosiologis, antroplogis, historis,sains, semantic dan disiplin keilmuan masing-masing mufassir
|
1.Coherence antara hasil penafsiran dengan proposisi-proposisi
yang dibangun sebelumnya
2.Correspondence sesuai dengan fakta empiris
3.Pragmatisme, solutif dan sesuai kepentingan transformasi umat
|
Kritis,transformatif, solutif, non
ideologis, menangkap
(ruh) al-Quran.
Tujuan penafsiran untuk transformasi dan perubahan tidak hanya
mengungkap makna tapi juga maghza
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Wacana tentang metodologi tafsir Al-Quran
memang bukan suatu yang fenomena baru dalam lintasan sejarah Islam. Karena
sejak awal eksisnya Islam di muka bumi, berbagai metode telah dicoba diangkat
dan diterapkan. Baik yang didasarkan pada riwayat (bil ma’tsur) maupun
pada hasil nalar (bi ra’yu), dan bisa dikatakan dari kedua dasar
tersebutlah metode-metode tafsir belakangan mengacu.
Seiring
berjalannya waktu, berbagai metode pun mengalami pergeseran hingga muncul
periode modern kontemporer. Salah satu pemicu timbulnya tafsir era reformatif
ini adalah penafsiran Al-Qur’an yang dianggap tidak relevan lagi jika
ditafsirkan secara tekstual. Sudah seharusnya untuk melihat situasi, kondisi
sosio kultural dan latar belakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang
penting. Bebagai metode yang digunakan sebagai alat untuk merealisasikannya
diantaranya tematik, hermeneutic, lingustik, dengan pendekatan
sosiologis, antroplogis, historis,sains, semantic dan disiplin keilmuan
masing-masing mufassir
B.
Saran
Dalam pembuatan makalah ini, kami
selaku penulis telah mencurahkan segala pemikiran, tenaga, dan upaya agar makalah
ini dapat terselesaikan dengan baik agar dapat dipahami dengan mudah oleh
pembaca. Namun “tiada gading yang tak retak.” Penulis menyadari bahwa makalah
ini jauh dmasih banyak kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Dengan senang dan
terbuka, kami menerima kritik dan saran yang membangun. Akhir kata,
mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat untuk dan bisa digunakan untuk
penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mustaqim. A.,
Dinamika Sejarah Tafsir Al Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2014
Mustaqim. A.,
Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, 2010
Maraghi. M., Tafsir Al-Maraghi, Tkp: Maktabah Syirkah, 1946
[1]
Dr. H. Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al Qur’an (Yogyakarta:
Adab Press 2014), hlm. 146
[2]
lihat : Muhammad Thahir Ibn Asyur,
Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir lihat : Muhammad Thahir Ibn Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir (Tunisia: Dar
Souhnoun li al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.th), hlm. 7-9.
[3]
Ibid., hlm. 154
[4]
Ibid., hlm. 154-155
[5]
Ibid., hlm. 156-157
[6]
Ibid., hlm. 159
[7]
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (tkp: Maktabah Syirkah,
1946) juz 2, hlm. 139.
[8]
Ibid,. hlm. 169
[9]
Ibid., hlm. 170
[10]
Abdul Mustaqim,Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta:LKiS,2010)
hlm. 68
[11]
Ibid., hlm. 172
[12]
Ibid., hlm. 174
[13]
Ibid., hlm. 176
[14]
Ibid., hlm. 187-188
Tidak ada komentar:
Posting Komentar