Minggu, 29 Oktober 2017

Madzhab Tafsir

TAFSIR PERIODE MODERN-KONTEMPORER


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Studi terhadap tafsir Al quran sebenarnya selalu mengalami perkembangan, seiring berkembang dan berubahnya sosial kultural masyarakat. Sehingga para mufassir timbul rasa untuk menafsirkan Alquran yang shahih kulli zaman wa makan.
Pada umumnya, di era Nabi para sahabat menguasai bahasa Arab dengan baik dan benar. Juga pengetahuan tentang latar belakang turunnya suatu ayat diketahuinya dengan jelas. Dapat disimpulkan merekan memahami Al quran dengan baik dan benar pula.
Berbeda dengan era setelah Nabi. Umat Islam semakin majemuk, terutama setelah tersebarnya Islam di luar Arab. Kondisi ini menimbulkan konsekuensi terhadap perkembangan tafsir Al quran. Usaaha untuk memhamakan tafsir Al quran telah diupayakan. Hingga para mufassir menyajikan penafsiran yang relevan, sesuai dengan perkembangan zaman dan kehidupan umat manusia yang semakin baragam. Dari sinilah, timbul istilah tafsir modern kontemporer.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Tafsir Periode Modern Kontemporer?
2.      Apa metode yang dipakai di era Tafsir Modern Kontemporer?
3.      Bagaimana Asumsi dalam Paradigma Tafsir Modern Kontemporer?
4.      Bagaimana karakteristik Tafsir Modern Kontemporer?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian dan perkembangan Tafsir Periode Modern Kontemporer
2.      Untuk mengetahui metode pendekatan yang dipakai di era Tafsir Modern Kontemporer
3.      Untuk mengetahui asumsi dalam paradigma Tafsir Modern Kontemporer
4.      Untuk mengetahui karakteristik Tafsi Modern Kontemporer
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Periode Modern Kontemporer
Jika dilihat sekilas, pengertian modern dan kontemporer seolah tidak ada perbedaan. Kata ‘modern’ mempunyai arti terkini, sedangkan kontemporer berarti masa kini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) modern merupakan sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman
Jadi, dapat disimpulkan modern kontemporer merupakan aliran tafsir yang ada dalam periode modern kontemporer, yang disusun dengan beberapa ide baru mengikuti perkembangan tafsir, yang sarat akan tuntutan zaman. Istilah lain yang digunakan dalam periode modern kontemporer adalah era reformatif.
Sebenarnya periode tafsir modern maupun tafsir kontemporer dapat berdiri sendiri. Namun ada beberapa alasan hingga keduanya dapat disatukan. Salah satunya adalah persamaan dalam substansi pemikiran dan metodologi serta dimensi kritik terhadap produk tafsir era afirmatif atau klasik.
Kata ‘kontemporer’ sendiri muncul tahun 1967 ketika dunia Arab mengalami kekalahan perang dengan Israil, yang kemudian memunculkan kritik diri (al naqd al dzati), untuk kemudian bangkit memperbaharui kekurangan model model pemahaman Islam yang lebih kekinian. [1]
Dalam sejarah barat tercatat bahwa era modern dimulai pada abad XV M hingga abad XIX M. Sedangkan dalam konteks madzhab tafsir sejak abad XVIII M ditandai dengan munculnya tokoh dan pemikir modern Islam.

B.     Pendekatan Tafsir Periode Modern Kontemporer
Secara garis besar, ada beberapa metode atau pendekatan yang berkembang di era modern kontemporer, diantaranya :
1.      Pendekatan linguistik
Suatu pendekatan yang cenderung mengutamakan aspek kebahasaan dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an.
Salah satu tokoh yang menerapkannya adalah Ibn Asyur dalam tafsirnya menitikberat pada kajian linguistik Arab (balaghah) dan gaya bahas (badi’) untuk mengungkap poin-poin dan kemukjizatan Al-Qur’an yang belum terungkap dalam kitab-kitab tafsir lain, disamping menjelaskan keselarasan antara ayat satu dengan yang lainnya, ia juga menggunakan metode sistematis. Selain itu, Ibn Asyur dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak pernah meninggalkan sebuah surah tanpa menjelaskan semua maksud-maksud yang terkandung didalamnya, beliau lebih menitikberatkan penjelasan makna  mufradat (kosakata) dalam bahasa Arab dengan cara membatasi dan meneiliti ulang dari yang telah dilakukan orang lain dari kamus-kamus bahasa.[2]
2.      Pendekatan Saintifik
Dalam menafsirkan Al-Qur’an pendekatan ini menggunakan teori ilmiah yang dimaksudkan untuk menggali teori dan pemikiran filosofis dari ayat Al-Quran. Pendekatan yang lebih dikenal dengan pendekatan scientific ini dimaksudkan untuk mengkolaborasikan teori pengetahuan denag ayat Al-Quran. Selain itu juga sebagai pembelajaran teori ilmu pengetahuan dari ayat Al-Qur’an itu sendiri.
3.      Pendekatan Hermeneutis
Pendekatan ini erat kaitannya dengan aspek kebahasaan, sejarah, sosiologis dan filosofis. Jadi apabila metode ini dipertemukan dengan kajian teks Al-Qur’an, maka persoalan yang dihadapi adalah bagaimana Al-Quran bisa hadir ditengah tengah masyarakat, dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dalam rangka menghadapi realita sosial.
C.      Asumsi dalam Paradigma Tafsir Modern Kontemporer
Setiap tafsir pasti memilki pandangan dan ciri khas masing masing. Misalnya, tafsir periode klasik cenderung lebih mengedepankan riwayah. Sehingga seolah olah segala sesuatu yang menggunakan dasar ra’yu tidak dapat diterima. Sedangkan pada era afirmatif berkebalikan dengan era formatif. Pada masa itu ra’yu lebih diutamakan. Dan salah satu hal lain yang menonjol adalah tafsir sebagai aliran ideologi guna untuk memperkuat madzhab ataupun golongan mufassir tersebut. Tidak demikan dengan tafsir era reformatif atau yang lebih dikenal dengan periode modern. Paradigma yang dipakai adalah integrasi interkoneksi . Maksudnya madzhab tersebut memandang secara kritis tentang penafsiran Al-Qur’an yang dikemukakan lewat pemikiran pemikiran yang rasionalis.
Disamping itu, sebuah paradigma tidak bisa lepas dari kondisi kultaral sosial yang ada disekitarnya. Latar Belakang masyarakat juga mempengaruhi terbentuknya sebuah produk tafsir.
D.    Al-Qur’an Kitab Shalih li Kulli Zaman wa Makan.
Al-Qur’an yang dimaksud disini adalah kitab samawi yang diturunkan oleh Allah merupakan penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya. Kitab ini diturunkan kepada Nabi Muhammad yang mana beliau adalah penutup dari para nabi dan rasul. Dengan demikian dapat dipikirkan secara logis bahwa prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Al-Qur’an memuat hal-hal yang bersifat universal. Mengapa demikian? Tentu ketika Al-Qur’an ini sudah sempurna diturunkan di dunia, maka tidak akan ada lagi kitab yang akan menghapus Al-Qur’an. Hal ini membawa dampak yang berimplikasi pada problem-problem  sosial keagamaan di masa kotemporer. Dilihat dari eranya, era klasik dan kotemporer sangatlah jauh perbedaan waktunya. Jelas dalam perbedaan era ini banyak terjadi perubahan-perubahan, baik itu budaya, politik, sosial, dan historinya. Padahal Al-Qur’an sendiri  bukanlah suatu kitab yang hanya berlaku untuk masa Nabi dan para sahabatnya. Akan tetapi Al-Qur’an diturunkan untuk manusia, khususnya umat Nabi Muhammad sampai datang hari kiamat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harus ada pengkontekstualisasian terhadap teks, agar Al-Qur’an dengan prinsip universalnya dapat menjawab tuntutan zaman.[3]
Ketika melihat penafsiran pada era klasik, asumsi Al-Qur’an sebagai Kitab Shalih li Kulli Zaman wa Makan juga dipakai pada era tersebut. Namun perbedaannya, asumsi ini dimaknai yang cenderung memaksakan konteks apapun yang berhubungan dengan Al-Qur’an. Sehingga implikasinya pada penafsirannya cenderung bersifat tekstualis dan literalis. Berbeda ketika masa penafsiran era kotemporer. Asumsi tersebut cenderung untuk mengkontekstualisasikan Al-Qur’an dengan mengambil prinsip-prinsip dan ide-idenya yang bersifat universal. Sehingga ketika sebuah kajian tekstual sudah diangggap tidak relevan lagi untuk dipakai di zaman kotemporer ini, maka para mufassir akan berusaha menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan objektivitasnya. Yang dimaksud disini adalah bahwasanya penafsir cenderung lebih memilih cara menafsirkan dengan kontekstualisasi teks terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di era kotemporer ini, seperti ayat tentang multikultural, pluralisme, perbudakan, dan yang sejenisnya.[4]
Hingga saat ini, sudah banyak karya tafsir yang telah ditulis oleh para mufassir. Namun hal itu tidak perlu adanya sakralisasi terhadap hasil dari penafsiran. Karena dikhawatirkan akan menimbulkan kejumudan dalam dinamika pemikiran dan pengetahuan umat Islam. Untuk itu, agar Al-Qur’an tetap eksis relevansinya bagi perkembangan umat manusia, maka penafsiran sendiri harus terus digiatkan. Hasil dari penafsiran sendiri pun harus siap untuk dikritisi kapanpun dan oleh siapapun. Ini dimaksukan agar sakralisasi terhadap penafsiran Al-Qur’an tidak terjadi. Dengan demikian, dinamika ilmu akan terus berkembang sesuai dengan konteks zaman. Penafsiran itu sendiri tidak benar-benar bersifat objektif. Sebab tafsir merupakan hasil respon dari para mufassir  ketika mufassir tersebut memahami sebuah teks suci, situasi yang terjadi, dan problem sosial yang dihadapinya. Jadi secara tidak langsung dalam diri mufassir sendiri telah terbentuk sebuah kesubjektivitasan. Akan tetapi, secerdas mungkin dari kesubjektivitasan itu, mufassir berusaha untuk memperoleh makna objektivitas dari Al-Qur’an, yakni berusaha untuk menggapai makna yang dimaksudkan oleh Allah.[5]                
E.     Karakteristik Tafsir Modern-Kotemporer.
Dari setiap periode penafsiran, masing-masing mempunyai karakter sendiri-sendiri. Adapun karakter dari periode penafsiran kotemporer adalah sebagai berikut:
1.      Memposisikan  Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk.
2.      Bernuansa Hermeneutis.
3.      Kotekstual dan berorientasi  pada spirit Al-Qur’an.
4.      Ilmiah, Kritis, dan Non-Sekterian.[6]
Contoh penafsiran kontempoter yang karakternya memosisikan sebagai kitab petunjuk.
Dari contoh tersebut dapat dilihat dari penggalan tafsirnya, bahwa Al-Maraghi tanpa bertele-tele menjelaskan apa makna yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an tersebut. Di dalam penafsiran yang lain pun tidak ditemukan penjelasan yang bertele-tele (menyangkut teknis kebahasaan), sehingga dapat dikatakan bahwasanya Al-Maraghi dalam penafsirannya mempunyai karakter lugas dan jelas dalam menerangkan maksud dari ayat tersebut.
F.     Sumber, Metode dan Validitas Penafsiran
1.      Sumber Penafsiran: Teks, Akal, dan Realitas
Paradigma keseimbangan antara teks al-Quran,akal (ijtihad) dan realitas empiris mempunyai keterkaitan antar satu sama lain.Posisi teks,akal dan realitas dalam paradigma tafsir kontemporer bisa digambarkan sebagai berikut:

                            Paradigma Fungsional

                                    Teks/Wahyu

















 






Akal (ar-Ra’yu)                                      Realitas (al-Waqa’i)

Paradigma fungsional dipilih dalam paradigma tafsir kontemporer dengan alasan paradigma fungsional ini mengasumsikan bahwa sebuah penafsiran harus terus-menerus dilakukan dan tidak pernah mengenal akhir episode.[8]
2.      Metode-Pendekatan Bersifat Interdisipliner
Metode dan pendekatan yang digunakan oleh para mufassir kontemporer pada umumnya berlainan dengan metode dan pendekatan yang digunakan oleh para mufassir tradisional yang pada masa itu cenderung memakai metode deduktif-analitis (tahlily), maka dalam tafsir kontemporer menggunakan berbagai metode dan pendekatan yang bersifat interdisipliner mulai dari tematik, lingustik, antropologi, sosio-historis semiotic, analisi gender  hingga hermeneutik.[9] Namun dalam perkembangannya tafsir kontemporer metode yang banyak diminati adalah metode tematik, metode ini berupaya untuk memahami ayat-ayat Al-Quran dengan memfokuskan pada topik atau tema yang akan dikaji.
Menurut al-Farmawi dalam kitab ­Al-Bidayah fi at-Tafsir al-Mawdhui ada beberapa langkah dalam metode tematik yaitu:
a.       Mufassir harus menetapkan terlebih dahulu masalah yang akan dibahas;
b.      Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
c.       Menyusun runtutan ayat sesuai dengan urutan pewahyuan serta pemahaman tentang asabab nuzul-nya
d.      Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing
e.       Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna
f.       Melengkapi dengan hadis-hadis yang relevan
g.      Mempelajari ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat-Nya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkomparasikan antara yang amm dengan yang khash yang mutlaq dengan yang muqayyad atau yang secra lahiriah tampak bertentangan sehingga kesan kontradiktif antara satu ayat dengan ayat yang lain dapat dihindarkan.[10]
Metode lain yang berkembang dalam penafsiran kontemporer adalah tafsir feminisme,pada hal ini para mufassir feminis mengambil ayat-ayat yang berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan, biasanya para mufassir melakukan analisis gender; sebuah paradigma yang melakukan pembedaan secara tegas antara kodrat sesuatu yang given from God yang tak dapat dirubah dengan gender sebagai kodisi sosial yang dapat dirubah[11]. Menurut Fazlur Rahman metode penafsiran Al-Quran adalah metode tematik-kontekstual, pada hal ini ayat-ayat Al-Quran tidak bisa dipahami secara literal saja namun juga harus memahami kondisi historis yang melatarbelakangi pewahyuan ayat-ayat Al-Quran.[12]
Sementara itu, Hasan Hanafi mengembangkan metode penafsiran yang disebut dengan metode tafsir realis,pada metode ini penafsiran yang dihasilkan sebagai upaya transformatif dan solusi bagi problerm sosial yang terjadi dalam kehidupan mufassir,upaya tersebut juga dibingkai dengan kepentingan mufassir itu sendiri.[13]
3.      Validitas Tafsir Modern-Kontemporer
a.       Teori Koherensi,pada teori ini sebuah penafsiran dianggap benar apabila ia sesuai        dengan proposisi-proposisi sebelumnya dan konsisten menerapkan metodologi        yang dibangun oleh setiap masing-masing mufassir. Dengan kata lain, jika dalam        penafsiran tersebut adalah benar secara koherensi
b.      Teori Korespodensi yaitu sebuah penafsiran dikatakan benar apabila penafsiran      tersebut cocok dan sesuai dengan fakta ilmiah yang empiris dilapangan. Teori ini misalnya dapat dipakai untuk mengukur kebenaran tafsir ilmi.
c.       Teori Pragmatisme yakni sebuah penafsiran dikatakan benar apabila ia secara praktis mampu memberikan solusi alternatif bagi problem sosial. Relevansi tafsir dengan problem sosial yang dihadapi manusia sekarang ini.[14]


Sumber Penafsiran
Metode dan Pendekatan

Validitas Penafsiran
Karakteristik dan Tujuan Penafsiran
Al-Quran realitas,akal yang berdialektika secara sirkular dan fungsional.
Sumber hadis jarang digunakan.



Posisi teks al-Quran dan penafsi sebagai objek dan subjek sekaligus
Bersifat interdisipliner mulai dari tematik, hermeneutic, lingustik, dengan
pendekatan sosiologis, antroplogis, historis,sains, semantic dan disiplin keilmuan masing-masing mufassir
1.Coherence antara hasil penafsiran dengan proposisi-proposisi yang dibangun sebelumnya
2.Correspondence sesuai dengan fakta empiris
3.Pragmatisme, solutif dan sesuai kepentingan transformasi umat
Kritis,transformatif, solutif, non ideologis, menangkap (ruh) al-Quran.
Tujuan penafsiran untuk transformasi dan perubahan tidak hanya mengungkap makna tapi juga maghza











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Wacana tentang metodologi tafsir Al-Quran memang bukan suatu yang fenomena baru dalam lintasan sejarah Islam. Karena sejak awal eksisnya Islam di muka bumi, berbagai metode telah dicoba diangkat dan diterapkan. Baik yang didasarkan pada riwayat (bil ma’tsur) maupun pada hasil nalar (bi ra’yu), dan bisa dikatakan dari kedua dasar tersebutlah metode-metode tafsir belakangan mengacu.
Seiring berjalannya waktu, berbagai metode pun mengalami pergeseran hingga muncul periode modern kontemporer. Salah satu pemicu timbulnya tafsir era reformatif ini adalah penafsiran Al-Qur’an yang dianggap tidak relevan lagi jika ditafsirkan secara tekstual. Sudah seharusnya untuk melihat situasi, kondisi sosio kultural dan latar belakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting. Bebagai metode yang digunakan sebagai alat untuk merealisasikannya diantaranya tematik, hermeneutic, lingustik, dengan pendekatan sosiologis, antroplogis, historis,sains, semantic dan disiplin keilmuan masing-masing mufassir
B.     Saran
Dalam pembuatan makalah ini, kami selaku penulis telah mencurahkan segala pemikiran, tenaga, dan upaya agar makalah ini dapat terselesaikan dengan baik agar dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca. Namun “tiada gading yang tak retak.” Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dmasih banyak kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Dengan senang dan terbuka, kami menerima kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat untuk dan bisa digunakan untuk penelitian selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
                                                         
Mustaqim. A.,  Dinamika Sejarah Tafsir Al Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2014
Mustaqim. A.,  Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, 2010
Maraghi. M., Tafsir Al-Maraghi, Tkp: Maktabah Syirkah, 1946



[1] Dr. H. Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al Qur’an (Yogyakarta: Adab Press 2014), hlm. 146
[2] lihat : Muhammad Thahir Ibn Asyur,  Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir lihat : Muhammad Thahir Ibn Asyur,  Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir (Tunisia: Dar Souhnoun li al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.th), hlm. 7-9.

[3] Ibid., hlm. 154
[4] Ibid., hlm. 154-155
[5] Ibid., hlm. 156-157
[6] Ibid., hlm. 159
[7] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (tkp: Maktabah Syirkah, 1946) juz 2, hlm. 139.

[8] Ibid,. hlm. 169
[9] Ibid., hlm. 170
[10] Abdul Mustaqim,Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta:LKiS,2010) hlm. 68
[11] Ibid., hlm. 172
[12] Ibid., hlm. 174
[13] Ibid., hlm. 176
[14] Ibid., hlm. 187-188
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar